Boediono: Kondisi Beda dengan 1997/1998 dan 2008

Wawancara Khusus

Boediono: Kondisi Beda dengan 1997/1998 dan 2008

Suhendra - detikFinance
Rabu, 26 Agu 2015 07:44 WIB
Boediono: Kondisi Beda dengan 1997/1998 dan 2008
Foto: Boediono dan Istri
Jakarta - Boediono sudah banyak makan asam garam di dunia pemerintahan, karena pernah menduduki jabatan-jabatan strategis di bidang ekonomi. Dia pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Gubernur Bank Indonesia, hingga Wakil Presiden (Wapres).

Kini Boediono menikmati masa pensiunnya bersama istri tercinta Herawati yang setia menemaninya.

Pria kelahiran Blitar, Jawa Timur 25 Februari 1943 ini, mengisi masa pensiunnya dengan mengajar, membaca, rutin berolahraga, dan punya lebih banyak bersama keluarga. Pemikiran-pemikirannya soal kebangsaan dan ekonomi masih melekat, Boediono terus mengikuti perkembangan ekonomi terkini, di dalam maupun luar negeri.β€Ž Termasuk guncangan ekonomi yang terjadi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut wawancara detikFinance dengan Boediono saat dijumpai di kediamannya pekan lalu di kawasan Jakarta Selatan.

Anda sudah makan asam garam di pemerintahan dengan berbagai jabatan, tugas mana yang paling berat menurut Anda?
Saya kira pada tingkat menteri juga berat banyak hal-hal yang harus diatasi, pada tingkat menko (menteri koordinator) juga, BI juga. Apalagi saya baru 4 bulan jadi Gubernur BI sudah ada krisis (2008), kemudian Wapres saya juga tak menduga sama sekali. Saya waktu itu berpikir untuk balik ke kampus, tapi di tengah jalan tiba-tiba diminta ditawari oleh Pak SBY, itu tak terduga. Awalnya masih agak bimbang, bisa tidak karena untuk jadi Wapres itu sesuatu yang lain, karena bekerja pada lingkungan yang dihadapi lebih luas lagi.

Jadi memang semuanya ada berat dan tidaknya. Kalau pada tingkat menteri lebih pada hal masalah konkret dan operasional, pada tingkat Menko dan Wapres yang mengkoordinir, supaya menteri menjalankan tugasnya. Jadi bukan hanya bidang ekonomi, tapi juga bidang polhukam, masalah kesejahteraan, juga antar menko saling koordinasi juga, nah ini lah tugas di balik layar Wapres.

Mana tugas jabatan yang bikin Anda bikin pusing?
Jangan sampai pusing, harus tidak sampai pusing. Kalau pusing malah tak bisa kerja.

Anda menyebut Indonesia 70 tahun ini masih remaja perlu ditata, kalau di bidang ekonomi apa yang masih kurang?
Saya kira, dalam realita tidak bisa dikotak-kotakan itu persoalan ekonomi atau yang lain, sosial, politik, semua jadi satu saling terkait. Memang bobotnya, tapi dalam pelaksanaannya seperti ekonomi itu harus memasukan pertimbangan hukum, politik, sosial. Jawaban ini berlaku umum tak hanya di bidang ekonomi, tapi sangat mempengaruhi terhadap ekonomi kita. Menurut saya kalau ditanya apa yang fokus dalam bidang ekonomi saya kira ada tiga.

Pertama, kualitas dari manusia, ini motor penggerak dari setiap ekonomi, ya kualitas manusianya. Bagaimana mengimplementasikan kebijakan yang terpadu yang bisa meningkatkan kualitas generasi yang akan datang yang mengganti, pada mereka yang muda-muda disiapkan fisik dan mental, jasmani, dan rohani untuk menjadi manusia yang lebih baik dari kita. Intinya membangun manusia Indonesia yang baru menurut saya, harus dibangun, butuh program yang terpadu di bidang pendidikan, dipadukan diarahkan pada manusia Indonesia yang baru.

Kedua, adalah membangun institusi sebagai penopang kehidupan bangsa kita di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum semuanya. Manusia-manusia yang unggul tadi akan tercermin dalam institusi yang unggul. Kalau manusia yang masing-masing mungkin dampaknya tak sebesar itu, tapi kalau institusi bisa mengorganisir melaksanakan sistem, dan melaksanakan aturan main.

Kalau orangnya sudah bermutu, maka aturan mainnya bermutu juga, kalau tidak bermutu, bagaimana bagusnya orang pelaksanannya ini hasilnya nanti tak bagus. Aturan main ini hasil dari proses manusia yang unggul ini, harusnya bagus, dan ini prosesnya di politik, menghasilkan aturan main itu prosesnya politik. Jadi kalu di politik manusia unggul masuk, kerja, merumuskan aturan main yang pas, kemudian ada yang melaksanakan aturan yang bagus juga birokrasi, itu saya kira akan mencapai tujuan kita.

