Ia memulai bisnisnya sejak di bangku kuliah, motivasi berbisnis kala itu pun sederhana. Wahyu tak pernah berpikir menjadi pengusaha dengan omzet miliaran rupiah.
"Hanya ingin punya uang tambahan. Karena teman-teman punya uang sendiri dari bekerja sampingan, hanya saya yang nggak punya waktu itu," tutur Wahyu kepada detikFinance dalam obrolan santai melalui sambungan telepon, Kamis (19/3/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya ingin kerja sambilan, tapi melamar ke 5 tempat nggak ada yang mau terima saya ya saya wirausaha saja. Untung nggak diterima, kalau diterima mungkin sekarang saya nggak seperti ini," katanya tertawa.
Sebagai wirausahawan muda, pria plontos ini menetapkan produk tas sebagai produk yang ditekuninya. Alasannya karena bagian dari strategi bisnisnya yang mengedepankan efisiensi produksi.
"Beda dengan baju yang ada ukuran S,M,L,XL dan seterusnya. Tas itu nggak ada ukurannya. Kelebihannya dari segi bahan lebih gampang dihitung. Dari segi penjualan juga lebih pasti terjualnya. Kalau pakaian kan satu model saja banyak ukuran, belum tentu semua ukuran laku, lebih banyak terbuangnya," jelas Wahyu beralasan.
Usahanya ini pun mulai menggeliat, ketika pada 2007 seorang dosen menantangnya dengan proyek pengadaan 400 buah tas seminar, dan harus dipenuhi dalam hitungan hari.
Tanpa berpikir panjang Wahyu pun menyanggupinya. "Saya jawab saja dulu โbisa pakโ. Sampai di rumah baru mikir bagaimana caranya," kenang Wahyu sembari tertawa kecil menahan geli membayangkan kejadian tersebut.
Ia mengaku belum pernah punya pengalaman memproduksi tas dalam skala besar. Namun kepalang tanggung sudah menyanggupi tantangan tersebut, Wahyu memutar otak.
Di bawah tekanan tenggat waktu yang singkat, dengan modal "Yellowpages" Wahyu mulai mencari produsen tas yang sanggup memproduksi tas dalam jumlah besar dan waktu yang singkat.
Dari sini lah Wahyu mulai menggeluti bisnis tas dengan serius. Selesai kuliah, ia dibantu seorang rekan akhirnya memutuskan untuk mengembangkan merek dagang sendiri yang diberi nama Ortiz.
Usahanya pun tak berjalan semulus yang diharapkan. Saat itu serbuan produk asing seperti Nike, Adidas dan lainnya tengah merajai pasar produk termasuk pakaian dan tas di tanah air. Produk lokal sulit berkompetisi, meski memiliki kualitas yang tak kalah dengan mereka-merek bermerek.
"Kelemahannya waktu itu di-branding ya. Waktu itu orang pikirannya merek nomor satu. Adidas bikin kantung plastik pun laku mahal dijual. Beda dengan lokal meskipun produknya berkualitas," cerita Wahyu.
Berkat ketekunannnya, jalan pun terbuka, alumni Manajemen Marketing dari Universitas Negeri Surabaya ini mendapat order 5.000 buah tas, dari sebuah perusahaan dagang berbasis di Singapura, yang ditemuinya dalam sebuah ajang pameran wirausaha internasional di 2011.
Order dari luar negeri ini tentu melihat kualitas produk tas miliknya yang tak kalah saing dengan produk lain. "Kalau orang luar beli tas lihat kualitasnya," katanya.
Pengiriman untuk kontrak senilai Rp 5 miliar itu pun dimulai, separuh jumlah tas yang dipesan telah dipenuhi dan laris manis di pasar Singapura.
Namun sial tak bisa diduga, usahanya kembali mengalami kendala. Merek tas yang digunakannya digugat oleh perusahaan tas asal Spanyol dengan merek dagang yang sama, 'Ortiz'.
