Di tangan dinginnya, Pelindo II yang sebelumnya memiliki banyak pelabuhan sekarat, kini menjadi perusahaan pengelola pelabuhan paling menguntungkan di Asia Tenggara.
Lino yang masa kecilnya dipanggil ‘Manneke’ ini, dalam Bahasa Belanda berarti anak kecil, mengubah aset Pelindo II menjadi lebih dari Rp 40 triliun, dari sebelumnya hanya Rp 6,5 triliun saat dirinya mulai memimpin perusahaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelabuhan-pelabuhan milik Pelindo II seperti tak terurus. Kesan kumuh, macet, semrawut, dan pungutan liar jadi pemandangan umum di Tanjung Priok. Bongkar pasang untuk tujuan efisiensi banyak dilakukan Lino. Perlahan, kondisi pelabuhan-pelabuhan mulai membaik.
Lino mengibaratkan, dengan tidur ongkang-ongkang kaki pun, Pelindo II bisa dapat untung berlipat dari kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan miliknya. Dengan 70% arus logistik di Indonesia lewat Tanjung Priok, uang masuk ke kas perusahaan tanpa perlu keluar keringat.
Sebelum meningkatkan produktifitas dan restrukturisasi perseroan, baginya yang terpenting adalah membenahi sumber daya manusia (SDM). Pria asal Ambon ini harus jungkir balik mengubah budaya kerja di Pelindo II, banyak yang tak suka dengan sepak terjangnya.
Di tengah tudingan-tudingan miring, Lino tak ambil pusing. Hasilnya, SDM yang mumpuni nyatanya membuat produktifitas pelabuhan-pelabuhan yang dikelola Pelindo meloncat seperti saat ini.
Setelah pembenahan karyawan, proyek-proyek besar pun digebar, sebut saja Pelabuhan Kalibaru atau New Tanjung Priok, Pelabuhan Kijing Kalimantan Barat, Pelabuhan Sorong, hingga kanal pengangkut kontainer dari Priok ke Cikarang.
Berikut petikan wawancara detikFinance dengan Lino, pada Senin (26/10/2015) kemarin.
Bagaimana perusahaan saat pertama kali memimpin Pelindo II?
Awal masuk saya di Pelindo II tahun 1978. Kemudian, saya berhenti tahun 1990 atau 19 tahun saya tinggalkan perusahaan. Pada Mei 2009 balik lagi ke sini, Pak Sofyan Djalil minta saya baik lagi, saat saya balik kaget sekali.
Secara organisasi dan fasilitas, pas waktu tahun 1980-an pas saya masih di Priok, bisa dikatakan pelabuhan kita the best di asia, dulu kita hanya kalah dari Singapura, Jepang, dan Hong Kong.
Pelabuhan yang lainya saat itu kaya Korea, Thailand, China, Malaysia, India, dan negara-negara Arab tidak lebih baik dari kita. Masalahnya adalah selama 19 tahun kita tak bikin apa-apa, kemudian orientasi direksi adalah bagaimana keuntungan ada terus.
Sehingga akibatnya dalam jangka panjang pelabuhan kita makin semrawut seiring naiknya arus logistik. Kaya saya buat Kalibaru kan ada cost of money atau keluar biaya, belum ada bunga bank dari uang yang kita pinjam. Otomatis kalau cost of money bisa kurangi keuntungan, dulu berpikirnya kalau itu mengurangi keuntungan tak perlu dilakukan.
Juga akhirnya tidak ada yang mau sekolahin karyawan karena kurangi keuntungan. Jadi pelabuhan saat itu lubang-lubang dimana-mana, bukan hanya Priok tapi juga pelabuhan kita yang lain. Banyak lubang yang harus diperbaiki, fasilitas pelabuhan jelek sekali, kotor, semrawut kumal, ternyata selama 19 tahun tak ada perbaikan pelabuhan.
Melihat kondisi tersebut, apa yang terobosan dilakukan pertama kali?
Awal saya masuk, saya lihat karyawan saya seperti mau mati besok, orang-orangnya tak ada energinya. Tak ada jiwabnya, bagaimana ini merubahnya, padahal kalau mau ubah apa-apa kan harus orang dulu.
Jadi callenge paling sulit itu ubah manuasia dulu, fasilitas tidak dibuat baru tak masalah. Kalau kita ada uang 2-3 tahun jadi fasilitas. Tapi mengubah mindset orang sangat lama dan susah, makanya dimana-mana saya bentrok sana, bentrok sini. Karena orang-orang sudah sedemikian tahun enak, istilah saya sudah enak di zona nyaman.
Jadi yah seenaknya saja, pulang kantor jam 5 sore. Waktu itu jam 4 sore itu bisa dilihat di loket-loket antri buat absen mau pulang. Sekarang di Pelindo II jam 4 atau 5 ore tak ada orang antre di loket buat absen pulang. Karena semua orang senang kerja, jiwanya semangat.
Apa yang dilakukan untuk mengubah mindset karyawan?
Harus ada yang temani saya, tak mau saya sendirian mengubah segitu banyak orang. Di awal saya, orang yang selama ini tidak pernah sekolah saya training buat keluar negeri, tahun pertama saya bisa berhasil kirim hampir 30 anak muda setingkat manajer ambil master degree ke luar negeri.
Pelabuhan itu pada saat saya masuk kapal-kapal yang masuk rata-rata sudah pada tua. Itu gambaran dari pelabuhan itu bagus atau tidak, kalau pelabuhan itu bagus dan efisien, pasti yang masuk kapal-kapal modern, bukan kapal-kapal yang tua.
Saat itu di Jjakarta yang ada kapal-tua. Itu karena pelabuhan di bawah standar, tak efisien, pelayanan jelek, yang terjadi akhornya kapal-kapal modern tak mampir ke Priok karena habis waktu, waktu itu biaya salah satu biaya paling tinggi dalam logistik.
Saya ubah itu, harus ribut sama orang, dorong-dorong ke orang-orang yang kerjanya tak benar. Jangankan karyawan, perusahaan yang selama ini menikmati saya usir-usir kalau tak mau ikuti ritme saya. Sekarang, sudah saya kirim total 176 orang sekolah master degree, perusahaan yang bayar. Hasilnya baru mulai terlihat sekarang dengan jiwa-jiwa muda yang produktif.
(ang/ang)