Di Kepulauan Natuna, Jokowi menggelar rapat terbatas dengan beberapa menteri Kabinet Kerja mengenai percepatan pembangunan Natuna. Rapat digelar di atas kapal perang KRI Bonjol 383.
Kunjungan Jokowi ini terkait dengan klaim China bahwa perairan Natuna termasuk wilayah penangkapan tradisional nelayan China. Ketika ada kapal nelayan China yang ditangkap TNI Angkatan Laut karena mencuri ikan di perairan Natuna, pemerintah China membela nelayannya dengan argumen tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tenaga Ahli Bidang Migas Kemenko Maritim dan Sumber Daya, Haposan Napitupulu, mengungkapkan Natuna adalah wilayah yang sangat penting. Haposan pernah bekerja sebagai Deputi Perencanaan BPMigas dari 2010-2012. Lalu pernah menjabat Presiden Direktur Pertamina EP Cepu pada 2009-2010. Sejak 1975, Haposan tercatat bekerja di Pertamina dalam berbagai jabatan.
Haposan mengatakan bukan hanya kaya akan ikan, Natuna juga menyimpan potensi besar di sektor migas dan pariwisata. Itulah sebabnya China mengincar wilayah ini. Berikut petikan wawancara detikFinance dengan Haposan di Kantor Kemenko Maritim pada Jumat (15/7/2016):
Bisa dijelaskan terkait keputusan sidang arbitrase internasional yang menyatakan klaim China atas perairan Natuna tidak sah?
Jadi Permanent Court of Arbitration di Den Haag, Belanda, pada 12 Juli 2016 kemarin menyimpulkan bahwa tidak dasar hukum bagi 'nine dash line' yang diklaim oleh China. Nine dash line adalah 9 titik yang dihubung-hubungkan dari Pulau Hainan seluas 2 juta km persegi, sehingga mengambil kurang lebih 30% laut Indonesia di Natuna, 80% laut Filipina, 80% laut Malaysia, 50% laut Vietnam, dan 90% laut Brunei. Mereka mengklaim itu dengan dasar bahwa nelayan China pernah ke wilayah-wilayah ini, kata dia.
Tapi UNCLOS tidak menyatakan begitu. China sudah mengusulkan di tahun 2009, tapi mereka tidak bisa menyampaikan dasar hukumnya. Kemudian sekarang Filipina protes, dibawa ke PBB, PBB kemarin memutuskan tidak ada alasan bagi China untuk mengklaim.
Apakah keputusan arbitrase yang memenangkan Filipina itu bisa digunakan juga untuk menegaskan kedaulatan Indonesia di Natuna?
Kita sebagai anggota PBB, keputusan PBB itu kan binding dan mengikat. Ini berlaku juga buat kita.
Apakah yang diincar China di sana hanya ikan?
Bukan hanya ikan, kita lihat petanya. Ada kekayaan migas, potensi pariwisata, dan juga untuk pertahanan. Jadi ada 4 yang diincar. Kalau kita lihat peta wilayah yang diklaim China, ini Natuna D-Alpha ikut. Natuna D-Alpha itu punya cadangan gas yang bisa diambil 46 TCF (triliun kaki kubik), terbesar yang ditemukan selama 130 tahun kegiatan migas kita.
Selama ini kita belum pernah menemukan yang sebesar itu. Ini ditemukan tahun 1973, hampir setengah abad kita tidak pernah menemukan yang lebih besar lagi. Masela yang kita ribut-ributkan kemarin itu hanya seperempatnya. Tangguh, Duri, lebih kecil lagi.
Sayangnya kandungan gasnya tinggi sampai 72%. Kita sudah melakukan kegiatan eksplorasi di sana sejak tahun 1960-an, waktu itu oleh AGIP yang sekarang bernama ENI. Tahun 1980-an dilanjutkan oleh Exxon, baru kajian-kajian saja.
Seharusnya Natuna D-Alpha ini segera dikembangkan. Kandungan CO2 yang tinggi memang membuat biaya investasinya tinggi.
Selain Blok East Natuna, apa ada lagi wilayah kaya migas di perairan Natuna yang ingin diklaim China?
