Ritel Jepang Babak Belur Dihantam Corona

Ritel Jepang Babak Belur Dihantam Corona

Soraya Novika - detikFinance
Jumat, 29 Mei 2020 11:46 WIB
Pejalan kaki melihat bagian depan restoran yang bernuansa Jepang, di kawasan Little Tokyo, Blok M, Jakarta, Sabtu (23/11/2019) malam. Kawasan yang dihuni ekspatriat Jepang sejak awal dekade 80-an tersebut menyajikan nuansa Jepang seperti restoran, tempat hiburan, dan supermarket yang menjual aneka barang khas negeri matahari terbit itu. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/aww.
Ilustrasi/Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Jakarta -

Kinerja manufaktur di Jepang anjlok dengan kecepatan yang jauh lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Penurunan penjualan ritel menjadi yang paling dalam dibanding sektor lainnya.

Fenomena ini terjadi tak lain dipicu oleh adanya pandemi virus Corona yang memukul perekonomian nyaris seluruh negara di dunia.

Mengutip Reuters, Jumat (29/5/2020), pada April lalu output pabrik-pabrik di sana anjlok hingga 9,1% dibanding bulan sebelumnya. Angka ini menunjukkan penurunan terbesar sejak 2013 lalu. Saat itu, para produsen mobil, besi, dan baja sempat mengalami penurunan output yang tajam karena permintaan global yang melemah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Laporan terpisah menunjukkan penjualan ritel yang anjlok dengan laju tercepat sejak Maret 1998 lalu. Penjualan ritel turun hingga 13,7% dibanding tahun sebelumnya. Hal itu terjadi karena selama pandemi permintaan akan barang, pakaian dan kendaraan bermotor memang tercatat menurun drastis dibanding sebelumnya.

Merespons hal tersebut, pemerintah Jepang akhirnya sepakat menggelontorkan paket stimulus kedua senilai US$ 1,1 triliun untuk membantu industri dan bisnis tersebut bertahan di tengah pandemi. Sehingga, total paket stimulus yang sudah digelontorkan pemerintah Jepang menjadi US$ 2,2, triliun atau sekitar 40% dari produk domestik bruto (PDB) Negeri Sakura itu.

ADVERTISEMENT

Data pemerintah lainnya menyoroti pelebaran dampak pada pasar ketenagakerjaan di Jepang. Tingkat pengangguran April 2020 naik menjadi 2,6%, tertinggi sejak Desember 2017. Demikian pula dengan ketersediaan pekerjaan ikut merosot ke 1,32% terendah sejak Maret 2016.




(eds/eds)

Hide Ads