Teddie dan teman-teman kampusnya di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta mengawali keinginan berbisnis dari kebiasaan mereka ngopi. Ia bersama empat temannya yaitu Denny Neilment, Roni Wirayuda, M. Ali Sofyan, dan Citot Tatar Kusnoto memang sering nongkrong bareng sambil ngopi.
Mereka berlima sering menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama di kedai kopi untuk sekedar ngobrol ngalor-ngidul tentang bermacam hal mulai dari kuliah, cewek hingga rencana apa setelah lulus kuliah. Dari kelima orang ini ternyata mereka punya cita-cita yang sama: tidak ingin jadi karyawan. Dari obrolan remeh temeh tersebut kelima orang ini pun sepakat untuk membangun usaha bersama.
Melalui obrolan panjang, akhirnya mereka memutuskan untuk membuka usaha kedai kopi. Mereka pun kemudian patungan dengan porsi sama dan masing-masing patungan Rp 200 ribu. Masalahnya uang R p1 juta hasil patungan berlima tak mungkin untuk membuka usaha kedai kopi. Mereka lantas berpikir bagaimana caranya agar uang tersebut bisa digunakan untuk membuka usaha.
Kemudian terbetik ide di kepala mereka dan kemudian mereka berlima membeli tinta dan kertas. Kok kertas dan tinta? Mereka ternyata membuat proposal bermodal dengan kertas dan tinta untuk printer. Setelah proposal dirasa cukup menjual, mereka berlima kemudian bergerilya untuk mencari investor.
Ternyata mencari investor tak semudah yang mereka bayangkan. Proposal mereka bukan ditolak sekali-dua atau belasan kali. Proposal mereka ditolak lebih dari 100 kali. Hebatnya mereka tak menyerah dan setelah melewati angka 100, proposal mereka disetujui investor dan mereka mendapatkan dana sebesar Rp 80 juta. Semangat pun langsung meroket di saat mereka hampir putas asa.
"Kalau sendirian sih presentasi sepuluh kali ditolak mungkin sudah menyerah. Beruntung kita berlima jadi bisa saling dukung pas ada yang down," kata Teddie.
Tahun 2004 adalah tonggak dari usaha bermodal proposal mereka dengan membuka kedai kopi dengan nama Kedai Kopi di Gejayan, Yogyakarta. Mereka kemudian mengumpulkan kopi nusantara untuk menu utama Kedai Kopi. Mereka memfokuskan citarasa nusantara untuk kopi yang disajikan.
"Dari dulu kopi kami kopi Indonesia. Ada yang menawari kopi dari luar negeri tapi kami tolak. Kami juga membeli kopi dari petani atau koperasi kopi di daerah dengan harga lebih baik dari harga pasar. Itu bentuk apresiasi kami terhadap petani kopi di Indonesia," kata Teddie.
Kedai Kopi terus berkembang dan sekarang ini sudah memiliki 13 Cabang. Tak hanya di Yogya, Kedai Kopi juga membuka cabang di Jakarta, Palu dan Surabaya. Cabang terbaru berlokasi di Bandara Adi Sucipto, Yogya. "Bandara Yogya adalah pilot project kami. Ke depan kami ingin membuka gerai di bandara-bandara lainnya," tambah Teddie.
Melihat hasil yang diraih Teddie dan teman-temannya sepertinya usahanya berjalan mudah. Padahal tidak begitu faktanya. Seperti jamaknya sebuah usaha, pasti ada kendala dalam mengembangkannya. Salah satunya adalah pembajakan karyawan Kedai Kopi, khususnya barista.
Mereka biasanya memang mencari barista dengan skill nol alias tak tahu banyak tentang kopi. Setelah itu mereka memberikan training kepada mereka. Kedai Kopi juga tak pelit dalam meningkatkan ilmu para barista. Para barista sering diikutkan kompetisi barista untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka.
Cara ini tapi kadang justru jadi bumerang bagi Kedai Kopi. Barista yang menang kompetisi kadang dibajak pihak lain. Kapok? Tidak. "Kalau barista kita dibajak, itu artinya kita berhasil dalam mendidik mereka," lanjut Teddie.
Meski beberapa kali baristanya dibajak, tapi mereka tak pernah kekurangan barista, karena Kedai Kopi memang selalu mendidik barista baru. Hal inilah yang menjadi pembeda Kedai Kopi dengan usaha sejenis.
Soal omzet, Teddie tak membuka berapa omzet mereka perbulan. "Kita hitungnya berapa cup terjual dalam perbulan. Sebab, tiap kota kan harganya beda-beda. Kopi yang sama di Yogya dijual Rp 12 ribu misalnya. Di Jakarta bisa Rp 25 ribu. Masing-masing kedai juga beda penjualannya. Ada yang 2.000 cup, ada yang sampai 5.000 cup," kata Teddie.
Tapi bila dihitung saja dalam sebulan terjual 2.000 cup kopi dengan harga jual Rp 15 ribu, maka omzet satu kedai untuk penjualan kopi saja sekitar Rp 30 juta. Itu baru dari kopi, belum termasuk makanan mereka. Pastinya omzet untuk 13 kedai tersebut sangat menggiurkan. Sebuah pencapaian hebat mengingat usaha ini berawal dari patungan sebesar Rp 1 juta. Dengan ide kreatif, modal tak harus jadi penghalang untuk membangun sebuah usaha.
(dnl/dnl)