Menurut dia, meskipun status AP II sebagai BUMN, namun bukan berarti menutup kemungkinan untuk bisa bersaing di skala global. Visi tersebut menurutnya menjadi motor penggerak AP II untuk bisa terus meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat.
"Jadi kita bersaing bukan lagi dengan sesama BUMN atau bandara yang ada di dalam negeri. Jadi Indonesia harus kita kembangkan bersama, dengan melakukan benchmark (rujukan), melihat apa yang ada di sekitar kita. Di kawasan regional misalnya yang paling bagus apa? Terminal 3 Ultimate misalnya harusnya menjadi airport yang bisa bersaing dengan Changi. Kualanamu mungkin lebih pas kita buat posisi bersaingnya dengan Kuala Lumpur," ujarnya ketika berbincang dengan detikFinance di Jakarta, Rabu (14/9/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, AP II harus bersaing dengan apa yang sudah dilakukan oleh pengelola bandara di luar negeri. "Paling tidak ASEAN," tutur dia.
Perbedaan jarak dan kondisi ekonomi yang tidak jauh menurutnya menjadi suatu peluang, bagaimana bandara-bandara yang dikelola oleh AP II bisa lebih bersaing di tingkat regional seperti ASEAN.
"Bandingkan dengan Kuala Lumpur. Artinya orang traffic ke sana sangat tinggi (dari KLIA ke Kualanamu atau sebaliknya). Dengan 2 jam perjalanan, tapi tempat dan situasinya membuat suatu kondisi yang cukup ekstrim (dengan Kualanamu). Saya rasa kita tidak harus begitu," jelas dia.
Namun demikian, semua usaha ini menurutnya harus didukung oleh berbagai pemangku kepentingan terkait, begitu pula dengan masyarakat, sehingga dapat tercipta suatu ekosistem yang mendukung kemajuan dari bandara yang dikelola.
"Jadi itu yang saya pikir harus dorong ke teman-teman di AP II. Tapi kita juga nggak bisa sendiri. Harus ada dukungan airlines, pelaku usaha, pelaku bisnis seperti apa. Harus sama-sama supaya sepakat membuat Terminal 3 Ultimate bagus. Bisa bersaing dengan Changi. Tapi butuh waktu, karena sekarang sedang jalan. Kan belum selesai," pungkasnya. (dna/dna)











