Ada lagi, namanya Lapangan Dara, salah satu lapangan di Blok Sokang. Cadangan gasnya sekitar 6 TCF, kira-kira separuhnya Tangguh. Ini ditemukan tahun 2000. KKKS-nya Black Platinum.
Apa yang harus dilakukan pemerintah supaya Blok East Natuna menjadi ekonomis untuk dikembangkan?
Supaya masuk keekonomiannya, maka harus diberikan insentif, misalnya tax holiday. Kalau hanya berbasis PSC saja, IRR-nya hanya 8%. Pernah diusulkan insentif, kalau kita beri Government Share After Tax diskon 10%, perpanjangan kontrak selama 30 tahun, naik jadi 9%. Kalau First Tranche Petroleum (FTP) tidak untuk pemerintah semua naik lagi jadi 10,4%. Kemudian kita beri Investment Credit 50% selama 5 tahun naik lagi jadi 10,5%. Beri Assume and Discharge on Direct in Tax diberlakukan, naik jadi 11,2%. Kemudian tax rate kita turunkan dari 40,5% jadi 32,5% naik lah jadi 12%. Ini skenario dari Pertamina tahun 2013.
Berapa biaya investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan Blok East Natuna?
Kalau nggak pakai (kilang) LNG, biayanya US$ 25 miliar. Kalau pakai LNG, jadi bisa US$ 35 miliar. Ini perkiraan dari Mackenzie. Kalau harga minyak seperti sekarang bisa lebih murah. Jadi sekitar US$ 30-40 miliar lah biayanya sampai onstream, kira-kira 5-10 tahun.
Jadi aturan apa saja yang perlu diubah agar skenario insentif seperti yang diminta Pertamina itu bisa jalan?
Perlu penyesuaian mengenai pajak, fiskal, split di kontrak, durasi kontrak diperpanjang.
Tapi skenario Pertamina itu kan waktu harga minyak masih tinggi. Kalau harga minyak rendah seperti sekarang, apakah Blok East Natuna bisa ekonomis untuk dikembangkan?
Kalau ingin dikembangkan dengan situasi seperti sekarang, kita duduk lagi sama-sama dengan dia. Dia IRR-nya misalnya inginnya 12%. Skenario yang dulu waktu harga minyak masih US$ 80/barel, sekarang bagaimana kalau minyak US$ 50/barel. Apakah mungkin split pemerintah dikurangi, atau yang lain. Kalau split pemerintah dikurangi, mereka bayar ke pemerintah jadi lebih sedikit, biaya operasinya jadi lebih murah.
Penerimaan negara memang akan berkurang di hulu kalau split kecil. Tapi nggak apa-apa, yang penting gasnya harus buat domestik sehingga memicu pengembangan ekonomi wilayah, menumbuhkan industri di dalam negeri. Misalnya untuk petrokimia, untuk listrik, sebagian untuk LNG.
Dulu waktu harga minyak US$ 100/barel, gas dari Natuna harus US$ 8,2/mmbtu baru ekonomis. Sekarang tentu dengan harga minyak US$ 50/barel mungkin tidak masuk, biaya produksi gasnya US$ 8/mmbtu sementara harga gas lagi jatuh. Tapi itu kan kalau skema fiskalnya biasa-biasa saja. Kalau disesuaikan bisa saja ekonomis, diberi insentif-insentif supaya ini jalan.
Jadi pengembangan Blok East Natuna harus segera dimulai meski harga minyak sedang rendah?
Memang biaya untuk mengembangkannya mahal dan gas baru mengalir 5-10 tahun, tapi ya harus dimulai. Selama pembangunan kan banyak orang kerja di sana, ada aktivitas, ada kegiatan. Jadi mereka mikir juga kalau mau mengklaim, ada kegiatan. Saat tahap produksi juga ada kegiatan, ada helikopter bolak-balik, ada segala macam. Kalau sekarang kan kosong, seharusnya pemerintah berpikir bukan hanya segi komersialitas, tapi juga kedaulatan negara, jangan hanya berpkir komersialnya saja.
