'Safety Bagi Kami Nomor 1'

Wawancara CEO AirAsia X

'Safety Bagi Kami Nomor 1'

Feby Dwi Sutianto - detikFinance
Kamis, 11 Jun 2015 08:27 WIB
Safety Bagi Kami Nomor 1
Jakarta -

Chief Executive Officer (CEO) Indonesia AirAsia X Dendy Kurniawan menjelaskan, kehadiran Indonesia AirAsia X diklaim sebagai penerbangan murah atau low cost carrier (LCC) pertama yang menyasar penerbangan jarak jauh. Adanya kelas bisnis di dalam kursi yang ditawarkan bukan tanpa sebab, karena profil penumpang sangat beragam untuk penerbangan jarak jauh. Apalagi, sasaran rute AirAsia X adalah penerbangan internasional, bukan domestik.

AirAsia X dan AirAsia berbeda, meskipun sama-sama dimiliki oleh Tony Fernades. Induk dari AirAsia X ialah AirAsia X Berhard berbeda dengan induk Indonesia AirAsia. Untuk rute, AirAsia X telah mengatongi izin rute Denpasar-Melbourne, Denpasar-Taipei, dan terbaru Jakarta-Jeddah.

Mau tahu rencana bisnis perusahaan milik Tony Fernandes tersebut? Berikut wawancara detikFinance, dengan Dendy di Kantor Pusat AirAsia X, Tangerang, Banten, Senin (8/6/2015).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Soal peringkat keselamatan RI versi FAA yang berada di level 2 dan banned (larangan terbang) dari Uni Eropa, apa dampak yang paling dirasakan oleh Indonesia AirAsia X?
Memang kondisi itu adalah kondisi yang ditetapkan oleh FAA dan EU terhadap negara kita. Karena mereka anggap, otoritas perhubungan udara ada yang dianggap belum comply, sehingga dinilai belum mampu untuk supervisi maskapainya. Mereka khawatir kalau airlines asal Indonesia dibiarkan terbang ke negaranya nanti akan terjadi apa-apa di negaranya. Jadi mereka tidak sreg lah.

Ambil contoh lah, seperti ijazah S1 dari universitas nggak kredibel. Saya sebagai orang yang mau rekrut untuk kerja di tempat saya, saya juga ragu-ragu tapi meng-address itu, kita sampaikan silakan datang dan audit kami.

Mereka saat datang untuk audit, mereka happy dan satisfy. Kami juga bekerja, bahu-membahu dengan otoritas perhubungan udara Indonesia. Kami lihat mereka sedang bekerja keras.

Kami lihat perkembangannya sangat bagus. Minggu lalu, kami ketemu dengan Ditjen Perhubungan Udara. Mereka mencoba meng-close beberapa finding dari FAA. Mereka mencoba sebisa mungkin agar comply dengan regulasi yang ada di ICAO, supaya banned dari Eropa bisa dicabut, dan kategori 2 bisa naik jadi kategori 1 versi FAA.

Kami dari airlines sangat mendukung. Pak Menhub tahun ini menargetkan bisa naik katagorinya dari 2 ke 1. Mudah-mudahan. Kami dari airlines selalu mendukung, apapun yang dilakukan Kemenhub. Ada kebutuhan SDM-nya, maka kami sama-sama benahi. Kalau naik kategori 1 dan nggak ada EU banned list jadi proses lebih cepat.

Sekarang agak lebih lama, karena mereka harus datang ke sini untuk cek, tapi nanti kalau kami sudah comply semua. Mereka nggak perlu lagi datang karena cukup lihat dokumennya.

Kita bicara ekonomi dunia yang sedang lesu, bagaimana dampak hal ini terhadap rencana ekspansi Indonesia AirAsia X?
Kalau saya melihat ini sebagai peluang, meskipun ekonomi sedang slow down dan kurs rupiah melemah. Tapi saya melihat ada peluang, karena kami penerbangan long haul, dan kami banyak rely on bond yang masuk ke negara kita. Cost kami memang dalam bentuk dolar, tapi kami penerbangan internasional, maka pendapatan kami juga dalam bentuk dolar. Jadi istilahnya natural match hedge.

Kami berharap, dengan rupiah yang terdepresiasi, maka membuat atau menstimulus wisatawan asing datang ke Indonesia. Karena semuanya menjadi lebih affordable bagi wisatawan.

Maka kami perlu kerjasama dengan hotel sampai pariwasata di Bali. Kalau orang Australia bayar hotel pakai dolar, tapi dengan rupiah melemah maka bayar pakai dolarnya bisa lebih murah. Misalnya, awalnya menginap US$ 100 semalam, kalau sekarang jadi US$90. Ini bisa naikkan occupancy mereka. Kalau makan bisa lebih murah juga. Mudah-mudahan ini stimulasi untuk orang datang ke sini.

Bisa dijelaskan, saat operasi. Biaya terbesar ada dari mana?
Komponen utama di airlines adalah fuel (bahan bakar), kemudian sewa pesawat dan biaya perawatan. Itu signifikan. Semua dalam bentuk dolar.

Apakah pengaruhnya terkait ketetapan bea masuk onderdil untuk perawatan pesawat?
Tapi yang kami pikirkan adalah open sky mulai berlaku. Semua airlines bisa masuk, maka kami harus punya cost structure (struktur biaya) yang lebih kompetitif daripada airlines lain.

Sekarang saja, harga fuel kita (Indonesia( bisa 12% di atas negara Singapura dan negara lain. Airlines-kan marjinnya berapa sih? Marjin kita kurang dari 5%. Kecil marjin kita. Saya buka saja.

Fuel bisa 40% kemudian bila lebih mahal 12%, bisa dibayangkan. Bagaimana mau bersaing dengan maskapai negara lain. Belum lagi perawatan dan sewa pesawat sampai 40%. Terus masukin pesawat ada pajaknya, belum lagi masukin suku cadang. Kami nggak minta dikurangi (bea masuk onderdil), tapi tolong dibandingkan dengan negara lain. Kalau kita cost structure nggak bisa bersaing, terus bagaimana bisa bersaing dengan maskapai negara lain.

Dengan kata lain, karena biaya fuel lebih mahal, apakah maskapai lain pilih isi fuel di luar negeri?
Itu banyak dilakukan sekarang. Mereka coba tangki ganda. Isinya di full-kan supaya nggak isi di Indonesia tapi itu nggak bisa semua. Kedua, fuel full akibatnya payload berkurang. Kalau dipaksakan penumpang dan cargo full, fuel penuh maka jadi boros, sehingga hitung-hitungan jadi nggak masuk.

Jadi persoalan struktural di sini harus dibenuhi agar harga fuel jet kita kompetitif. Penyebab terjadinya disparitas karena ada T factor bukan dari harga fuel jet.

Setelah membuka 3 rute, ke mana rencana Indonesia AsiaAsia X terbang membuka rute baru?
Saya belum bisa sebut kotanya, tapi paling tidak kalau Australia kotanya bukan hanya Melbourne saja, tapi ada Sydney dan Brisbane. Kemudian ke atas ada Taipei. Tapi di sana kan ada negara China, Korsel, dan Jepang. Itu dalam proses semuanya. Ke arah barat, kita tembak Jeddah karena ada penerbangan umroh.

Penerbangan Jeddah akan dari Jakarta. Kalau Eropa, memang pasarnya menarik. Bukan EU (Uni Eropa) banned (larangan terbang) masalahnya, dengan hub di Denpasar terus dengan tipe pesawat kami A330. Kami nggak bisa terbang langsung, tapi kami harus transit. Kalau transit, hitung-hitungannya beda. Tapi untuk Eropa, akan dilakukan oleh saudara kami di Malaysia.

Apakah AirAsiaX mau membeli atau menyewa pesawat tambahan berapa?
Kami bukan masalah mau datangkan pesawat, karena AirAsia bisa datangkan pesawat berapa pun. Persoalannya adalah, pesawatnya mau diterbangkan ke mana. Bagi kami, karena penerbangan long haul, maka isunya adalah kami perlu waktu untuk dapatkan approval. Begitu kami dapat approval dari negara dituju baru kami ambil pesawat lagi.

Kalau rute Indonesia AirAsia X, kami sudah ada rencana tambah 3 lagi jadi 6 rute sampai akhir tahun. Untuk 6 rute diperlukan ada 4 pesawat.

Kenapa maskapai LCC biasa memiliki 1 tipe pesawat?
Keunggulan pertama adalah perihal kemudahan. Dengan single type aircraft, itu bukan hanya soal perawatan. Kemudian spare part (suku cadang) hingga pilot dan kru bisa kita saling sharing.

Kalau kami lihat sebetulnya, mereka yang punya berbagai macam jenis pesawat karena mereka lini bisnisnya berbeda dengan kami. Mereka (maskapai lain) menyasar ke berbagai daerah dengan struktur bandara berbeda, jadi butuh pesawat beda, seperti punya pesawat jet Boeing hingga pesawat baling-baling.

Kalau kami dengan long haul (penerbangan panjang) 4 jam sampai 11 jam, itu dengan single type aircraft bisa. Sangat efisien saat operasional. Misal ada pesawat yang rusak, gampang ganti karena konfigurasi dan jenis yang sama.

Indonesia AirAsia X baru memiliki 2 pesawat. Bagaimana dengan rencana Kemenhub meminta syarat minimal kepemilikan pesawat yakni minimal 5 status milik sendiri dan 5 status leasing?
Kami sedang secara intensif bicara dengan Kemenhub. Kami berharap ada kebijakan yang khusus. Kami nggak ada persoalan cari pesawat sampai 10. Cuma rute-rute yang kami peroleh itu internasional, jadi otoritas penerbangan Indonesia nggak bisa bantu.

Tapi kami cari jalan tengahnya. Kami sedang bicara dengan saudara kami, yakni Indonesia AirAsia yang punya pesawat berukuran lebih kecil. Itu solusi yang kami ambil. Itu disetujui kemenhub. Tapi itu hanya sementara, karena long term goal kami adalah 10 pesawat minimal, dengan Airbus 330. Untuk sementara yang 8, baru A320.

Secara hitungan bisnis, lebih menguntungkan sewa atau beli pesawat?
Ada plus minus, tergantung struktur yang diberikan, tapi untuk mobilitas yang tinggi lebih baik pakai lease atau sewa, karena perkembangan teknologi pesawat nggak ada yang tahu. Kalau kami beli kemudian 5 tahun kemudian ada tipe yang baru, jangan harap, itu ada yang mau beli. Benar, belum tentu ada yang mau beli meski jual rugi. Kalau lease kita terhindar dari risiko seperti itu.

Kalau 5 tahun ada model baru, kami bilang ke lessor untuk sediakan pesawat model baru. Nanti mereka tarik dan sewakan ke negara lain.

Kadang orang suka salah kaprah. Kalau beli bayarnya 1 juta sedangkan kalau sewa bayarnya 900.000 ya mending beli. Tapi mereka nggak sadar ada masalah seperti itu. Lessor nggak bodoh juga, kalau ada apa-apa karena mereka sewakan terlalu murah maka mereka akan tanggung risikonya. Misal di jalan ada musibah. Kami terhindar dari hal tersebut.

Perihal pengaturan tarif batas bawah oleh regulator, ada pengaruhnya dengan AirAsia X?
Itu nggak pengaruh ke kami, karena regulasi tersebut menyasar penerbangan domestik. Jadi kami tetap bisa melakukan promo khusus.

Perihal safety di maskapai LCC?
Safety bagi kami adalah nomor 1. Balik lagi pesawat. Lessor kan nggak mau sembarangan ke pesawatnya, karena itu pesawat dia. Dia yang mengawasi perawatan pesawat.

Kami nggak bisa semau-maunya. Landing gear diganti bentar-bentar saja meskipun sudah memasuki usia ganti. Itu nggak bisa, karena itu pesawat punya lessor. Dia datang ke kami untuk merawat. Di dalam kontrak lease, juga ada kontrak maintenance (perawatan) juga. Dia bilang by hour ganti. Itu standar tinggi. Mau LCC dan full service, safety nggak bisa ditawar-tawar, Justru pesawat sendiri yang murah-murah yang berbahaya.

Dengan rencana ekspansi 2 pesawat lagi dan 3 rute di 2015, berapa kebutuhan karyawan baru?
Dengan pesawat A330 butuh 8 pilot dan 8 first officer (co-pilot) untuk 1 set pesawat. Satu Pesawat butuh 16 pilot. Kemudian cabin crew sendiri harus ada 6 set. Satu set ada 9 crew, jadi total 54 cabin crew untuk 1 pesawat. Total 70. Belum lagi engineering dan maintenance. Jadi 1 pesawat butuh 100 orang baru. Dua pesawat butuh 200 orang.

Kemudian pesawat dan rute tambah, maka staf kami di ground service juga bertambah, staff security juga tambah. Dampaknya banyak.

(hen/dnl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads