Bos Siomay Gondrong, Wasis Nuriman, sukses menjadi bos siomay dengan 24 anak buah. Pria kelahiran Nganjuk 5 Agustus 1978 ini sempat gonta-ganti profesi mulai dari cleaning service, penjual mainan anak, hingga akhirnya mantap menjadi bos Siomay Gondrong, sang peraup cuan.
Sempat putus sekolah saat SMP dan kemudian melanjutkan paket C, Wasis awalnya bekerja sebagai cleaning service di Cengkareng pada 1994-1998. Saat itu Wasis digaji sekitar Rp 260 ribu. Kemudian dia ganti profesi menjadi penjual bakso keliling pada tahun 2000. Namun saat menjalani profesinya, Wasis sempat jatuh sakit selama 2 tahun dan mengharuskan dia melakukan fisioterapi pada 2001.
Setelah sembuh, Wasis menjajal peruntungan sebagai pedagang mainan di Depok, Jawa Barat, pada tahun 2001 hingga 2010. Dia juga sempat menjual alat pancing. Kemudian Wasis bergabung dengan saudaranya untuk menjual Siomay Gondrong di Pondok Gede, Jakarta Timur, pada 2010. Kenapa dinamakan Siomay Gondrong? Karena dulunya pemilik Siomay Gondrong yang notabene saudaranya, berambut gondrong.
"Awal mula Siomay Gondrong di Pondok Gede lalu dibeli sama saya," ujar Wasis saat ditemui detikFinance di tempat usahanya Abadijaya, Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Wasis membeli nama Siomay Gondrong dengan harga Rp 200 juta dari saudaranya tersebut. Pembelian tersebut termasuk motor dan peralatan lainnya. Dia lalu mengembangkan Siomay Gondrong di Abadijaya, Depok, Jawa Barat. Saat itu dia memiliki 4 karyawan. Kini Wasis memiliki 20 karyawan untuk menjual siomay keliling atau menetap di satu tempat seperti di Jatijajar dan dekat sebuah toko buku di Depok, dan 4 orang di dapur. Selain di Abadijaya, Wasis memiliki cabang Siomay Gondrong di Sawangan, Depok. Rencananya Wasis akan membuka cabang lagi di Bintaro.
Dari modal tidak menentu pada 2010 itu, Wasis meraup omzet Rp 5 juta. Kini omzet Wasis mencapai Rp 200 juta per bulan atau untung bersih sekitar Rp 50 juta per bulan dengan memproduksi 5.000 siomay setiap harinya. Jumlah tersebut belum ditambah hidangan pelengkap siomay seperti tahu dan telur.
Usaha Terbantu karena BRI
Selama membuka usahanya, Wasis terbantu dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Wasis mengikuti KUR BRI Rp 25 juta sekitar 2014 dengan cicilan Rp 2.216.000 per bulannya selama jangka waktu 2 tahun. Uang dari BRI dia pergunakan untuk membeli kendaraan roda dua untuk anak buah berjualan dan operasional. Wasis sudah 4 kali meminjam dengan program KUR BRI. Terakhir dia meminjam melalui Kupedes BRI sebesar Rp 75 juta pada 2023.
"Saya terus terang dibantu banget sama BRI. Sekarang saya pakai Kupedes Rp 75 juta dengan cicilan Rp 3,8 juta per bulan sejak 2023. Proses pinjam uang sama BRI gampang, karena direkomendasikan mantri BRI dan ada agunan 2 Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) motor," ungkap Wasis.
Usaha Stabil Saat Pandemi
Saat Pandemi Covid-19, usaha Siomay Gondrong tidak jatuh melainkan stabil. Pembelian terbanyak melalui aplikasi online di ponsel. Bagi yang pesan siomay beku, pembeli harus memesan terlebih dulu.
Jatuh Bangun Usaha
Wasis selama merintis usaha tidak selalu berjalan mulus. Beberapa jalan terjal dilaluinya seperti uangnya diambil anak buahnya. Anak buahnya pun dipecatnya. Selain itu gerobak anak buahnya pernah jatuh karena tertiup angin. Alhasil semua siomay tidak bisa diselamatkan. Namun Wasis memberikan uang Rp 50 ribu pada anak buahnya tersebut sebagai jerih upaya telah membantu memasak siomay. Setiap pukul 07.00 WIB hingga pukul 11.00 WIB anak buah Wasis membuat siomay bersama tukang masak. Setelah itu anak buah menjajakan siomay dari pukul 13.00 hingga pukul 18.00 WIB atau sampai habis. Selama puasa Ramadan, anak buah Wasis menjajakan siomay dari pukul 15.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB.
"Kalau puasa panen karena banyak yang dibungkus untuk berbuka puasa," tutur Wasis.
Selama ini, Wasis menerapkan sistem komisi pada anak buahnya yang berhasil menjual Siomay Gondrong. Namun bagi anak baru, Wasis memberi upah Rp 150 ribu per hari.
Sementara itu, anak buah Wasis, Bawor, saat ditemui di dekat toko buku di Depok beberapa waktu lalu mengatakan, dia menjual siomay dari pukul 13.00 WIB setiap harinya. Pria asal Purbalingga itu membawa 650 siomay dari wasis. Hingga pukul 17.00 WIB, siomaynya tinggal separuh panci. Sebab saat itu ada pembeli yang membeli seharga Rp 240 ribu dan semuanya dibungkus, tidak makan di tempat.
(nwy/hns)