Pandemi virus Corona (COVID-19) membuat nasib pekerja semakin tak menentu. Berdasarkan data Kemnaker per 1 Mei 2020, jumlah pekerja sektor formal yang telah dirumahkan akibat pandemi COVID-19 telah mencapai 1.032.960 orang.
Sementara, jumlah pekerja sektor formal dan informal yang di-PHK sudah mencapai 689.998 orang. Sehingga, total pekerja sektor formal dan informal yang terdampak COVID-19 sebanyak 1.722.958 orang.
Sebagian pekerja yang di-PHK mengaku tak mendapat pesangon sepeser pun dari perusahaan tempat mereka bekerja sebelumnya. Lalu, dapatkah kebijakan itu dibenarkan secara hukum? Bisakah pekerja yang di-PHK dan tak menerima pesangon itu menuntut perusahaan tersebut?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Pengacara Hotman Paris Hutapea, dalam keadaan kahar (force majeure) seperti saat pandemi ini, pelaku usaha sebenarnya berhak untuk tidak membayar upah dan pesangon kerja bila memang kondisi keuangan perusahaannya tidak menyanggupi.
"Corona itu oleh pemerintah sudah dikeluarkan dalam bentuk beberapa peraturan maupun dalam Perppu no.1 maupun dalam Keppres no.12 Tahun 2020 yang mengakui itu adalah suatu bencana nasional dan pengertian bencana nasional bisa menjadi dasar bahwa telah terjadi keadaan memaksa atau force majeure. Force majeure itu dalam pengertian hukum adalah alasan sah bagi seseorang untuk tidak membayar kewajibannya (upah dan pesangon)," terang Hotman Paris dalam telekonferensi bertajuk Perlindungan Hukum untuk UMKM di Masa Krisis, Senin (11/5/2020).
Bahkan, hukum di Indonesia belum pernah mengatur sanksi pidana terkait hal tersebut terutama kondisinya terjadi di tengah keadaan kahar seperti saat ini.
"Pertanyaannya sekarang apakah alasan ini bisa dipakai oleh majikan (perusahaan) untuk tidak membayar karyawan atau pesangon? Itu belum ada presedennya. Kalau force majeure dalam bidang bisnis antara debitur dan bank sudah banyak presedennya. Tapi antara majikan (pengusaha) dan pegawai, kaitannya untuk upah dan pesangon belum ada presedennya," ungkapnya.
(eds/eds)