Kisah Hermanto Tanoko, Lahir di Bekas Kandang Ayam Kini Jadi Orang Terkaya RI

Kisah Hermanto Tanoko, Lahir di Bekas Kandang Ayam Kini Jadi Orang Terkaya RI

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Kamis, 01 Agu 2024 08:22 WIB
Hermanto Tanoko
Hermanto Tanoko (Foto: Instagram @htanoko)
Jakarta -

Hermanto Tanoko adalah salah satu orang terkaya di Tanah Air. Dia merupakan CEO Tancorp Abadi Nusantara yakni perusahaan yang menaungi salah satu perusahaan cat tembok terbesar di Indonesia PT Avia Avian Tbk atau Avian Paint.

Forbes mencatat, kekayaan bersih Hermanto Tanoko mencapai US$ 2 miliar atau sekitar Rp 32,4 triliun (kurs Rp 16.200). Pada tahun 2023, Wijono & Hermanto Tanoko dan keluarga masuk daftar 50 orang terkaya di Indonesia. Mereka berada di posisi 21 dengan kekayaan bersih US$ 3,05 miliar.

Meski tajir melintir, Hermanto bukan berarti tak pernah hidup susah. Dalam program Ask d'Boss 2021 detikcom 2021 silam, ia bercerita panjang lebar soal dirinya yang lahir di bekas kandang ayam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hermanto bercerita jika kedua orang tuanya dulu bukanlah orang berada. Ayah dan ibunya hanya penjual polowijo (palawija) atau hasil bumi di kota Singosari.

Pada tahun 1959 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 10 soal penduduk yang berstatus warga negara asing (WNA) dilarang berdagang eceran di kabupaten ke bawah dan wajib mengalihkan usaha mereka untuk berkebangsaan Indonesia. Peraturan ini juga menyebabkan eksodus besar-besaran orang Tionghoa (yang belum warga negara Indonesia) dan keturunan Tionghoa untuk kembali ke Cina.

ADVERTISEMENT

Hal tersebut membuat usaha yang dirintis orang tuanya harus ditutup. Lalu tak ada aset seperti rumah, toko dan kendaraan yang boleh dimiliki oleh orang tuanya. Seluruh aset dijual dengan harga yang super murah atau ala kadarnya. Hal tersebut dilakukan agar ayah dan ibunya Hermanto bisa kembali ke China.

Saat itu Hermanto belum lahir, ketika orang tua dan keempat kakaknya harus menunggu kedatangan kapal untuk kembali ke China. Namun nasib berkata lain, kapal yang akan mengangkut orang tuanya tak kunjung tiba. Hingga akhirnya mereka pasrah dan tinggal di kaki Gunung Kawi.

Kedua orang tua Hermanto tak ingin merepotkan keluarga besar dan relasinya. Jadi keduanya sangat mandiri dalam menghidupi keluarganya. Akhirnya nenek Hermanto merasa iba dengan kedua orang tuanya, mereka menjemput untuk tinggal di Pasuruan dan tinggal bersama.

Sang ayah awalnya merasa tidak nyaman jika harus tinggal bersama orang tuanya. Namun dia tak tega melihat keempat anaknya tak nyaman jika tinggal di emperan, kena hujan dan panas. Akhirnya dia tinggal dan memberikan satu syarat dengan tinggal tak lebih dari 1 tahun dan membuka toko hasil bumi di depan rumah.

Sebanyak 50% keuntungan diberikan kepada adik ipar sang ayah. Syarat ini disetujui, akhirnya datang ke Pasuruan dan memulai usaha baru dengan berdagang kacang hijau, kedelai, jagung dan lainnya.

"Usaha toko hasil bumi itu ramai, karena memang papa ini bertangan dingin apa yang dia pegang dan dia kerjakan hasilnya jadi luar biasa," tambahnya.

Hermanto menceritakan, ayahnya benar-benar tak ingin menyusahkan orang lain. Tepatnya 9 bulan lebih 9 hari, mereka memutuskan meninggalkan rumah emak dan memberikan bisnis toko hasil bumi itu ke adik iparnya. Kemudian mereka pindah ke kota Malang dan memilih hidup walaupun susah.