Masalah paten merek menjadi kendala utamanya. "Namanya juga waktu itu kita masih lugu. Lagi pula dulu internet belum ada. Mana kita tahu ada perusahaan Spanyol punya merek sama dan mereka sudah punya paten sedangkan kita belum punya," katanya.
Alhasili, separuh tas yang kirimkan tersebut terpaksa dikembalikan dan Wahyu harus menelan pil pahit, karena harus membayar denda akibat tidak terpenuhinya order 5.000 tas tersebut.
"Kalau bahasa bisnis itu potential loss. Saya harus bayar ke mereka Rp 600 juta karena saya gagal memenuhi target 5.000 tas yang mereka pesan," katanya.
Ini adalah kebangkrutan terbesar yang pernah dialaminya. Namun sebagai pengusaha, ketika ada masalah harus dihadapi dan tidak boleh menyerah. Wahyu pernah bernegosiasi dengan pemilik toko yang memesan tas miliknya untuk menunda waktu pengiriman dengan merek dagang yang baru.
"Untungnya mereka mengerti dan menyetujui," katanya.
Tas-tas yang dikembalikan kemudian diberi logo mereknya dan dijual dengan harga pokok produksi. Uang yang diperoleh dijadikannya modal lagi untuk memproduksi tas dengan merek dagang yang baru, 'Evrawood'.
Dengan ciri khas logo kepala rusa dibalut lingkaran solid dipadu tulisan 'EVRAWOOD Genuine Product' produk tas yang berbasis di Surabaya ini mulai diproduksi dalam jumlah besar untuk memenuhi target pesanan ke Singapura yang sempat tertunda.
Selain Singapura, Evrawood, kini sudah merambah pasar mancanegara seperti Belanda, Inggris, Italia, Jerman, Swedia serta Singapura, dan Malaysia.
Pria kelahiran 10 maret 1986 ini cukup percaya diri mengklaim produknya setara dengan berbagai merek-merek tas ternama dunia seperti Braun Buffel, Camel Active, Kipling, Lee Cooper, Hush Puppies, Elle.
"Keunggulan kita, kita kasih garansi 3 tahun," kata Wahyu.
Dalam setahun, ia mengaku bisa memproduksi hingga 8.000 tas yang 70% untuk memenuhi permintaan ekspor dengan menggandeng distributor di Eropa, Singapura, dan Malaysia.
"Semula 100% untuk ekspor, sekarang 30% kita alokasi untuk lokal karena sekarang kan masyarakat kita mulai terbuka, kualitas itu lebih utama ketimbang merek. Jadi saya mulai berani jual di dalam negeri," katanya.
Melalui agen penjualan online seperti Lazada atau Blibli.com, Wahyu mulai mendistribusikan tas produksinya untuk penjualan di pasar dalam negeri.
Ia mengaku malu mengungkapkan omzet lantaran masih belum setara dengan merek ternama lainnya. Namun, dengan penjualan tas yang dibanderol dengan kisaran Rp 490.000 hingga Rp 2,5 juta, omzet yang dikantongi hingga miliaran rupiah per tahun.
"Di atas Rp 1 miliar di bawah Rp 5 miliar,โ katanya malu-malu.
Dari bisnis tasnya, pria yang tahun ini menginjak usia 29 tahun ini sudah bisa memiliki rumah dan mobil sendiri. Tak terbayang bila saat kuliahnya, Wahyu menerima bekerja paruh waktu dan menyiakan kesempatan suksesnya lebih awal.
Selain sukses, pria tinggi putih ini juga berhasil membagi kesuksesannya kepada orang lain. Saat ini ia telah mempekerjakan 11 orang karyawan tetap dan 30 orang pekerja tak tetap.
Keberhasilannya ini diganjar buah manis dengan dinobatkan sebagai juara pertama dalam ajang Wirausaha Muda Mandiri 2014 kelompok alumni dan pascasarjana untuk kategori industri kreatif yang diselenggarakan PT Bank Mandiri Tbk, pekan lalu.
(dna/dnl)