Tanri Abeng dari Korporat ke Birokrat

Wawancara Menteri BUMN Pertama (1)

Tanri Abeng dari Korporat ke Birokrat

- detikFinance
Jumat, 12 Sep 2014 07:24 WIB
Tanri Abeng dari Korporat ke Birokrat
Jakarta - Siapa yang tak kenal dengan Tanri Abeng? Menteri BUMN pertama ini juga dikenal sebagai pengusaha ulung. Pria kelahiran Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan 7 Maret 1942, lahir dari sebuah keluarga miskin.

Karir Tanri menjadi menteri BUMN dimulai 16 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998 pada Kabinet Pembangunan VII. Kemudian melanjutkan tugasnya sebagai pejabat negara di kementerian yang waktu itu masih bernama Kementerian Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara pada periode 23 Mei 1998-26 Oktober 1999.

Setelah Tanri, beberapa nama pengantinya sebagai menteri BUMN yaitu Laksamana Sukardi, Soegiharto, Sofyan Djalil, Mustafa Abubakar, hingga Dahlan Iskan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut wawancara Tanri Abeng dengan detikFinance, Rabu (10/9/2014) saat ditemui di Jakarta, seputar banyak hal-hal terkait dengan perjalanan BUMN di Indonesia.

Bagaimana Anda bisa jadi Menteri BUMN pertama?
Pada 15 Januari 1998 krisis, lalu Pak Harto menandatangani utang dengan IMF US$ 42 miliar.

Sesudah menandatangani utang itu, Pak Harto membuat pernyataan di televisi bahwa masyarakat tidak perlu khawatir dengan utang. Karena kita masih punya banyak BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Perhitungan Pak Harto Waktu Itu, dengan 158 BUMN kala itu kalau dikelola dengan baik nanti nilainya bisa naik, dia jual sebagian untuk bayar utang itu. Tapi dia tidak mengerti bagaimana caranya menaikkan nilai BUMN.

Lalu kan saya waktu itu presiden direktur di Bakrie (Grup Bakrie), lalu Presiden Komisaris di PT Multi Bintang dan BAT. Pak Harto melihat saya punya pengalaman mengelola korporasi yang panjang.

Bagaimana caranya beliu menemukan saya, saya tidak tahu. Singkat cerita, Pak Harto minta saya datang ke Bina Graha.

Waktu itu bukan hal yang biasa orang sebagai pribadi-pribadi datang ke Bina Graha. Tapi karena saya diminta, jadi saya datang ke Bina Graha.

Waktu datang ke Bina Graha, Pak Harto memberikan penjelasan kepada saya. "Saya ini baru menandatangani nota kesepakatan dengan IMF. Di situ memang ada utang. Tapi saya kan punya 158 BUMN. Tapi 158 BUMN ini kebanyakan tidak sehat" begitu waktu itu Pak Harto cerita.

Belia bertanya apa yang harus kita lakukan untuk menyehatkan BUMN-BUMN. Meningkatkan nilai BUMN ini? Dan kalau nilainya sudah tinggi, sebagian kita jual.

Saya ambil contohkan Garuda. Garuda waktu saya ambil tanggung jawab itu itu di bulan Maret 1998 dinilai US$ 1 kan. Karena utangnya ada US$ 18 Miliar. Tapi waktu dia Go IPO nilainya US$ 18 Miliar kan. Nah pola itu yang Pak Harto minta pikirin karena dia nggak tahu caranya.

Nah sudah, jadi waktu saya mendapat pertanyaan bagaiman caranya baru saya mengaitkan itu dengan pernyataan beliau di televisi "Jangan khawatir dengan utang, kita banyak BUMN". Artinya utang ini kita bayar saja dari BUMN kita, tapi jangan sekarang kalau sekarang nilainya rendah.

Lalu saya dengan usaha sendiri mempelajari BUMN itu. Itu saya makan waktu hampir tiga minggu. Akhirnya saya punya konsep yang mengeluarkan BUMN dari 17 Kementerian lalu masukkan ke 10 Holding Perusahaan sesuai sektornya.

Waktu itu BUMN berada di 17 Kementerian terpisah-pisah. Misalnya garuda berada di bawah Perhubungan, Telekomunikasi berada di Bawah Menteri Parpostel.

Jadi BUMN itu tidak lagi masuk kementerian. Jadi dia (BUMN) menjadi korporasi di bawah Holding Company, jadi National Holding Company. Itu di bawah pemerintah semua.

Itu dari 158 BUMN yang ada waktu itu, saya bagi-bagi menjadi 10 Holding sesuai sektornya. Sektor Keuangan, Perkebunan, Pelabihan, dan lain-lain ada 10 semuanya.

Saya buat itu, lalu saya bilang di Bawah holding ini ada Presiden Komisaris dan Komisaris-Komisaris lain, benar-benar dengan struktur sebuah perusahaan. Lalu ada presiden direktur, saya kalau ditunjuk jadi direktur saya mau. Tapi kan waktu itu pilihannya tidak ada.

Saya bilang, "Pak kalau kita ingin BUMN ini berperilaku seperti korporasi atau perusahaan, maka BUMN ini harus keluar dari birokrasi. Tapi pemikiran saya cuma 1, Holding Company"

Saya jelaskan bagaimana Holding Company bekerja, anak-anak perusahaan yang 10 sektor itu bekerja seperti apa? Dan kira-kira peningkatan nilainya bagaimana?

Mendengar penjelasan saya, Pak Harto bilang begini, "Sebenarnya saya sudah minta Menteri Keuangan untuk mengurus. Tapi tidak mungkin dia bisa urus karena dia urus fiskal negara saja sudah berat. Mana bisa disuruh lagi untuk meningkatkan nilai BUMN. Dan dia juga masuk dalam birokrasi" Jadi Pak Harto sudah tahu semua.

Maka saya sebut tadi memang masalah kita itu pak dan memang harus keluar dari birokrasi kan.

Dapat penjelasan saya dia ketawa-ketawa begitu, "Saya akan pelajari lagi ya" kata Pak Harto lalu beliau masukan proposal saya ke dalam laci. Dia persilakan saya minum teh lalu saya pamit.

Kemudian, 3 hari sebelum pengumuman Kabinet Pembangunan VII oleh Pak Harto. Saya sudah ditelepon oleh Ajudan Presiden. Kemudian saya bertemu Pak Harto lagi, beliau bicara, "Pak Tanri Abeng, saya minta Saudara bantu saya di Kabinet Pembangunan VII yang saya umumkan 3 hari lagi, untuk mengurus BUMN"

Dia nggak tahu apa, nggak menjelaskan itu seperti apa pokoknya untuk mengurus BUMN. Saya tidak punya pilihan ya. Jadi saya jawab, siap pak. Walau pun saya juga nggak ngerti itu mau dijadikan apa. Tapi dia bilang di kabinet urus BUMN, logikanya menteri kan. Tapi saya ya menerima apa adanya saja, toh saya ini tidak berambisi sebenarnya.

Akhirnya setelah itu, sebelum diumumkan saya sudah cari bantuan dari teman-teman yang biasa di birokrasi diantaranya Pak Marzuki Usman yang waktu itu menjabat sebagai Dirjen di Kementerian Keuangan. Saya tanya bagaimana sih birokrasi, dia bilang akan bantu. Akhirnya dia jadi sekretaris saya.

Eh betul, tiga hari kemudian kabinet itu diumumkan, betul ada kementerian baru namanya Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN dengan menterinya Tanri Abeng.

Saya kan di rumah lagi nonton televisi, apa betul bapaknya mau diumumkan jadi Menteri. Ternyata betul. Jadi lah saya menteri.

Nah, tapi di benak Pak Harto itu Menteri ini harus berperan untuk menyehatkan BUMN ini. Membuat dia itu menguntungkan supaya nilainya tinggi. "Lalu nanti saat nilainya tinggi, saya jual sebagian untuk bayar utang" dia masih berpikir seperti itu.

Akhirnya besoknya, bisa dibayangkan saya ditunjuk jadi Menteri di Kementerian baru. Itu nggak ada kantor loh. Enak kalau Anda ditunjuk jadi Menteri Tenaga Kerja kan sudah ada kantornya. Atau jadi Menteri Keuangan, ada juga kantornya.

Nah ini dia nggak beri tahu dimana kantornya. Dan tidak ada staf, tapi saya sudah jadi Menteri. Untung waktu itu, Pak Ginandjar Kartasasmita diangkat sebagai Menko Ekonomi.

Saya berarti berada di bawah Menko Ekonomi koordinasinya. Saya langsung ketemu Pak Ginandjar minta ruangan. Akhirnya saya dikasih lah ruangan di Bappenas sana. Di situ saya minta teman-teman datang bantu saya.

Kemudian, setelah banyak yang bergabung, tidak cukup tempatnya pindah. Tapi menariknya, saya ini Menteri tapi harus sewa kantor. Saya sewa di Gedung BEJ. Satu-satunya menteri yang kantornya sewa. Dan waktu itu, belum keluar uang dari Setneg, saya bayar sendiri tuh. Sambil tunggu sampai uangnya keluar.

Tapi kan kita harus kerja. Gimana kita nggak kerja, ini negara udah mau ancur-ancuran. Garuda sudah mau dibekukan. Semua bank yang sekarang bergabung di Mandiri itu sudah bangkrut. PLN bangkrut. Semua bangkrut. Itu semua diserahkan ke saya.

Jadi saya harus kerja cepat kan. Saya ambil sendiri orang. Untungnya, semua orang yang saya angkat tidak ada yang dipertanyakan. Semua diterima jadi deputi Kementerian saya.

Akhirnya terbentuklah kementerian itu. Salah satu yang berperan bantu saya adalah Pak Sofjan Djalil. Dia yang paling banyak ikut saya, karena dia itu staf Ahli Khusus di Bidang Komunikasi Publik. Jadi kalau ada demo dia yang hadapi. Juga bertanggung jawab untuk Human Resource. Nah, jadi sudah cukup orang saya, saya mulai kerja.

Tapi kan saya cerita bahwa masalah Garuda itu diangkat saat pertama kali saya bertemu Pak Harto. Besoknya saya menghadap tanyakan, Pak ini kantornya di mana? Siapa Orangnya?

Kan musti lapor. Tapi dua hari sebelumnya kan saya sudah bikin rancangan. Pak ini kira-kira organisasinya begini pak. Orang-orangnya sudah ada yang saya identifikasi.

Beliau bilang oke tidak ada masalah. Saya dibantu Pak Hartarto. Pak Hartarto waktu itu Menko WabanPAN. Jadi pendayagunaan aparatur negara, di bagian itu. Jadi dia yang bantu saya buat organisasi apa semua. Lalu ada Marzuki Usman yang jago di birokrasi. Jadi dua ini yang banyak bantu ke saya.

(ang/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads