Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengusulkan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah mencetak uang hingga Rp 600 triliun. DPR menyebut langkah itu sebagai upaya penyelamatan ekonomi akibat dampak pandemi COVID-19.
Menurut ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri menilai ada risiko yang bakal dihadapi Indonesia jika BI mencetak uang besar-besaran.
"Nah kalau misalnya di dalam rupiah dicetak begitu banyak sementara yang menggunakan itu hanya di lokal, aktivitas ekonominya nggak berjalan di sini, Anda tambah money supply sementara produksinya nggak ada maka risikonya inflasi naik," kata dia dalam diskusi virtual yang tayang di YouTube, Jumat (8/5/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: BI Tolak Keras Usul DPR Cetak Uang Rp 600 T |
Inflasi tersebut dipicu karena jumlah uang beredar lebih banyak daripada kebutuhannya. Masalah supply-demand tersebut membuat nilai rupiah mengecil.
"Ini kan sama dengan hukum supply-demand. Kalau supply-nya Anda tambah maka harga dari barang itu akan turun. Kalau supply uangnya Anda tambah, demand-nya nggak naik maka harga uangnya akan turun kan? Harga uangnya turun kan itu inflasi sebenarnya," jelas Menkeu periode 2013-2014 itu.
Kalau ditanya apakah BI punya ruang untuk mencetak uang seperti usulan DPR, Chatib menjelaskan ruang itu ada.
"Jadi saya ingin mengatakan bahwa ada nggak ruang buat Bank Indonesia untuk cetak uang? Ada, karena kenapa? Karena dalam situasi seperti ini aktivitas ekonominya rendah. Jadi kalau di dalam konsep, kalau anda cetak uang, Anda tambah agregat demand, resources-nya masih banyak itu masih akan bisa meningkatkan outflow," jelasnya.
Namun dia menggarisbawahi bahwa ruang bagi BI untuk mencetak uang tidak cukup besar. Sebab dipengaruhi oleh supply-demand saat ini yang sedang menurun.
"Jangan lupa bahwa produksi juga mengalami penurunan. Jadi ruangnya nggak banyak," tambahnya.
(toy/ara)