Usulan Cetak Uang Rp 600 T Ditolak, Banggar DPR Bersuara

Usulan Cetak Uang Rp 600 T Ditolak, Banggar DPR Bersuara

Danang Sugianto - detikFinance
Senin, 11 Mei 2020 14:10 WIB
Pekerja merapihkan uang Dollar dan Rupiah di Cash Center BRI Pusat, Jakarta, Kamis (5/6/2014). Nilai tukar rupiah hingga penutupan perdagangan sore pekan ini hampir menyentuh angka Rp 12.000 per-dollar US.
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Badan Anggaran (Banggar) DPR RI mengusulkan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang sekitar Rp 400-600 triliun. Hal itu untuk menutupi kebutuhan anggaran pemerintah yang besar dalam menangani wabah COVID-19.

Usulan itu pun ditolak oleh BI dengan mempertimbangkan berbagai risiko seperti kemungkinan mendorong inflasi. Lagi pula, BI beralasan sudah memiliki mekanisme peredaran uang yang diawasi ketat BPK dan dilaporkan Kementerian Keuangan.

Ketua Banggar DPR Said Abdullah pun kembali memberikan tanggapan, usulan itu menurutnya sebagai bentuk berbagi sakit (sharing pain) yang bisa dilakukan BI dalam situasi krisis saat ini. Menurutnya, BI justru menikmati keuntungan dalam situasi saat ini melalui selisih kurs dan bunga pinjaman.

"Langkah langkah terobosan di atas adalah bentuk sharing pain BI terhadap situasi krisis ini. Jadi BI tidak semata-mata menikmati untung akibat selisih kurs dan bunga pinjaman. Tetapi sama sama ikut merasakan situasi krisis yang dihadapi oleh segenap rakyat," tuturnya dalam keterangan tertulis, Senin (11/5/2020).

Menurutnya, dengan BI mencetak uang pada kisaran Rp 400-600 triliun bisa mencukupi kebutuhan pembiayaan pemerintah dan LPS serta likuiditas perbankan nasional.

"Bank Indonesia harus mengambil langkah berani dan memiliki terobosan (breakthrough). Sebab bila mengandalkan kebijakan konvensional, maksimal yang meredam tekanan terhadap pasar keuangan, tetapi tidak mampu menyuplai optimal kebutuhan likuiditas," tegasnya.

Untuk hasil cetak uang, diusulkan untuk dijadikan alternatif pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah. Hasil cetak uang itu dapat ditawarkan ke perbankan, pemerintah dan LPS dengan yield yang lebih rendah daripada global bond.

"Saya merekomendasikan yield pada kisaran 2-2,5%. Melalui kebijakan ini, pemerintah akan memiliki beban bunga yang lebih rendah," tambahnya.

Said menyadari kebijakan cetak uang akan berakibat pada peningkatan inflasi. Namun menurutnya hal itu bisa dimitigasi oleh BI melalui instrumen kebijakannya seperti suku bunga BI 7 days reverse repo rate dan penetapan Giro Wajib Minimum (GWM).


(das/dna)

Hide Ads