Tren naik sepeda yang kembali naik daun "terganggu" dengan munculnya kabar pemerintah akan mengeluarkan regulasi soal pajak sepeda . Meski kemudian Kementerian Perhubungan membantah informasi tersebut.
Kemenhub menyatakan aturan yang saat ini sedang disusun bukan soal pajak sepeda. Namun untuk mendukung sisi keselamatan pesepeda. Pasalnya banyak masyarakat yang menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi di era new normal. "Tidak benar Kemenhub sedang menyiapkan regulasi terkait pajak sepeda," ungkap Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati, Selasa (30/6/2020).
Kalau menengok ke masa lalu, aturan pajak sepeda pernah diterapkan selama berpuluh-puluh tahun. Baik saat masih dalam zaman kolonial Belanda, kemudian berlanjut setelah Indonesia merdeka. Berikut fakta-fakta soal pajak sepeda yang pernah berlaku di Indonesia :
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Pajak sepeda diberi nama Peneng
Kisah peneng ini diceritakan pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Firman Lubis dalam memoarnya yang berjudul Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja. Dalam buku tersebut Firman mengisahkan pengalamannya mengendarai sepeda di Jakarta pada tahun 1950-an.
Menurut Firman setiap pemilik kendaraan roda dua yang dikayuh itu wajib membayarkan pajak sepeda yang diberi nama peneng. "Orang-orang terutama anak-anak sekolah, mengantre dengan sepedanya di Balai Kota (atau "haminte") di Jalan Kebon Sirih untuk membayar peneng. Ini membuktikan masyarakat zaman waktu itu relatif lebih disiplin daripada zaman-zaman sesudahnya," tulis Firman.
Istilah peneng ini diambil dari bahasa Belanda penning. Namun ada juga daerah yang menyebut peneng dengan istilah plombir.
Pembelian peneng ini setiap tahun diiklankan pemerintah Jakarta di koran-koran. Dalam iklan di koran Java Bode tertanggal 18 April 1950, Gubernur Jakarta yang saat itu disebut Wali Kota Jakarta, R Soewirjo memberi informasi bahwa sepeda-sepeda harus dibawa ke Kantor Bendahara Kota, di Jalan Kebon Sirih 22. Tiap sepeda diwajibkan membayar Rp 1 (satu rupiah) untuk setiap pembelian peneng.
2. Peneng ditempelkan di bodi sepeda
Bagi pemilik yang telah membayar pajak sepeda, maka akan diberikan peneng berupa emblem. Biasanya bentuk dan warna peneng di setiap kota memiliki perbedaan. Emblem ini rerbuat dari plat timah tipis yang ditempel di batangan muka sepeda. Belakangan plat ini berubah menjadi stiker.
3. Pajak sepeda ini dibayarkan setiap tahun
Pajak sepeda yang disebut peneng ini harus dibayarkan setiap tahun. Wali Kota Jakarta Raya Sudiro dalam pengumuman di harian De Nieuwsgier tanggal 19 Desember 1956 menyebut penjualan peneng sepeda untuk tahun 1957 dimulai pada 2 Januari 1957.
Harga peneng untuk tahun 1957 di wilayah Jakarta sebesar Rp 4. Bagi sepeda milik anak sekolah diberi potongan setengah harga. Hanya saja anak sekolah yang ingin membayar pajak sepeda ini harus membawa surat keterangan dari kepala sekolah.
4. Mengendarai sepeda tanpa peneng terkena denda
Peneng atau penning dalam bahasa Belanda sudah ada sejak zaman kolonial. Kisahnya dituliskan dalam De Indische courant, 9 Februari 1938. Diceritakan seorang perempuan yang mengendarai sepeda yang tak memiliki peneng. Perempuan ini menurut koran tersebut terpaksa harus membayar denda sebesar 1,5 gulden.
Setelah masa kolonial, rupanya sanksi tetap berlaku. Wali Kota Jakarta Soewirjo lewat pengumuman di surat kabar mengancam akan menahan sepeda yang belum membayar pajak sepeda tahun 1950 kalau berada di jalan umum.
(pal/erd)