Sejak diserang pandemi COVID-19, angka pekerja yang dirumahkan dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin bertambah. Menurut data pengusaha jumlahnya kini sudah mencapai 6 juta orang lebih.
Beberapa pihak menilai, Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja bisa menjadi solusi bagi penyelesaian masalah korban PHK akibat pandemi tersebut.
Lalu, mampukah RUU Cipta Kerja menyelamatkan tenaga kerja korban PHK tersebut?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, sebenarnya tidak ada jaminan RUU Cipta Kerja bisa menyerap tenaga kerja dengan maksimal. Sebab, berbagai pasal di dalamnya cukup kontradiksi dengan kondisi penciptaan kerja itu sendiri.
"Contoh di klaster pangan dan ternak, ada perubahan mendasar bahwa posisi impor pangan disamakan dengan produksi dan cadangan nasional. Ini implikasinya ya impor pangan makin bebas sementara petani dalam negeri tidak diuntungkan. Kalau maksud penciptaan lapangan kerja, bagi petani di luar negeri sih iya," ujar Bhima kepada detikcom, Jumat (3/7/2020).
Kemudian, dari sektor ketenagakerjaan, menurut Bhima ada pasal yang justru memudahkan izin bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) di bidang startup. Padahal, bidang ini harusnya bisa diperuntukkan untuk anak-anak muda dalam negeri yang produktif.
"Kalau TKA dipermudah, sama saja tidak ada penciptaan tenaga kerja lokal yang buat dan mendorong RUU Cipta Kerja juga tidak punya proyeksi jelas berapa banyak serapan tenaga kerja yang bisa dihasilkan misalnya 5-10 tahun pasca RUU ini disahkan. Karena yang buat juga tidak yakin dengan RUU ini saya kira," paparnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet. Menurut Yusuf, kurang tepat bila menganggap RUU Cipta Kerja bisa jadi solusi bagi korban PHK. Lantaran, belum tentu investasi yang diserap nanti masuk ke sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Mengingat, sebelum disahkannya RUU Cipta Kerja saja, proporsi investasi yang masuk ke Indonesia telah banyak bergeser ke sektor jasa. Padahal, korban PHK dari pandemi COVID-19 ini kebanyakan berasal dari sektor industri manufaktur.
"Kalau melihat poin pasal RUU tersebut memang menyasar untuk masalah ekonomi Indonesia, selama ini investasi sulit masuk ke Indonesia itu yang mau diselesaikan, namun apakah ini bisa jadi solusi untuk tenaga kerja itu tidak sepenuhnya tepat, sebab RUU ini tidak bisa menjamin kalau investasi yang masuk akan ke sektor dengan karakteristik menyerap lapangan kerja seperti industri manufaktur," kata Yusuf.
Selain itu, kondisi ekonomi global khususnya sepanjang tahun ini masih diliputi ketidakpastian akibat adanya COVID-19 serta potensi perang dagang. Hal ini tentu mempengaruhi keputusan investor. Sehingga, meskipun RUU Cipta Kerja dikebut dalam waktu dekat, belum tentu bisa langsung menyerap investasi ke Indonesia.
"Saya prediksi investor sementara waktu ini akan menahan keputusannya berinvestasi. Jika demikian Indonesia juga akan terkena dampaknya dari hal ini," sambungnya.
(eds/eds)