Ketiga, saya kira fokus pemerintah sekarang dan dulu adalah infrastruktur sudah benar. Infrastruktur ini adalah fisik dari pembangunan bangsa, jaringan transportasi yang baik di dalam negeri, energi yang baik sehingga kita tak terombang-ambing dengan harga minyak. Sistem jaringan suplai energi yang andal. Juga yang penting adalah infrastruktur pangan, kita aman di bidang pangan, tidak terombang-ombing, ini semua dilaksanakan pemerintah dulu dan sekarang, tapi memang belum banyak tercapai. Menyatukan Indonesia itu, jaringan laut yang dilaksanakan Presiden Jokowi ini sudah betul harus kita bangun agar menjadi NKRI dari sisi ekonomi, bukan hanya NKRI dari sisi politik.

Landasan NKRI politik itu adalah NKRI ekonomi yang menyatu. Kalau ini tak ada, maka infrastruktur itu penting.

Sekarang Presiden Jokowi akan membangun kereta cepat, sudah diperlukan?
Saya nggak tahu detilnya, zaman saya pernah ada ide waktu itu yang kami tekankan double track Jakarta-Surabaya, kemudian yang kami inginkan, double track selatan Jawa, itu akan mengurangi beban jalan raya, mengurangi biaya transportasi, logistik kita mahal. Kereta api yang menghubungkan pusat-pusat produksi di luar Jawa, itu yang menurut saya yang perlu. Kalau kereta cepat Jakarta-Bandung saya tak tahu detilnya.

Anda bilang setelah menjabat ada beberapa yang ketinggalan untuk dibenahi, kalau di sektor ekonomi menurut Anda?
Misalnya kita belum menyatukan kesatuan transportasi antar pulau yang baik, membangun sistem energi nasional yang belum baik, kemudian bidang pangan demikian, kita hidup dalam dunia yang penuh risiko, ini harus ada dalam upaya terus memperkuat ketahanan. Risiko bisa datang dari mana-mana, dari krisis moneter, dari tempat kita, penurunan ekspor, impor, penurunan pertumbuhan ekonomi China berpengaruh pada kita, El Nino bisa berpengaruh pada kita itu semua risiko yang dihadapi.

Terkait dolar yang terus menguat terhadap rupiah dan mata uang di dunia, sebagai mantan gubernur BI apakah ini sudah mengkhwatirkan?
Begini ya, saya itu ingin pemerintahan Pak Jokowi sukses, jadi kalau saya berkomentar daripada jadi masalah lebih baik tidak. Saya ingin Pak Agus (Gubernur BI), Pak Darmin (Menko Ekonomi) bisa mengatasi semua ini. Saya memberi masukan langsung kepada Pak Darmin, tak usah kepada media.

Apa pandangan Anda dengan kondisi melemahnya rupiah pada 1998 dengan saat ini?
Secara umum keadaannya lain, saat 1998 saya sudah di pemerintahan, 2008 juga agak krisis. Sekarang ini sebenarnya hampir tidak, belum separah keadaan 1997/1998 maupun 2008, jadi masih ada waktu untuk mengendalikan dengan respons yang benar dan pas.

Ekonomi Indonesia kena dampak global seperti soal dolar yang menguat, yuan melemah, dan krisis lainnya, apa tanggapan Anda?
Indonesia hanya salah satu yang kena dampak, bukan satu-satunya, kuncinya semua negara menghadapi suasana yang hampir sama. Malaysia, Singapura, Thailand menghadapi yang sama, kuncinya adalah bagaimana membangun benteng pertahanan misalnya di bidang moneter bagaimana, fiskal bagaimana, sektor riil bagaimana. Ini yang perlu kita bangun, makanya kalau ada sistem ketahanan itu respons kita bisa baik sehingga dampaknya minim ke dalam negeri. Jangan sampai lepas kendali, itu bagaimana sistemnya soal fiskal, sektor riil.

Masih komunikasi dengan Agus Martowardojo (Gubernur BI), memberi masukan?
Akhir-akhir ini tidak terlalu, dulu beliau-beliau sering menelepon saya. Saya ingin rekan-rekan saya Pak Darmin, Pak Agus sukses lah.

Soal pangan sekarang menjadi persoalan krusial yang terus terulang, seperti lonjakan harga dan impor, menurut Anda di mana masalahnya?
Ketahanan pangan ini penting sekali, harus kita capai swasembada pada saat tertentu, harus benar-benar aman dari gejolak masalah pangan. Memang memerlukan langkah yang sistematik dan tak bisa diselesaikan dengan tak berkesinambungan, tak bisa 5 tahunan. Yang paling pokok adalah masalah ketahanan pangan di bidang beras. Zamannya Pak Harto, persiapan swasembada beras dilakukan dalam waktu 10 tahun, dari awal tahun 1970, sampai 1984 baru tercapai swasembada.

Setelah itu karena permintaan yang besar lagi, upaya untuk swasembada ini agak kendor, lalu ada gap antara demand dan supply. Swasembada 1984-1985 merupakan hasil kerja sejak awal tahun 1970-an, dalam peningkatan produktivitas, benih, penyediaan pupuk, soal kredit, penyangga harga minimal dan maksimal, semua kesatuan untuk mencapai swasembada pangan.

Swasembada pangan yang baik adalah meningkatkan produksinya bukan memotong permintaannya. Saya kita itu harus kita ulang lagi, supaya sistematis dalam peningkatan produksi pangan. Kalau Anda ingat, sejarah itu, selama 14 tahun mencapai swasembada pangan, belum pernah dalam setahun pun yang menggunakan instrumen melarang impor beras, tidak pernah, karena itu instrumen bukan untuk meningkatkan produktivitas. Instrumen itu justru digunakan untuk menjaga harga dasar dan harga atas.

Harga dasar penting tetap dijaga agar petani tak rugi, tidak kehilangan insentif untuk mengadopsi bibit baru, menggunakan pupuk, menamam. Sementara itu, harga atas itu juga penting juga kalau terlalu tinggi yang menanggung beban adalah konsumen. Konsumen banyak juga istilahnya pemegang kepentingan, tak hanya petani tapi konsumen juga, karena mereka juga rakyat kita.

Jangan sampai terbebani dengan harga pangan yang di luar kemampuan mereka. Karena masih banyak juga yang ekonomi lemah, pola pengeluaran kelompok miskin itu 70% pengeluaran untuk beras.

Bayangkan kalau itu naik, jadi harus ada upaya sistematik untuk meningkatkan produksi pangan. Kalau soal mengurangi demand bisa dilakukan dengan diversifikasi, jangan hanya makan beras, seperti jagung, itu oke. Tapi itu tak akan menjawab tuntas upaya mencapai swasembada, karena yang paling utama adalah dari sisi supply. Seingat saya melarang impor tidak pernah dilakukan pada waktu itu untuk mencapai swasembada zaman Pak Harto.

Anda pernah menyebutkan teori kutukan bagi negara-negara yang kaya sumber daya alam termasuk Indonesia, maksudnya apa?
Niat kita untuk mengatasi masalah yang dihadapi, memang kita dikarunia sumber daya alam yang cukup, yang intinya jangan sampai terlena hanya menjual warisan, akhirnya habis, begitu habis kita bingung. Itu yang disebut dengan kutukan sumber daya alam, tapi kita tak harus seperti itu, tergantung bagaimana respons kita, yaitu yang sistematik mengubah peluang yang diberikan sumber daya alam yang banyak ini meningkat sumber daya manusia.

Penekanan adalah atau tumpuannya bukan lagi pada sumber daya alam tapi sumber daya manusia. Menurut saya untuk mengubah itu, jadi teori itu tak harus berlaku. Kalau kita tak berubah, kita bisa kena kutukan, artinya kita tak yakin dengan diri kita. Memang betul kalau kita tak berubah sumber daya alam kita habis, sumber daya manusia sebagai tumpuan yang baru belum siap, itu harus kita jaga.

Presiden Jokowi pernah bilang, sekarang ini ekonomi Indonesia masuk masa transisi dari era konsumtif ke hal yang produktif, seperti subsidi BBM yang dicabut, apa tanggapan Anda?
Itu suatu konsep yang betul, ukuran ekonomi maju itu patokannya produktivitas, ekonomi apapun sumbernya produktivitas. Kalau kita hanya melihat dari sisi demand, kalau pertumbuhan ekonomi tahun ini saja dari sisi konsumsi saja, itu tidak baik, yang baik adalah sumber dari peningkatan pertumbuhan yang berasal dari investasi, akhirnya bermuara pada produktivitas. Saya kira pemerintahan sekarang betul.

Jadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia seharusnya apa ke depannya?
Seperti yang saya katakan tadi, kita harus melihat pertumbuhan ekonomi suatu bangsa itu berkesinambungan, tidak tahun ini naik, lalu tahun depan turun. Lalu dua tahun naik, lalu tiga tahun turun, bukan begitu. Harusnya suatu tren yang konsisten, tak boleh terlalu naik, sumbernya dari sisi supply peningkatan produktivitas, dan dari sisi demandnya permintaan ekspor, memang perlu.

Tapi sisi supply akan meningkatkan sumber daya manusia, memperbaiki institusi kita, birokrasi kita, undang-undang kita, infrastruktur kita, kalau hanya konsumsi suatu tahun akan turun, lalu ekspor turun, kalau ekspor kita tak bisa memprediksi dengan tepat. Kalau konsumsi terlalu melonjak dari sisi supply kita itu salah.

(hen/dnl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads