Industri Ramai-ramai Mengadu Soal Harga Gas Mahal

Wawancara Khusus Menteri Perindustrian

Industri Ramai-ramai Mengadu Soal Harga Gas Mahal

Yulida Medistiara - detikFinance
Senin, 19 Sep 2016 07:32 WIB
Foto: Dok. Kemenperin
Jakarta - Gas menjadi salah satu komponen bagi industri untuk tetap kompetitif. Harga gas yang terjangkau membuat kegiatan produksi berjalan lancar dan produk yang dihasilkan memiliki daya saing.

Namun, industri belum menikmati harga gas yang terjangkau. Harga gas untuk industri masih berada di kisaran US$ 7-10/MMBtu, bahkan ada yang mencapai US$ 12-14/MMBtu.

Pengusaha sempat mengeluhkan masalah ini ke Menteri Perindustrian (Menperin), Airlangga Hartarto. Contohnya, pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT), yang sempat berkeluh-kesah soal harga gas ke Menperin akhir Agustus lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukan itu saja, pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Industri Pulp dan Kertas, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, serta PT Pupuk Indonesia, juga bertemu Menperin menyampaikan masalah yang mereka hadapi terkait harga gas.

Lantas, apa keluhan industri dan bagaimana respons terhadap masalah tersebut, Berikut petikan wawancara detikFinance dengan Airlangga, di Kantor Kementerian Perindustrian, Rabu (14/9/2016) :

Mengapa gas bisa menjadi sorotan utama pelaku industri?
Kalau bagi industri, gas itu infrastruktur industri. Jadi kalau kita bicara infrastruktur sebetulnya ada dua, gas sama listrik, itu daya saing industri ada di dua hal tersebut. Itu juga mencakup yang sering disebut ease of doing bussiness atau kemudahan berusaha. Jadi kalau orang mau berusaha selain dia tanya soal kawasan industri, logistik, dan pelabuhan logistik, berikutnya ketersediaan listrik dan gas, lalu harga gas dan listrik karena di seluruh industri itu jadi komponen
utama.

Berapa besar kontribusi gas terhadap biaya produksi?
Kalau kisarannya energi itu bisa sampai 30%, kalau untuk bahan baku itu 70%.

Pelaku industri mengeluhkan harga gas yang masih tinggi, mengapa bisa terjadi seperti itu?
Kalau gas itu yang dikeluhkan para pelaku industri ada perbedaan kontrak antara gas ekspor dan gas dalam negeri. Kalau gas ekspor kan dikaitkan dengan harga minyak sedangkan pengguna industri tidak dikaitkan dengan harga minyak karena mereka kontrak pengguna industri itu dengan transporter dengan pipa, sedangkan kontrak antara hulu migas dengan pipa itu tidak ditransmisikan atau tidak dipindahkan kepada produsen pengguna gas, tetapi diubah formatnya.

Jadi kalau di hulu terkait dengan harga minyak kalau harga minyak naik dia (gas) naik kalau harga minyak turun dia ikut turun. Tetapi kepada end user kontraknya tidak terkait harga minyak. Jadi kontraknya adalah harga gas tambah indeks kenaikan harga, dan kontrak ini biasanya rata-rata take or pay, jadi semuanya harus diambil kalau kontraknya 10 ya ambilnya 10, mau pabriknya jalan, mau pabriknya nggak jalan semua harus diambil. Jadi terjadi perbedaan format kontrak, makanya terjadi perubahan harga gas di plan gate dan harga gas di hulu.

Tapi, kenapa harga gas di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan negara tetangga, seperti Vietnam, Malaysia, Singapura?
Jadi karena ada kontrak hulu dan hilirnya berbeda, tentu ada transporter di tengah.

Transporter bisa dibilang trader?
Kalau trader kan nggak punya barang, kalau transporter kan punya barang punya pipa, punya infrastruktur.

Lebih banyak mana transporter atau trader?
Ya silakan cari sendiri

Sekarang sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 40 tahun 2016 tentang penepatan harga gas bumi, salah satunya untuk industri. Menapa masalah harga gas ini belum bisa diselesaikan?
Ini kan kita dalam rangka mengimplementasikan itu. Jadi Perpres itu mau kita implementasikan dan ada sektor yang diperluas karena sektor yang membutuhkan lebih luas daripada sektor awal. Jadi dari 7 menjadi 10 sektor industri ditambah kawasan industri.

Nah kawasan industri ini kan sebetulnya amanat dari UU energi yang sudah turun dalam RUU di mana untuk kawasan industri diberikan 'previlage' supaya dia industri itu bisa berdaya saing. Jadi sudah ada rencana umum kebijakan energinya.

Kapan kebijakan dalam Perpres ini bisa diimplementasikan?
Ini kan berlaku 2016. Bukannya belum ini , tapi kita sempurnakan implementasinya supaya tidak tanggung. Karena implementasinya itu kan turunnya ke Menteri ESDM dan Kementerian Perindustrian. (hns/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads