Kepala BKF Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan pemerintah memprioritaskan pemulihan ekonomi nasional di tahun 2020 dan dilanjutkan pada APBN 2021.
"Penguatan reformasi di sektor-sektor penting dalam perekonomian menjadi fokus kebijakan fiskal 2021. Karena Indonesia tidak ingin terjebak dalam middle income trap dalam visi mencapai Indonesia maju di 2045," kata Febrio dalam acara leaders talk via virtual, Rabu (17/6/2020).
Febrio menjelaskan, APBN 2021 diharapkan bisa mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Apalagi program penanggulangan dampak COVID-19 sudah dilakukan pada tahun 2020, mulai di sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, maupun dukungan dunia usaha.
Sehingga, dikatakan Febrio, program pemulihan ekonomi nasional yang sudah dilakukan pemerintah saat ini menjadi pondasi kuat untuk keluar dari middle income trap.
"Kebijakan fiskal 2021 bukan kebijakan yang berdiri sendiri, tetapi bagian dari kebijakan jangka menengah yang fokus pada pemulihan ekonomi," ujarnya.
Dia menyebut pertumbuhan ekonomi nasional berpotensi bergerak ke arah skenario sangat berat di 2020 atau menuju -0,4%. Hal tersebut dikarenakan dampak Corona belum juga diselesaikan. Apalagi dilihat dari realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I hanya sekitar 2,97%.
"Ini sudah menunjukkan koreksi aktivitas ekonomi yang cukup tajam. Hal ini mengindikasikan tekanan lebih berat akan dialami sepanjang 2020," katanya.
Febrio mengatakan, pemerintah masih memegang angka pertumbuhan ekonomi pada level 2,3% sampai -0,4% atau dari skenario berat menuju sangat berat. Oleh karena itu, pemerintah menambah alokasi anggaran pemulihan ekonomi nasional menjadi Rp 695,2 triliun.
Lebih lanjut Febrio mengungkapkan Indonesia perlu melanjutkan reformasi ekonomi dalam rangka meningkatkan produktivitas dan daya saing.
"Indonesia masih perlu memperbaiki gap infrastruktur dan meningkatkan kemampuan adopsi teknologi. Di sisi daya saing, banyak hal yang perlu dibenahi antara lain iklim usaha yang masih kurang kondusif untuk investasi, birokrasi, dan regulasi yang masih belum efisien dan high cost economy yang menghambat daya saing ekspor," ungkap dia.
(hek/dna)