Ini juga yang dihadapi oleh Silmy Karim, yang beberapa tahun terakhir dikenal menjabat Direktur Utama PT Pindad (Persero). Sebulan terakhir, Silmy ditugaskan sebagai Direktur Utama PT Barata Indonesia (Persero).
Jabatan baru di BUMN produsen alat berat ini menjadi tantangan baru bagi Silmy. Dia harus membuat bisnis Barata kembali bergairah setelah sempat mati suri. Barata adalah BUMN yang memproduksi alat-alat berat seperti mesin generator, komponen kereta api, baja, hingga crane.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut petikan wawancara detikFinance bersama Silmy, ketika ditemui langsung di Financial Club Graha Niaga, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (6/9/2016).
Baru berganti perusahaan dari PT Pindad ke PT Barata, perubahan apa yang sudah dilakukan?
Salah satu hal yang membuat penugasan ini menjadi menarik itu kan ketika saya mendapatkan suatu tantangan baru untuk bisa melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Memang perusahaan ini kan berdiri 1901, dulu milik Belanda yang dinasionalisasi kemudian menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Perkembangannya dulu memang cukup baik karena zaman-zaman tahun 1980 itu menjadi referensi bagi mahasiswa yang ingin bekerja di industri besar, tetapi ketika dalam perjalanannya khususnya dalam krisis ekonomi banyak perusahaan strategis itu 'dimatikan', Barata salah satu yang terkena imbas. Kemudian untuk bangkit lagi itu sulit karena memang bersamaan dengan bangkitnya industri di China.
Ada hambatan apa dalam memimpin Barata?
Kesulitan internal di Barata kemudian ditambah dengan bangkitnya kompetitor kita China, membuat Barata sendiri juga dalam posisi yang sulit dari dalam dan dari luar. Jadi ketika ingin bangkit harus berhadapan dengan produk China. Di mana produk China dikenal dengan harganya yang sangat murah.
Kemudian saya sebulan belakangan ini mendalamai apa sih kekuatan Barata yang bisa dibangkitkan. Saya tentu di sini sudah ada business existing yang setiap tahun Barata selalu dapat karena tidak ada pesaing yang cukup signifikan yaitu misalnya dalam melakukan perawatan pabrik gula, kemudian juga perawatan pabrik sawit, kemudian juga kemampuan foundry khususnya untuk casting, steel casting, di mana salah satu produknya adalah komponen kereta api.
Kita yang terbesar untuk foundry dan casting facility, pengecoran logam lah kalau diIndonesiakan. Jadi, di situ komponen kereta api yang besar-besar seperti boogie-nya kereta api, kemudian sambungannya kereta api joint antara gerbong.
Bagaimana rencana bisnis Barata ke depan?
Ketika saya melihat itu kemudian juga saya melihat tren ke depan. Pemerintah itu punya arah ke mana. Saya melihat ada satu kaitan dengan rencana pembangkit 35.000 Mega Watt (MW). Kita banyak tahu bahwa untuk yang 10.000 atau 15.000 MW pertama itu kita banyak sourcing dari China pembangkitnya dan itu sekarang banyak masalah. Ibu Menteri (Rini Soemarno) bahwa Barata menjadi pelaku peningkatan komponen lokal untuk pembangkit, salah satunya ya. Tentu saya sepakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan pembangkit 35.000 MW.
Kalau kita lihat potensinya tentu sangat besar 3 sampai 5 tahun ke depan. Makanya kita sekarang sedang menyusun persiapan maupun juga komunikasi baik dengan PLN dan juga kementerian-kementerian baik juga pihak asing yang ingin berpartisipasi.
Pembangkit itu kan dibagi dua, pembangkit besar di atas 100 MW, pembangkit sedang itu sekitar 25 MW sampai 100 MW, kemudian pembangkit kecil di bawah 10 MW. Untuk yang kecil saya pikir Indonesia tidak punya masalah, untuk yang sedang menurut saya juga kita bisa melakukan itu dengan bantuan pihak yang sudah berpengalaman, dan untuk yang di atas 100 MW itu tentu kia menjadi bagian daripada transfer of knowledge dan transfer of technology dengan harapan di kemudian hari kita bisa mampu sendiri. Itu kita akan masuk dengan bermitra dengan luar negeri.
![]() |
Transfer of technology sama negara mana saja?
Kami sedang membuka diri dengan Amerika Serikat (AS), dari Jepang, dari Jerman. Kita sedang ada komunikasi supaya kita bisa mendapatkan porsi terbaik.
Porsi terbaik itu bukan hanya dalam konteks besaran saja, tetapi juga kita bisa menguasai suatu teknologi pembangkit.
Jadi misalnya pegawai Barata dikirim ke luar negeri?
Salah satunya, iya. Juga kita berpartisipasi dalam proyek-proyek ini. Di luar negeri itu banyak bisa menjadi kenyataan itu karena paksa. Kalau ditanya apakah punya pengalaman, apakah punya kemampuan, ya tentunya belum. Harus dipaksa terus kemudian karena pemaksaan itu akhirnya dibantu dengan pihak luar negeri dan ini juga pengalaman yang ada di industri pertahanan begitu, bahwa kontrak itu sebaiknya memang diberikan kepada pelaku lokal dan pelaku lokal yang mencari mitra.
Kalau kebalik biasanya bargaining position pihak Indonesia lemah. Jadi nanti akhirnya asing yang lebih mengontrol. Tidak semua asing jelek, tapi akan lebih mudah kalau kontraknya ada di tangan kita. Tentu dengan segala macam alasan akhirnya dia tas 100 MW mungkin model bisnis yang paling tepat ya kemitraan, entah itu asing pihak Indonesia jadi mitranya. Tetapi untuk yang 50 MW baiknya sih Indonesia, apa lagi yang kecil. Kalau yang kecil kalau tidak yang tinggi seperti portable turbine generator itu saya rasa Indonesia bisa. (wdl/wdl)