Kisah Ferry Sutanto, Malang Melintang di Sillicon Valley Hingga Bikin Startup Sendiri

Kisah Ferry Sutanto, Malang Melintang di Sillicon Valley Hingga Bikin Startup Sendiri

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Sabtu, 29 Jul 2023 09:56 WIB
Ferry Sutanto
Foto: Dok. Istimewa
Jakarta -

Siapa yang tidak mengenal Silicon Valley? Di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini, masyarakat modern pasti cukup familiar dengan nama wilayah di Amerika Serikat ini. Wilayah ini merupakan pusat teknologi dan inovasi tersohor di dunia yang telah melahirkan berbagai perusahaan hi-tech terbesar di dunia dan ribuan perusahaan start-up.

Ada seorang pria berdarah Bangka-Kalimantan yang pernah berkarier di sana, bahkan lebih dari 10 tahun. Dia adalah Ferry Sutanto. Ferry bekerja di bidang teknologi digital, setelah sebelumnya ia memulai karir di dunia teknologi digital di Austin, Texas selama lebih dari 5 tahun.

Ferry sendiri bercerita kariernya telah banyak malang melintang hingga kini membangun startup sendiri bernama G2Academy, sebuah inovasi teknologi di bidang pendidikan atau edutech. Bagaimana ceritanya?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pria kelahiran 1973 ini mengaku passionnya di dunia teknologi telah terlihat sejak masa remaja, tepatnya sejak kelas 3 SMP, ketika ia pertama kali merasakan serunya bermain game simulasi basket di rumah temannya.

Anak pertama dari empat bersaudara ini mengaku sudah punya karakter geek dan suka belajar sejak kecil. Pola didik orang tuanya yang tidak terlalu menuntut dalam urusan akademis, tidak dijadikannya alasan untuknya bermalas-malasan, alih-alih menumbuhkan inisiatifnya untuk mencari tahu dan belajar sendiri.

ADVERTISEMENT

"Setiap saya main game, saya selalu penasaran bagaimana cara pembuatan dan pengembangannya. Masalahnya saat itu tidak ada buku-buku seputar pemrograman pembuatan game yang dijual di pasaran, sehingga saya lebih sering bereksplorasi dengan membongkar barang-barang elektronik yang sudah tidak terpakai," ujar Ferry kepada detikcom belum lama ini.

Guna memuaskan rasa ingin tahunya, Ferry pun menekuni kursus pemrograman di Pertokoan Duta Merlin, Jakarta Utara. Kata Ferry, dulu itu satu-satunya tempat kursus pemrograman di Jakarta. "Sudah lama sekali. Bahkan di zaman tersebut sistem operasi komputer masih menggunakan DOS. Tapi saya sangat menikmatinya pada masa itu," katanya.

Waktu lulus SMA, sekitar tahun 1991, ia mengaku mendapatkan firasat bahwa suatu hari nanti komputer akan ada dimana-mana dan menjadi kebutuhan semua orang di dunia. Itu sebabnya tidak berpikir panjang untuk menentukan bahwa computer science adalah jurusan yang akan dia tekuni selama kuliah. Keputusan ini menimbulkan pertentangan dan pertanyaan dari orang tuanya, seperti "Mengapa komputer?", "Masa depannya nanti bagaimana?", dan "Mau kerja apa?"; namun tidak mengecilkan niatnya.

"Saya merasa seperti terpanggil. Saat itu saya tidak takut sama sekali kalau nantinya akan ada pekerjaan untuk saya atau tidak. Saya hanya percaya dengan firasat saya karena saya yakin di situlah tempat saya," lanjut Ferry.

Ferry kemudian mendapatkan kesempatan untuk bisa kuliah di Amerika Serikat (AS). Ia mendaftarkan diri dan belajar di George Washington University di Washington D.C. selama setahun lalu kemudian pindah ke The University of Texas, Austin, Texas hingga lulus S1.

Pasalnya, secara peringkat dalam jurusan computer science universitas tersebut lebih bagus daripada universitas yang pertama ia masuki, ujar Ferry. Di fase awal pindah ke Amerika seorang diri, Ia mengaku Bahasa Inggris cukup pas-pasan.

"Tahun pertama saya disana, itu adalah struggle terbesar saya. Bahasa Inggris pas-pasan, sendirian pula. Sampai-sampai saya sempat membuat target bahwa teman-teman saya disana harus orang bule, agar memaksa saya untuk belajar Bahasa Inggris," cerita Ferry sambil tertawa.

Selama kuliah, ia kerap mencari lowongan magang paruh waktu melalui informasi di koran-koran, bulletin, dan media informasi lainnya, dan kemudian mendapatkan kesempatannya di Metrowerks, Texas sebagai tech support, sebuah perusahaan yang menyediakan perangkat pengembang software untuk berbagai macam desktop, handheld, embedded, dan juga gaming platforms. Setelah magang, Ferry kemudian diangkat menjadi karyawan dengan posisi quality assurance dan junior developer.

