Ciputra merintis usahanya sejak masih jadi mahasiswa di ITB. Ia membangun bisnis bersama dua sahabatnya sesama mahasiswa ITB Budi Brasali dan Ismail Sofyan hanya bermodal ilmu arsitektur yang didapat di kampus. Mereka mendirikan CV Daya Tjipta.
Awalnya, seperti kisah Larry Page dan Sergei Brin memulai Google, mereka berkantor di sebuah garasi di Jalan Soetjipto, Bandung. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah di Bandung mencari orang yang bersedia memakai jasanya. Hingga akhirnya Ciputra menikah, punya anak dan menyandang gelar insinyur dari ITB.
"Apakah kita akan terus begini dan menunggu order datang?" Ciputra bertanya kepada Budi dan Ismail.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka dia memboyong keluarganya meninggalkan Bandung dan pergi ke Jakarta. Pada awal 1960-an, Jakarta sedang berbenah. Tak ada cara lain supaya bisa dapat proyek besar kecuali bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta yang saat itu dijabat Soemarno Sosroatmodjo.
Lewat perantaraan seorang kerabat, Ciputra berkenalan dengan Mayor Charles, mantan asisten Gubernur Soemarno. Ciputra minta bantuan Charles untuk mempertemukannya dengan Gubernur Soemarno.
"Saya hanya ingin menyampaikan pemikiran saya untuk membangun Jakarta," kata Ciputra.
Entah apa yang dipikirkan Gubernur Soemarno, dia mau menemui dan mendengarkan paparan gagasan Ciputra yang baru lulus kuliah. Soemarno membenarkan konsep Ciputra namun pemerintah tak punya dana. Soemarno menunjuk satu wilayah Jakarta, kawasan Senen, yang perlu segera ditata.
Dengan mengendarai sepeda motor, datanglah Ciputra ke kawasan Senen, Jakarta Pusat. Yang dia lihat saat itu adalah satu kesemrawutan yang sempurna. Kios-kios dan lapak pedagang berimpitan sangat rapat, berebut tempat dengan rumah-rumah petak warga. Sampah bertebaran dan menggunung di mana-mana, seolah sudah jadi suatu hal yang wajar.
Berhari-hari, Ciputra bolak-balik menyusuri setiap pojok kawasan Senen sembari terus memutar otak, bagaimana caranya membereskan kesemrawutan itu. Dia balik ke Bandung menemui dua sahabatnya, Budi dan Ismail.
"Kita harus membuat maket yang sempurna," kata Ciputra. Mereka tancap gas menggarap proyek itu siang-malam.
"Saya setuju. Sempurna.... Pertokoan dan permukiman memang tak boleh disatukan," kata Gubernur Soemarno setelah menyimak presentasi Ciputra.
Soemarno pun mengajak Ciputra untuk bertemu Presiden Soekarno. Beberapa hari kemudian, Gubernur Soemarno dan tim Ciputra diterima Presiden Sukarno untuk mempresentasikan konsep peremajaan kawasan Senen. Ciputra yang masih anak bawang mesti mengumpulkan keberanian dan kepercayaan diri.
Meski yang dihadapi hanyalah arsitek yang masih sangat muda, Presiden Sukarno menyimak pemaparan Ciputra dengan serius.
"Bagus sekali," kata Presiden Sukarno.
Restu dari Presiden turun sudah, tapi ada satu masalah besar belum terselesaikan yakni masalah pendanaan. Gubernur Soemarno berjanji akan membantu mengumpulkan sejumlah pengusaha untuk menyokong proyek itu. Berkumpullah beberapa pengusaha besar kala itu, seperti Hasjim Ning dan Agus Musin Dasaad, juga sejumlah petinggi bank, seperti Jusuf Muda Dalam, bos Bank Negara Indonesia, dan Jan Daniel Massie, Direktur Utama Bank Dagang Negara. Lahirlah PT Pembangunan Ibukota Jakarta Raya (Pembangunan Jaya) pada 3 September 1961.
Proyek Senen ini tak semulus rencana di atas kertas. Pedagang dan penduduk yang sudah bertahun-tahun berada di Senen menolak pindah dan melawan sengit setiap upaya menggusur mereka. Perlu usaha sangat keras, berkeringat dan berdarah-darah supaya Proyek Senen terus merayap ke depan.
Hingga Gubernur Jakarta berganti, Ciputra dan anak buahnya masih terus berjuang menuntaskan Proyek Senen. Akhirnya tiga blok berhasil mereka bangun, yakni Blok I, Blok II, dan Blok IV.
Proyek Senen menguras tenaga dan emosi. Tapi proyek inilah yang jadi pijakan pertama usaha Ciputra hingga akhirnya perusahaannya beranak-pinak sampai sekarang. Di Senen, Ciputra mendapat pelajaran berharga. Setelah menuntaskan tiga blok itu, dia menyampaikan kepada anggota direksi Pembangunan Jaya, Eric Samola, Soekrisman, dan Hiskak Secakusuma, niatnya mundur dari Senen.
"Cukup sudah, saya tak mau meneruskan pekerjaan di Proyek Senen," kata Ciputra suatu hari.
Ia bilang, proyek iu merupakan pelajaran pertama dan terakhir. Ke depan, ia berharap tak mengerjakan lagi proyek yang menyakiti orang lain, tidak menggusur dan memaksa pindah.