Selain kendala dalam hal keekonomian dan teknis, apa lagi yang menghambat pengembangan Blok East Natuna?
Kendala utamanya adalah keinginan pemerintah. Pemerintah punya willing nggak untuk membangun ini? Kalau ada kemauan, diberikan lah semua fasilitas yang penting ini terbangun. Harusnya kan begitu baru bisa dibangun.
Kalau kata pemerintah aturannya harus begini begitu, fiskalnya nggak bisa begini nggak bisa begitu, pemerintah dapat apa? Nggak dapat apa-apa juga. Kalau kasih tax holiday 10 tahun, memang 10 tahun nggak dapat pendapatan pajak, tapi setelah 10 tahun kan dapat. Yang penting ini bisa dikembangkan.
Kandungan CO2 di Blok East Natuna sampai 72%, apakah sudah ada teknologi yang bisa mengatasinya?
Itu sudah dipikirkan oleh Exxon Mobil. Itu akan diinjeksikan lagi, sudah dipetakan, sudah disiapkan wilayah untuk injeksi CO2-nya, itu lah sebabnya biayanya mahal. Pemerintah sudah memberikan lokasi untuk injeksi, ada reservoir di atasnya.
Berapa produksinya kalau pengembangan Blok East Natuna berhasil?
Gasnya bisa 1.000 MMSCFD selama 30 tahun. Ada lagi kondensatnya. Cadangan minyaknya sekitar 310 juta barel. Produksi minyak bisa 19.000 barel per hari (bph) selama 6 tahun. Potensi pasarnya ke Batam, Kalimantan Timur, dan Singapura.
Mengapa gas dari Natuna ada yang direncanakan dijual ke Singapura? Mengapa tidak semuanya ke dalam negeri saja?
Di Undang Undang aturannya ditawarkan dulu ke domestik. Kalau domestik tidak bisa menyerap, baru untuk ekspor.
Misalnya gas di Natuna bisa dikembangkan, apa yang akan dibangun untuk meningkatkan nilai tambah?
Salah satunya LNG dan industri petrokimia. Tapi kalau bangun LNG, jangan pakai skema hulu, jangan masuk ke cost recovery. Jual putus saja seperti di Donggi Senoro. Penerimaan negara tidak tergerus lagi untuk membangun LNG Plant.
Apakah itu bisa mengurangi ketergantungan kita pada impor petrokimia dari Malaysia?
Kalau ekonomis, bisa ke industri petrokimia juga. Biasanya petrokimia mengikuti setelah ada LNG Plant, seperti di Bontang. Kalau bisa dibangun, tentu mengurangi ketergantungan kita pada impor.
Tahu nggak sekarang kita impor petrokimia dari mana? Dari Korea Selatan, Taiwan, Jepang, dan Malaysia. Mereka gasnya dari mana? Dari kita.
Bagaimana dengan blok-blok lain di Natuna? Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli menyebut ada yang mandek?
Ada 16 blok di perairan Natuna. Ada 3 blok yang akan determinasi karena KKKS-nya tidak melakukan apa-apa. Sampai perpanjangan masa eksplorasi tidak ada kegiatan.
Jadi KKKS di 3 blok ini yang perlu dievaluasi?
Sebetulnya semuanya perlu dievaluasi yang blok eksplorasi. Yang sekarang melakukan kegiatan itu Santos di Ande-Ande Lumut.
Natuna itu dibagi 2, Natuna Timur dan Natuna Barat. Kalau yang di timur, reservoir-nya batu gamping atau batu kapur. Kalau yang di barat itu pasir. Sekarang semuanya yang produksi dari barat, dari Premiere, ConocoPhilips, Star Energy. Produksi gasnya 491 MMSCFD, minyaknya 25.000 barel per hari.
Hampir semua produksi gasnya sekarang dialirkan ke Singapura dan Malaysia. Nanti akan ada juga yang dialirkan ke Batam melalui Pulau Pemping.
Sudah mulai dibangun pipanya ke Batam? Untuk apa saja?
Sudah mulai dibangun, itu untuk listrik. Jadi untuk PLTG di Batam. (wdl/wdl)