Ia kemudian berhenti setelah lima (5) tahun menjalani karier pertamanya di Metrowerks. Alasannya karena ingin pindah ke Silicon Valley. Sempat terkejut karena ternyata permintaan akan talenta digital di Silicon Valley sangat tinggi, ia akhirnya menciptakan roadmap kariernya. Ferry merasa perlu untuk menavigasikan langkahnya dalam berkarier dan memutuskan akan bekerja dimana. Redback Networks adalah tempatnya berlabuh kemudian.

Redback Networks adalah sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri dalam perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan oleh Penyedia Layanan Internet (ISP) untuk mengelola layanan broadband dan kini telah menjadi anak perusahaan Ericsson. Di situ Ia bekerja sebagai Senior Software Engineer selama 6 tahun 8 bulan dan kemudian pindah ke Cisco System sebagai Technical Leader selama 4 tahun 5 bulan.

Lanjut halaman berikutnya.

Sempat Gagal Bangun Startup

Setelah menghabiskan hampir 11 tahun di Silicon Valley, ia merasa membutuhkan tantangan baru dengan tanggung jawab yang lebih besar. Di momen yang sama, kebetulan ia bertemu dengan beberapa eksekutif dari Grup Djarum yang sedang menghadiri konferensi teknologi di Silicon Valley.

Lewat pertemuan itu, ia mulai berpikir mempertimbangkan Indonesia sebagai labuhan berikutnya untuk mendapatkan tantangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Saat pulang ke Indonesia, Ferry tidak langsung membangun G2Academy. Ia terlebih dulu bekerja merintis startup e-commerce Blibli.com sebagai Head of Technology.

"Pada fase awal, masih banyak sekali tantangan yang dihadapi, seperti contohnya software dari vendor yang belum memadai, sehingga kami harus putar otak dan akhirnya saya tantang tim untuk mengembangkan e-commerce engine sendiri. Itu kami lakukan dalam payung project research & development. Ternyata hasilnya memuaskan sekali. Terbukti ketika switch ke engine yang baru, tidak ada yang tahu sama sekali saking smoothnya. Buat saya ini merupakan moment yang tidak akan terlupakan," katanya.

Ferry bekerja di Blibli selama hampir empat tahun hingga akhirnya memutuskan untuk membangun start-up sendiri. Ia membangun sebuah e-commerce bernama grya.co.id. Namun dengan banyaknya startup-startup baru yang muncul dengan berbagai fitur yang menarik, membuat bisnisnya tidak berjalan lancar.

Meskipun begitu, Ferry tidak menyerah untuk membangun usahanya sendiri. Hingga pada suatu hari ia bertemu seseorang yang menawarkan dirinya berkolaborasi untuk membangun sebuah sekolah coding untuk talenta-talenta Indonesia yang ingin 'melek' dengan dunia teknologi, dan disitulah cikal bakal terciptanya G2Academy. Saat itu, ia sembari bekerja sebagai Chief Technology Officer Consultant di SiCepat Ekspress dan LakuEmas Indonesia.

"Awal lahirnya G2Academy, tentu tidak langsung menjadi seperti sekarang. Pada tahun 2018 kala itu, perjalanan saya membangun G2Academy dimulai dari trial, membuat kelas-kelas pendek, mencari pendanaan, dsb. Ternyata semua berjalan mulus dan tahun 2018 G2Academy mulai mendapatkan pendanaan dari Ancora Capital di bawah kepemimpinan Gita Wirjawan. Pada tahun 2020, di masa COVID 19 melanda, kami bertahan melalui beberapa pilar bisnis kami, yaitu menjadi mitra PraKerja dan menjalankan corporate training," ujar Ferry sumringah.

Awalnya, bisnis G2Academy juga belum mencakup penyediaan inovasi/solusi teknologi. "Hal itu terjadi tanpa disengaja, sebenarnya. Seiring G2Academy berjalan dengan corporate training dan kelas-kelas edukasi, ternyata kami kerap mendapatkan proyek-proyek di luar pendidikan/pelatihan, dan ternyata menguntungkan. Dan jika saya boleh jujur, salah satu kunci G2Academy bertahan di tengah startup winter adalah karena adanya diversified revenue stream, dalam arti lain, kami tidak hanya mengandalkan satu pilar bisnis saja," lanjut Ferry.

G2Academy, yang dulunya hanya digawangi oleh Ferry Sutanto sendiri, bersama dengan 4 orang freelancer lainnya yang terdiri dari 1 orang web designer, 2 orang guru/mentor, 1 staff marketing, saat ini telah menaungi 100 orang lebih karyawan.

"Jika ditanya saya ingin G2Academy kemana lagi setelah ini? Tentunya harapannya adalah agar terus bertumbuh dan semakin besar, mendapatkan strategic investor global yang lebih banyak, networking lebih luas, talenta digital yang dihasilkan dapat berkompetisi di kancah dunia, dan suatu hari nanti dapat membangun kampusnya sendiri. Bicara angka, yang saya inginkan dalam 3 tahun secara revenue G2Academy dapat bertumbuh terus hingga 3-4 kali lipat," harap Ferry.


Hide Ads