Masyarakat Indonesia sudah tak asing lagi dengan taksi Blue Bird. Perusahaan taksi ini sudah eksis sejak 50 tahun yang lalu.
Perusahaan ini didirikan seorang wanita bernama Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono. Perempuan yang akrab disapa Ibu Djoko itu merintis bisnis dari modal dia berdagang telur dan batik.
Kini perusahaan dengan nama PT Blue Bird (Tbk) itu telah menjadi perusahaan terbuka. Blue Bird tidak hanya menyediakan taksi biasa, tetapi ada juga berbagai macam model kendaraan.
Bahkan lini bisnis Blue Bird tidak hanya transportasi untuk penumpang, perusahaan juga telah menyediakan layanan logistik. Program perusahaan juga ada yang ditujukan untuk menggandeng taksi lokal untuk lebih berkembang.
Saat ini Blue Bird telah diteruskan oleh generasi ketiga keluarga Djokosoetono. Direktur Utama Blue Bird saat ini adalah Adiranto (Andre) Djokosoetono, anak dari Purnomo Prawiro, putra bungsu dari Bu Djoko. Artinya Andre merupakan generasi ketiga alias cucu dari Bu Djoko.
Lahirnya Blue Bird tidak serta merta dari modal yang besar. Ibu Djoko melalui proses panjang dalam kehidupannya sampai akhirnya bisa membangun Blue Bird.
Sebelum membangun Blue Bird, Djoko terlebih dahulu menjadi dosen, penjual batik keliling, dan pedagang telur. Hal ini pernah diungkapkan oleh Wakil Direktur Utama Blue Bird, Sigit Djokosoetono dalam catatan pemberitaan detikcom pada 12 Agustus 2022 lalu.
Bagaimana kisah hidup Ibu Djoko hingga akhirnya memiliki perusahaan taksi pertama di Indonesia?
Bu Djoko memiliki nama lengkap Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono itu lahir di Malang 17 Oktober 1921. Dia lahir dengan keadaan keluarga yang berkecukupan. Namun keadaan itu berubah saat Mutiara umur 5 tahun. di mana orang tuanya jatuh bangkrut.
Mengutip dari buku 'Sang Burung Biru' penulis Alberthiene Endah, Kamis (11/8/2022) Kondisi keluarganya pun berbalik. Saat bangkrut, makan apa adanya, memakai pakaian seadanya, bahkan Mutiara kecil tidak pernah mendapatkan uang jajan.
Singkat cerita, Mutiara yang tidak menyerah akan keadaannya. Dia bertekat ingi terus bisa bersekolah. Pada tahun 1930-an, ia lulus Sekolah Guru Belanda atau Eropese Kweekschool. Dia juga berhasil menyelesaikan studinya di jenjang perkuliahan dengan menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum di Universitas Indonesia.
Berjalannya waktu, Mutiara bertemu dengan Djokosoetono, dosen yang mengajarnya. Djokosoetono juga pendiri serta Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian yang menikahi Mutiara selagi masih kuliah. Makanya Mutiara memilki nama Djokosoetono dan memiliki panggilan Ibu Djoko.
Pernikahan dengan Djokosoetono dikaruniai tiga orang anak yakni Chandra Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo Prawiro.
Setelah masa kecilnya yang sulit, setelah meningkat Mutiara juga cukup mengalami kesulitan pada tahun 1950-an. Kala itu Indonesia mengalami krisis ekonomi hingga membuat orang berebut makanan.
Sementara keluarga Ibu Djoko dengan gaji apa adanya, tetap berusaha memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anaknya. Kemudian pada tahun 1960-an, muncul ide berjualan batik untuk menambah pendapatan rumah tangga.
Tak memikirkan gengsi, Bu Djoko berkeliling menjual batik dari rumah ke rumah atau door to door. Berdagang batik pun akhirnya memperbaiki kondisi perekonomian keluarga.
Ide Bu Djoko memperbaiki ekonomi keluarga tidak sampai di situ. Kemudian ia berjualan telur. Saat itu telur merupakan bahan pokok makanan yang eksklusif. Belum banyak yang berbisnis komoditas itu dan hanya orang-orang menengah ke atas lah yang banyak membeli.
Namun, beberapa sektor bisnis juga membutuhkan telur. Kebutuhan itulah yang dimanfaatkan Bu Djoko untuk mendapatkan peluang. Sektor yang membutuhkan telur mulai dari rumah tangga, katering, pembuat kue, restoran, hingga hotel.
Sukses berdagang telur, ekonomi keluarga pun semakin baik. Nah, modal dari berdagang telur dan batik itulah menjadi modal awal Bu Djoko membangun usaha taksi rumahan. Di Rumah no.107 Jl. Cokroaminoto, Bu Djoko dan keluarga membangun
Pada 1965 Ibu Djoko beserta dua anaknya, Chandra Suharto dan Purnomo Prawiro, mulai mengoperasikan taksi tanpa argo dengan nama "Chandra Taxi".
Kemudian pada 1972, secara resmi 25 armada Blue bird Holden Torana mengaspal di Jakarta. Blue Bird menjadi taksi pertama yang menggunakan sistem tarif berdasarkan argometer.
Mengutip dari website resmi Blue Bird, Bu Djoko memberi nama Blue Bird karena terinspirasi dari dongeng Eropa 'Bird of Happiness' atau Burung Pembawa Kebahagiaan.
"Bu Djoko mendirikan Bluebird dengan hati, didukung oleh anak-anaknya yang berusaha menciptakan kehidupan lebih baik. Kisah perjuangan dan teladan Bu Djoko memberi pengaruh dahsyat bagi kita semua hingga Bluebird terus ada melayani Negeri Indonesia," tulis website resmi Blue Bird.
Seiring berjalannya waktu, Blue Bird semakin terbang tinggi. Perusahaan itu pun resmi tercatat di Bursa Efek Indonesia pada November 2014. Kini, Blue Bird terus berkembang menjadi perusahaan transportasi yang juga mengikuti perkembangan zaman digital.
Blue Bird Group telah memperluas layanannya, dari taksi umum (Blue Bird & Pusaka) sampai taksi eksekutif (Silver Bird), limosin dan penyewaan mobil (Golden Bird), carter bus (Big Bird), logistik (Iron Bird Logistic) Industri (Restu Ibu Pusaka - Bus Body Manufacturing dan Pusaka Niaga Indonesia)
Kemudian hingga merambah ke bisnis properti (Holiday Resort Lombok dan Pusaka Bumi Mutiara), IT dan layanan mendukung (Hermis Consulting - IT SAP, Pusaka Integrasi Mandiri - EDC, Pusaka GPS, Pusaka Buana Utama - Petrol Station, Pusaka Bersatu - Lubricant, Pusaka Suku Cadang Indonesia - Spare Part) dan alat berat (Pusaka Andalan Perkasa dan Pusaka Bumi Transportasi).
PT. Blue Bird Tbk. meluncurkan taksi listrik pertama dengan mengusung armada BYD e6 untuk e-Bluebird dan Tesla X untuk e-Silverbird.
Lihat juga Video: Sandiaga Berharap Sopir Bluebird Pelaku Catcalling WNA Rusia Tak Dipecat
(ada/das)