Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dan Universitas Indonesia (UI) menyepakati MoU tentang Pengkajian, Sosialisasi, dan Pengabdian Kepada Masyarakat di Sektor Hilir Minyak dan Gas Bumi dalam upaya menangani dampak pandemi COVID-19 sekaligus untuk menyusun kebijakan jangka panjang.
"Minyak dunia pada masa cOVID-19 ini jauh di bawah asumsi APBN, bahkan sempat menuju minus. Setelah new normal ini mudah-mudahan harga minyak akan lebih stabil dan bisa menguntungkan kembali badan usaha. Jadi hampir turun secara signifikan kecuali energi terbarukan, konsumsi BBM turun secara signifikan hampir 50%," ujar Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa pada webinar yang dilakukan via aplikasi Zoom, Jumat (12/6/2020).
Fanshurullah memaparkan bahwa terdapat 4 poin utama kerja sama antara BPH Migas dan UI, yakni kajian kebutuhan JBT (Jenis BBM Tertentu) untuk konsumen pengguna transportasi khusus, darat, dan non-transportasi; kajian penyusunan Rencana Strategis BPH Migas 2020-2024; kajian multiplier effect dan nilai tambah atas pemanfaatan iuran BPH Migas; dan kerja sama lain sesuai kesepakatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini tantangan bagaimana kerja sama BPH Migas dengan civitas akademika termasuk UI untuk mewujudkan regulasi sehingga terjadi efisiensi untuk kepentingan rakyat," sambungnya.
Fanshurullah menambahkan, dana BPH Migas yang didapat dari iuran badan usaha yang terdaftar senilai Rp 1,3 triliun hingga kini yang dipakai baru sekitar Rp 250 miliar. Jadi, terdapat dana sekitar Rp 1 triliun yang belum digunakan. Ia berharap dana tersebut dipakai oleh BPH Migas dulu untuk kepentingan masyarakat.
"Dengan kerja sama UI kita bisa menyusun PP atau peraturan yang lebih jelas dan disampaikan ke Menteri Keuangan, sehingga bisa menggunakan uang Rp 1 triliun untuk bisa dikembangkan secara signifikan bagi negara," tuturnya.
Ia juga mengatakan bahwa cadangan minyak di Indonesia (3,3 Gbbl) tidak lebih banyak dibanding Arab Saudi (266,5 Gbbl), Venezuela (300,9 Gbbl), UEA (97,8 Gbbl), hingga Kanada (169,7 Gbbl) sehingga setiap harinya Pemerintah harus mengimpor 750 ribu barel/hari. Diperkirakan dalam 10 tahun ke depan bila tidak ada temuan yang signifikan, mau tidak mau Indonesia akan terus mengimpor dari luar.
Selain itu, BPH Migas juga memiliki beberapa tugas dan peran yang belum berjalan secara maksimal, seperti pemanfaatan bersama fasilitas pengangkutan dan penyimpanan BBM, dispute resolution body, hingga jumlah penyalur migas yang masih sedikit di daerah-daerah. Kerja sama dengan UI dapat dimaksimalkan untuk menemukan solusi dalam rangka meningkatkan ketersediaan BBM di masa depan.
"Idealnya kita berharap BPH Migas ingin di setiap desa punya penyalur. Apakah mini, sedang, atau besar kita pengen menjamin ketersediaan BBM di NKRI. 5-10 tahun ke depan akan dibangun lembaga distribusi penyalur Indonesia," sambungnya.
Sementara itu, Rektor Universitas Indonesia Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D menyebut bahwa MoU yang disepakati pihaknya dengan BPH Migas merupakan hal yang baik, sebab metodologi yang dimiliki para akademisi tidak cukup kalau tidak dipraktekkan.
"UI mendukung dan berkomitmen kerja sama dengan BPH Migas, UI akan menjadi menara air yang mengalirkan ilmu dan pengetahuan dan berkolaborasi dengan pemerintah dan industri. Diharapkan dengan kajian yang dilakukan dapat menjadi solusi terbaik bagi Pemerintah dalam merespon dampak terhadap pandemi ini," terang Ari Kuncoro.
Untuk rencana masa depan, Ari Kuncoro memaparkan bahwa UI akan senantiasa melakukan studi di mana data yang digunakan dalam penelitian berasal dari BPH Migas untuk menentukan apa saja yang potensial karena ada kemungkinan Indonesia akan beralih dari era bahan bakar fosil.
"Jadi nanti dalam studi dengan BPH Migas, yang potensial itu apa di masa depan, barangkali nanti indonesia akan beralih minyaknya ke sektor petrochemical karena mungkin era bahan bakar fosil sudah berakhir. BPH Migas tetap diperlukan, ini adalah sesuatu yang baru," pungkasnya.
(ega/ara)