Di Malang, ayahnya menyewa sebuah gang ukuran 1 seperempat x 9 meter. Dulunya gang ini bekas kandang ayam dan disulap menjadi rumah tinggal bersama dengan 4 anaknya. "Dan di rumah itu saya dilahirkan. Jadi makanya wah Pak Hermanto lahir di kandang ayam, ya memang itu bekas kandang ayam, tapi sudah bukan kandang ayam lagi karena sudah diperbaiki menjadi rumah lah ya," kenang dia.

Saat itu ayahnya masih menjadi penjual hasil bumi di Singosari dan dijual di kota Malang. Kemudian ibunya berjualan pakaian dan barang bekas di depan rumah tersebut. Mama dan papanya merupakan pekerja yang sangat ulet sehingga mereka bahu membahu bagaimana keluarga mereka bisa survive. Sampai akhirnya bisa memiliki toko dan berkembang pesat sejak 1962 sejak dirinya lahir.

Hermanto mengungkapkan sang ayah memulai bisnis cat pada tahun 1978. Saat itu cat Avian masih industri rumahan. Produksinya dilakukan secara manual, ayah Hermanto yakni Soetikno Tanoko mencampur cat menggunakan dayung kapal.

Kemudian Hermanto membantu sang ayah pada tahun 1982 dan pegawai tokonya baru 18 orang. Dia mengaku ayahnya merupakan inspirasinya.

"Saat saya pertama kali membantu saya tanya papa saya 'Pa, apa nih cita-cita atau visi papa? Dia menjawab 'Papa ingin Avian menjadi pabrik cat yang terbesar di Indonesia'. Wow dari situ saya ini tertantang sekali, karena saat itu Avian pagar saja masih belum punya," jelasnya.

Hermanto menggambarkan jika tempat produksi cat Avian kiri-kanan masih sawah namun dia kagum dengan sang ayah yang memiliki mimpi untuk menjadi pabrik cat terbesar di Indonesia. Hal itulah yang membuat dia merasa tertantang dan berusaha menjadi yang terbaik. Setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun dia selalu mencetak rekor penjualan dan ini membuat Avian tumbuh pesat.

Zaman terus berubah, tantangan bisnis terus bertambah. Hermanto mengaku tak bisa diam dan mengandalkan bisnis Avian dengan strategi yang itu-itu saja. Jadi untuk menjawab tantangan bisnis dia memperbesar wilayah, memperluas jaringan pelanggan.

Langkah besar pertama yang dilakukan Hermanto adalah membangun laboratorium research and development (R&D) dengan beberapa root chemichal yang sebelumnya tidak ada di Avian. "Jadi saya yakin untuk bisa tumbuh cepat itu, pengembangan produk baru ya harus terus berinovasi," jelasnya.

Tim Hermanto di Avian saat itu sangat solid, kompak dan kekeluargaan. Selalu berupaya mencari solusi ketika ada masalah baik operasional sampai sales distribusi. Hal inilah yang membuat Avian akhirnya bisa menjadi pabrik cat nasional yang terbesar di Indonesia setelah 40 tahun berdiri. Saat ini memang kompetitor perusahaan cat di Indonesia kebanyakan dari Amerika Serikat (AS), Jepang dan Eropa.

Hermanto menceritakan logo Cat Avian adalah bebek yang termasuk Avian atau unggas. Filosofinya adalah karena bebek atau unggas ini bisa berkembang biak di negara manapun. "Artinya unggas atau bebek bisa hidup baik di negara tropis, negara dingin atau negara musim apapun bisa sehat. Beda dengan pinguin kalau dia kan cuma di hawa dingin," jelasnya.

Lalu dari sisi manfaat, bebek mulai dari daging, bulu dan telurnya bermanfaat positif. Selain itu nama Avian ini juga agar lebih mudah diingat. "Zaman dulu orang kalau membeli itu nyebutnya cat bebek, jadi cat yang mereknya bebek lebih gampang diingat. Sekarang orang sudah kenal dengan Avian. Dulu logo bebeknya masih merengut, lalu ketawa dan sekarang bebeknya sudah terbang," jelas dia.

Untuk terus menjaga kualitas Hermanto mengungkapkan saat ini pabrik cat terus berekspansi dan membangun laboratorium terbesar di Asia Tenggara yang luasnya mencapai 5.000 meter persegi, lima lantai dan gedung namanya Avian Innovation Center. "Nah itu khusus hanya untuk research jadi kami mengeluarkan dana kurang lebih Rp 100 miliar hanya untuk laboratorium," jelas dia.

(acd/das)

Hide Ads