Bambang Brodjonegoro: Kita Sebagai Menteri Bukan Superman

Wawancara Khusus Menkeu

Bambang Brodjonegoro: Kita Sebagai Menteri Bukan Superman

- detikFinance
Senin, 27 Okt 2014 11:44 WIB
Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan menteri-menteri dalam Kabinet Kerja yang akan membantunya menjalankan roda pemerintahan selama 5 tahun ke depan. Kabinet Kerja terdiri dari 34 menteri, di mana 14 menteri (41%) berasal dari partai politik dan 20 menteri (59%) yang berasal dari kalangan profesional dengan berbagai latar belakang.

Salah satu menteri dari kalangan profesional adalah Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, yang didapuk sebagai Menteri Keuangan. Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia ini tidak asing dengan lingkungan Kementerian Keuangan.

Bambang memulai karirnya di Kementerian Keuangan sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal. Tahun lalu, dia diangkat menjadi Wakil Menteri Keuangan mendampingi Chatib Basri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemarin, Jokowi mengumumkan namanya sebagai Menteri Keuangan. Putra bungsu mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Soemantri Brodjonegoro ini menyempatkan diri menerima detikFinance di kediamannya, Jakarta.

Berikut wawancara detikFinance dengan Bambang:

Bagaimana perjalanan karir Anda?
Kebetulan memang saya sejak lulus S3 tahun 1997, berkarir di UI selama hampir 12 tahun. Itu memang meskipun tetap bertanggung jawab sebagai akademisi, pangkat saya pun naik dari level Kepala sampai Guru Besar FE UI. Saya juga selalu terlibat dalam kegiatan organisasi yang struktural, artinya menjadi pimpinan di fakultas, mulai dari Ketua Program Studi, Kepala LPEM, terus Ketua Jurusan sampai akhirnya menjadi Dekan.

Sempat di Islamic Development Bank (IDB) juga ya?
Setelah itu sebenarnya saya nggak langsung ke pemerintah. Saya ke luar negeri, ke Islamic Development Bank di Jeddah (Arab Saudi) selama dua tahun. Saya menjadi Dirjen untuk riset dan training. Meskipun cuma dua tahun, itu adalah pengalaman bagus menurut saya. Di situ saya punya interaksi yang sifatnya internasional dan ikut dengan isu yang juga global. Meskipun lebih banyak di negara Islam, yang paling penting saya belajar mengenai birokrasi. Meskipun ketika di kampus saya sudah terbiasa menghadapi birokrasi, tapi kan kecil. Di IDB ini realtif lebih besar.

Mulai kapan berkarir di birokrasi?
Pada 2009 Pak Agus Marto meminta saya untuk menjadi Kepala BKF. Di sana saya belajar banyak. Saya selalu ketakan pengalaman 4 tahun sebelum menjadi menteri itu adalah pengalaman yang sangat berharga. Banyak sekali tambahan pengetahuan dan mungkin tidak bisa didapatkan di dalam kampus karena ini mencampurkan antara konsep dengan praktek. Kalau kampus kan hanya konsep, jarang kita melihat praktiknya.

Apa hal yang paling dipelajari selama di pemerintahan?
Di kementerian, kita belajar mengenai me-manage birokrasi. BKF saja waktu itu sudah loncatan, karena saya biasa memimpin unit yang di fakultas itu staf cuma 50 orang atau 100 orang. BKF itu kan ada 500. Kemudian saya jadi Wamen, masuk ke pajak dan bea cukai, ya kita harus terbiasa dengan size yang begitu besar. Di situ saya belajar mengenai kemampuan managerial di dalam pemerintahan. Selama empat tahun itu saya diperkaya dengan kemampuan managerial pemerintahan dan pengetahuan ekonomi dan praktiknya. Itu yang membuat ketika saya diminta menjadi Menkeu, ya mungkin sudah saatnya dari pengalaman sudah dilewati dan bekal yang saya punya sudah cukup untuk bisa me-manage ekonomi indonesia.

Apakah ada kesulitan dari sebelumnya akademisi menjadi seorang birokrat?
Awalnya memang agak sulit. Kemudian kembali pada kita sendiri. Kalau kita seorang akademisi yang terlalu bangga dengan profesi akademisi kita, maka kita tidak bisa toleran dengan penyimpangan konsep dan tidak jalannya konsep itu dengan dunia nyata. Kalau kita orangnya terbuka, saya rasa justru dengan pindah dari akademisi ke praktisi kita justru makin tahu bahwa konsep ini ada batasnya. Jadi kalau kita orangnya mau belajar, terbuka, dan jangan pernah menganggap diri kita itu pintar, jangan pernah sekali-kali, karena sebagai manusia itu nggak banyak yang kita tahu. Kita akademisi ya tahunya itu yang diajar dan diteliti. Ketika masuk ke birokrasi, kita harus tahu ternyata kita tidak sepintar orang yang biasa disitu. Di sana ada permasalahan sehari-hari, implementasi di lapangan, peraturan, dan macam-macam. Masih banyak yang harus saya pelajari, itu akan memperkaya kita. Tapi kalau sudah menutup diri dan menjauh ya susah kita akan pindah.

