Lontong Opor Pak Pangat, begitu nama yang terpampang di terpal warung yang menempati rumah tua sangat sederhana berdinding kayu jati di pinggir jalan. Letaknya berada di Desa Kapuan, sekitar setengah jam perjalanan dari pusat Kota Cepu, yang kesohor karena kandungan minyaknya.
Meski memakai nama Pak Pangat, pembeli juga mengenalnya dengan warung opor Bu Pangat. Sutinah atau yang biasa dipanggil Ibu Pangat, mengaku sudah berjualan opor ayam sejak 1997. Opor ayam racikan Sutinah mulai terkenal sejak 2000 lalu lewat mulut ke mulut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap hari, saat warung dibuka pada pukul 10.00 WIB, semua lontong opor ayamnya langsung habis dipesan.
![]() |
"Jadi mau datang, mau makan, harus pesan dulu sehari sebelumnya. Kalau mau makan di sini datang langsung, nggak bakalan dapat. Jadi masak di tungku jam 7 pagi, jam 10 habis (dipesan)," kata Sutinah kepada detikFinance, dihubungi pada pekan lalu.
Bahkan jika saat akhir pekan, disarankan memesan opor ayam 3 hari sebelumnya jika tak ingin kehabisan. Sutinah, yang kini berusia 49 tahun berujar, dalam sehari memasak 70 ekor ayam kampung. Setiap ayam kampung, dimasaknya menjadi 5 porsi opor ayam yang setiap porsinya dibanderol Rp 16.000, sudah termasuk lontong.
Awal merintis opor ayam, kata dia, bermula dari berjualan nasi uduk di pagi hari. Opor ayam, menurutnya, hanya sebagai sampingan. Sebelum berjualan di kampungnya, selama 5 tahun lebih dirinya sempat membuka usaha Warung Tegal (Warteg) di Jakarta. Namun kemudian bangkrut bersamaan dengan krisis ekonomi.
"Dulu jualan 2 ekor opor ayam saja nggak habis, masih harganya Rp 4.500 seporsi, susah sekali habisnya. Sekarang sudah Rp 16.000, 7 selalu habis, omzet sekitar Rp 5 juta lebih seharinya. Sebelumnya sempat di warteg di Jakarta, tapi nggak diteruskan," ucap Ibu dua anak dengan satu cucu ini.
![]() |
Banyaknya penggemar opor ayam, kata Sutinah, tak lepas dari racikan bumbu dan cara memasaknya yang berbeda dengan opor ayam lainnya, terutama pada kuah opornya.
"Bumbunya saya selalu jaga pas. Kalau opor di Jakarta kan pakai lada, kunyit dan sebagainya. Kalau saya banyak cabai merah, sereh dibanyakin, masaknya juga harus pakai kayu jati di tungku khusus, karena apinya beda," ujar Sutinah.
Dengan pembeli yang mayoritas berasal dari luar Desa Kapuan, Sutinah mengaku belum berniat membuka cabang Opor Ayam Ibu Pangat di daerah lain.
![]() |
"Anak yang teruskan, sekarang belum kepikiran sama sekali buka cabang. Cari ayam kampungnya saja sudah susah, ini saja beli ayam kampungnya dari Jawa Timur, kalau di sini susah carinya," pungkas Sutinah.
(ang/ang)