Pernah punya cita-cita jadi Menkeu?
Kalau saya mengikuti air mengalir, kita ke mana ya kita ikuti. Kita nggak usah memaksakan. Waktu di UI, saya lebih banyak pada ekonomi regional, perkotaan, dan desentralisasi fiskal. Sehingga saya berkeinginan untuk menjadi pakar di bidang ekonomi yang terkait dengan kewilayahan.

Tapi memang sejak dulu sudah ingin jadi Menkeu?
Sebenarnya kalau jadi menteri, dulu saya mikirnya sejak kuliah ingin jadi Menteri Bappenas. Tapi kemudian yang membuat saya berubah. Ketika 2011 masuk Kemenkeu dan BKF, itu keuntungan. Di sana dia tidak seperti unit lain yang operasional jadi lebih kepada think tank. Jadi fokus pada kebijakan fiskal luas. Itu ada anggaran, kan bisa desentralisasi bisa pajak, kepabeanan, dan seterusnya. Saya belajar banyak mengenai lingkup itu. Itu kan kayak keuangan mini lah, jadi hampir semua hal saya pelajari di situ. Bidangnya itu ternyata dinamis. Bukan saya nggak mau Bappenas, tapi memang dinamis. Jadi mengikuti saja. Kalau ditanya waktu 2009, saya akan bilang jadi Menteri Bappenas. Tapi kalau 2013 itu Menteri Keuangan. Ke mana arahnya dan di mana kita merasa nyaman.

Kapan dihubungi Pak Jokowi?
Saya dihubungi sebelumnya, diminta datang pagi-pagi ketemu Pak Presiden.

Apa yang dibicarakan?
Pak Presiden minta di-update bagaimana perkembangan terakhir APBN. Terus bagaimana cara untuk penerimaan negara naik, ya dari segi pajak dan PNBP, dan kemudian efisiensi dalam belanja. Basic sebenarnya. Tapi sebagai presiden saya mengerti beliau harus tahu persis perkembangan APBN. Tentu dengan pengetahuan yang saya miliki saya share dengan beliau.

Bagaimana pola kerja di Kemenkeu nantinya?
Koordinasi yang bagus. Jangan sampai kelemahan koordinasi internal kita itu dibaca pihak luar. Itu harus solid dulu.

Bagaimana pembagian tugas dengan Pak Mardiasmo (Wakil Menkeu)?
Saya kan dibantu Wakil Menteri, jadi kita berdua akan berusaha koordinasi dengan eselon I dan juga mengurangi pengkotakan di eselon I. Dengan eselon I yang begitu besar, wajar lah mereka menjadi terkotak-kotak. Tapi kalau ditekankan terus, bahwa keberhasilan kita ada keberhasilan yang lain juga, maka itu akan berkurang. Misalnya Pajak, dia nggak akan bisa berjalan sendiri kalau tidak di-support kebijakan yang tepat dari BKF. Anggaran juga tidak bisa tercapai tujuannya kalau tidak di-support oleh Perbendaharaan. Hal yang seperti itu selalu ditekankan. Nanti eselon I teman-teman kita juga jadi saya merasa sudah sepaham. Bahwa tidak boleh lagi ada pengkotakan.

Jadi tidak butuh adaptasi lama?
Ini cuma seperti break seminggu, nggak ngantor dan berkegiatan. Jadi apa yang sudah terjadi minggu sebelumnya harus mulai dilanjutkan lagi.

Katanya tidak berkemas ya?
Memang saya tidak pernah bawa barang seperti buku ke kantor. Di kantor pun saya nggak akan sempat baca. Jadi daripada hanya nyusahin taruh sana segala macam, ya sudah diamkan saja. Jadinya yang ada di situ kebanyakan barang yang saya dapat saat jadi Wamen. Misalnya piagam pengharagaan atau buku-buku itu saya simpan di sana. Pas waktu ditanya mau packing, ya packing tapi jangan bawa ke rumah saya. Karena saya nggak berencana menyimpan barang-barang itu di rumah. Jadi memang nggak perlu packing. Kalau misalnya saya nggak kepilih, memang minggu depannya saya putuskan itu yang di-packing mau diapakan. Sekarang saya suruh simpan dulu, karena nggak tahu mau diapain itu barang.

Apa saja yang dipelajari dari Pak Agus Martowardojo dan Pak Chatib Basri?
Kalau dari Pak Agus, satu strong leadership. Pak Agus kan orang yang sudah terbiasa menjadi CEO perusahaan seperti Bank Mandiri. Pak Agus itu berusaha membongkar pengkotak-kotakan yang tadinya sangat kuat. Itu berjalan. Kedua adalah bidangnya banker. Dia sangat detil, saya memang tidak akan mungkin sedetil beliau, tapi kadang saya mempelajari kenapa saya masuk detil. Jadi jangan karena didikan lebih makro kemudian tidak peduli soal detil, bahaya juga. Karena Kemenkeu itu bukan cuma soal makro, banyak mikronya. Jadi saya harus mau masuk detil, tapi tidak semuanya. Kemampuan menyeleksi itu saya belajar dari Pak Agus, dan itu memang menolong. Ketika memimpin rapat dan diskusi, saya tahu nanti isunya. Nggak ngambang cuma dengar dari laporan orang, tapi kita juga bisa masuk dalam detil dan diskusi.

Kalau dari Pak Chatib, karena kekuatannya di makro ekonomi, maka saya banyak belajar bagaimana saya menganalisis ekonomi makro secara cepat dan kemudian kaitan dengan anggaran. Saya kan anggaran juga sudah menguasai ya, mungkin tinggal mengaitkan makro dengan anggaran dan makro ke stabilitas sistem keuangan. Itu saya banyak belajar dari Pak Chatib karena keahliannya di situ. dia cepat kalau menangkap gejolak ini implikasinya apa.
Β 
Satu lagi, Pak Chatib itu memanfaatkan Wamen secara optimal. Jadi saya dan Bu Wamen itu diserahkan tugas yang akhirnya bisa mempercepat proses dan tugas menteri juga. Itu penting, karena kita sebagai menteri kan bukan Superman yang bisa tidak tidur 24 jam atau bisa menyelesaikan dalam waktu cepat. Kita harus pintar membagai tugas ke Wamen atau ke eselon I, sehingga kita tidak lagi terlalu banyak komitmen yang bisa diatasi sendiri.

Dulu ada dua wamen, sekarang hanya satu. Apakah cukup?
Saya pikir cukup, dan tinggal sekarang adalah saya mau isi eselon I karena masih ada empat yang kosong dan itu harus diisi optimal. Saya kalau mau angkat orang saya mau pastikan seoptimal mungkin. Jadi tidak ada soal eselon I nganggur, pasti ada penugasan yang diberikan. Supaya Wamen bisa cover apa yang saya luput. Artinya dengan begitu banyak komitmen ke DPR dan luar negeri, ya Wamen harus aktif juga untuk bisa. Intinya bisa gantikan selama saya absen karena tugas keluar dan di kantor.

Bagaimana dengan sosok Pak Mardiasmo?
Itu teman lama. Jadi sejaranhnya pernah Dirjen Perimbangan Keuangan. Waktu itu ada namanya Tim Asistensi Desentralisasi Fiskal. Saya masih awal waktu itu saat timnya dibentuk. Ketuanya saya, kita sering diskusi dan ikut berbagai kegiatan. Saya ikut dua kali sebelum berangkat ke Jeddah. Sudah kenal lama. Waktu di BPKP kita sudah melakukan koordinasi dan yang penting mereka bukan orang lain. Lama pergi ada sedikit lupa, tapi feeling masih ada.

Secara umum, apa yang akan dilakukan ke depan?
Pertama menjaga ekonomi kita dari kesulitan global yang kita hadapi tahun depan. Kita bisa membuat anggaran ini sehat, produktif. Lalu kita melalui instrumen keuangan bisa mengatasi masalah basic seperti kemiskinan dan pengangguran, inequality. Itu saya masih punya aspriasi pembangunannya di situ. Jadi uang yang dihabiskan itu harusnya punya dampak kepada hal-hal basic tadi.

Sebagai Menkeu pasti akan sibuk. Apa yang kira-kira akan berkurang?
Saya nggak banyak hobi. Yang paling penting karena sibuk, ya harus jaga kesehatan dan kalau mungkin berolahraga atau apapun. Jangan sampai kita waktunya habis untuk bekerja yang menganggu kesehatan.

Olahraga apa biasanya?
Saya biasanya kalau weekend badminton. Kita lihatlah apakah nanti mungkin. Kalau nggak ya mungkin seperti jalan kaki yang paling mungkin atau senam di sekitar rumah atau fitness.

Apa lagi yang mungkin akan berkurang?
Baca buku saya udah jarang. Saya lebih banyak baca media cetak atau online daripada baca yang panjang. Karena waktunya nggak mungkin. Kantor saja ada surat dan dokumen.

Istri sering protes?
Pasti. Tapi lama-kelamaan makin berat dan istri saya tahu itu pasti akan lebih sibuk daripada Wamen atau BKF. Waktu zaman Pak Agus, rapat dan panja DPR juga. Saya mungkin nggak akan rapat sampai pagi, artinya sudah ada pola yang dilakukan. Jadi kalau ada ritme yang berubah, itu tidak akan memberatkan.

(hds/hen)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads