Cerita PGN Bangun Jaringan Gas Rumah Tangga Demi Masyarakat

Wawancara Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN

Cerita PGN Bangun Jaringan Gas Rumah Tangga Demi Masyarakat

Michael Agustinus - detikFinance
Senin, 16 Jan 2017 07:42 WIB
Foto: Dok. PGN
Jakarta - Pembangunan jaringan gas (jargas) untuk rumah tangga terus dilakukan oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) agar manfaat energi baik dari gas bumi bisa semakin luas dirasakan oleh masyarakat.

Pada 2016 lalu, total ada sekitar 69.000 rumah tangga yang mendapatkan sambungan gas dari PGN. Pembangunan 49.000 sambungan gas rumah tangga merupakan penugasan dari Kementerian ESDM, sedangkan 20.000 sambungan lagi dibangun sendiri dengan dana dari PGN.

Tapi PGN tak mengambil keuntungan sepeser pun dari penjualan gas ke rumah tangga. Malahan mereka 'nombok' alias jual rugi karena biaya investasi yang mereka keluarkan tak sebanding dengan tarif yang dibayar oleh pelanggan rumah tangga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski begitu, PGN tetap bersemangat untuk terus memperluas jaringan gas rumah tangga. Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN, Dilo Seno Widagdo, menyatakan bahwa proyek sambungan gas rumah tangga ini bagi PGN adalah untuk melayani masyarakat, bukan untuk dikomersialkan.

Perluasan jargas rumah tangga bukan pekerjaan mudah. Ada berbagai masalah seperti perizinan, harga keekonomian, hingga pasokan gas. Di sela-sela kunjungannya ke Batam pekan lalu, Dilo menerima detikFinance untuk wawancara khusus. Berikut petikannya:

Bisa dijelaskan rencana PGN mengembangkan jaringan gas untuk rumah tangga?
Jadi PGN itu punya program yang kaitannya sama jargas rumah tangga kita beri nama 'PGN Sayang Ibu'. Sama seperti pembangunan jargas yang ditugaskan pemerintah, tapi program PGN Sayang Ibu tidak menggunakan dana APBN, pakai dana PGN sendiri.

Memang dengan masifnya pembangunan jargas yang memakai dana APBN, ini sedikit mengganggu program PGN Sayang Ibu. Kenapa? Karena programnya PGN ini ada fungsi atau bagian yang menjadi biaya pelanggan. Jadi pemasangan sambungan dari meteran ke dalam rumah itu bebannya pelanggan. Kalau yang pakai dana APBN, dari meteran sampai kompor langsung dari dana APBN.

Kan kalau saya mau menawarkan ke orang (program PGN Sayang Ibu), nanti ada yang nanya kok harus bayar sementara yang itu (pembangunan jargas dengan dana APBN) kok nggak bayar. Otomatis program kita sedikit terganggu. Tapi bukan berarti lalu kita setop, tahun lalu itu 20.000 sambungan rumah tangga (SR) yang kita bangun.

Dua puluh ribu SR itu tidak termasuk yang pakai dana APBN?
Di luar APBN. Dari APBN totalnya ada 49.000 SR, 21.000 SR di antaranya di Tarakan, 4.000 SR di Batam, 24.000 SR di Surabaya. Sekarang jargas yang dikelola PGN kurang lebih yang punya kita sendiri 100.000 SR dan penugasan dari pemerintah 100.000 SR. Kira-kira mendekati angka 200.000 SR.

Berapa dana investasi untuk 20.000 SR itu?
Setiap daerah variasi biaya investasinya. Misalnya di Musi Banyuasin, pipa bajanya harus lebih panjang, jadi per 1 sambungan pasti lebih mahal. Tapi mungkin kalau rata-rata range antara Rp 15 juta-20 juta per 1 sambungan rumah tangga. Jadi kalau misalnya 1.000 sambungan ya Rp 15 miliar.

Untuk program PGN Sayang Ibu, berapa biaya yang harus dibayar pelanggan untuk mendapatkan sambungan gas?
Bayarnya mungkin untuk instalasi dan pemasangan pipa antara 10-15 meter itu mungkin sekitar Rp 2,2 juta.

Kendala apa saja yang dihadapi PGN dalam pembangunan jargas rumah tangga?
Kendalanya banyak. Pertama perizinan. Dari biaya investasi Rp 15 juta per sambungan rumah tangga itu komponen non teknisnya cukup besar. Komponen non teknis itu misalnya perizinan, pekerjaan rekondisi, ini cukup besar.

Izin itu ada izin pemanfaatan lahan, tiap pemda punya aturan sendiri, retribusinya beda-beda, izin pelaksanaan juga, izin prinsip juga beda-beda. Ada yang harus naruh jaminan, ada yang enggak.

Itu baru yang non teknis tapi formal, ada juga yang tidak formal, banyak premannya di tengah jalan.

Tapi ada juga kan pemda yang membantu persoalan lahan, misalnya Surabaya?
Di Surabaya kita minta dispensasi sama Pemerintah Kota Surabaya bahwa ini untuk kepentingan masyarakat. Ini adalah bagian dari penugasan pemerintah pusat. Jadi meski pemda sudah punya aturan, Ibu Walikota (Tri Rismaharini) langsung memberi surat bahwa kita enggak harus ikut ketentuan biaya pemanfaatan lahan.

Apakah harga jual gas untuk rumah tangga sudah sesuai harga keekonomian? Apakah PGN nombok?
Jadi sebenarnya harga yang sudah berlaku, ditetapkan BPH Migas, untuk Jabodetabek Rp 2.900-3.100 per m3. Kalau misalnya harga di hulunya yang dapat penugasan dari pemerintah ini US$ 4,7 per MMBTU, itu ekuivalen dengan Rp 2.400 per m3. Tapi kan ada biaya operasi, biaya pemeliharaan, tidak cukup hanya Rp 500 per m3. Rata-rata pemakaian per pelanggan itu 10 m3 tiap bulan, berarti hanya Rp 5.000 per pelanggan untuk biaya operasi dan pemeliharaan, itu kan enggak mungkin.

Rasanya kita ingin mendapat penyesuaian harga yang sebenarnya sama teman-teman Pertamina sudah ada persetujuan itu rata-rata se-Indonesia Rp 5.500-5.600 per m3, itu yang kita propose juga ke BPH Migas untuk mendapatkan persetujuan. Kita di Tarakan sekarang Rp 6.300 per m3, mungkin kemahalan, kita juga mau disesuaikan. Artinya untuk masalah harga, bukannya badan usaha ingin mendapat keuntungan dari bisnis jargas ini, tetapi kita ingin supaya bisnis ini paling tidak bisa terus berjalan. Pemerintah sudah investasi mahal-mahal, kalau tidak dipelihara jangan-jangan umurnya cuma 2 tahun habis itu rusak, kan jadi masalah baru.

Apakah nanti jadi lebih mahal dari gas LPG kalau naik jadi Rp 5.600 per m3?
Dengan angka itu masih lebih murah dari LPG 3 kg yang disubsidi, tapi sudah cukup membantu kita untuk mempertahankan operasional jargas agar sustain.

Kalau dibandingkan sama harga LPG yang disubsidi bagaimana?
LPG Subsidi itu sampai ke rumah tangga sekitar Rp 7.000 per kg atau Rp 5.800 per m3. Kalau kita Rp 5.600 per m3, di end user masih kompetitif padahal tidak dapat subsidi.

Tapi Rp 5.600 per m3 ini dengan asumsi harga gas di hulu US$ 4,7/MMBTU?
Iya, kita berasumsi mendapat penugasan dari pemerintah dengan volume alokasi tertentu dan harga tertentu. Harganya berdasarkan peraturan pemerintah sudah disebutkan US$ 4,72 per MMBTU.

Kenyataannya, apakah gas yang didapat PGN untuk rumah tangga harganya di hulu US$ 4,7/MMBTU?
Nah, misalnya di Batam yang baru kita resmikan, walaupun kita belum selesai urusan perjanjian jual-beli gas dengan produsen di hulu, belum dapat gas yang US$ 4,72 per MMBTU, maka pakai gas PGN sendiri yang ambil dari ConocoPhilips sekitar US$ 5 per MMBTU.

Dalam rapat dengan Pak Dirjen Migas (IGN Wiratmaja Puja) makanya tadi saya kemukakan, tolong dibantu. Kita ini kan cuma bisa memastikan pembangunan jargas terlaksana dengan baik dan mengoperasikannya, tapi kita nggak ikut-ikut soal alokasi gasnya. Kita minta tolong Ditjen Migas untuk bisa memfasilitasi.

Harga gas US$ 4,7/MMBTU dan alokasi gasnya sudah ditentukan pemerintah?
Sudah, sudah ada ketentuannya, tapi kan di hulu ada operatornya. Itu yang nanti akan PJBG (Perjanjian Jual Beli Gas) dengan kita.

Alokasi gas untuk rumah tangga di Batam ini dari lapangan mana?
Jambi Merang.

Kenapa PJBG-nya belum ditandatangani?
Dari Jambi Merang itu kan birokrasinya harus ke SKK Migas, dan sebagainya. Makanya tadi kita minta birokrasi-birokrasi itu bisa dibantu dari Ditjen Migas karena ini sebenarnya bukan untuk kepentingan PGN, ini untuk kepentingan masyarakat, harusnya bisa dipercepat.

Sudah ditetapkan sejak kapan alokasi gas dan harganya?
Kalau untuk acuan harganya sudah lama, kalau alokasi gasnya untuk Batam ini ditetapkan dari Jambi Merang setahun kemarin lah.

Untuk jargas yang dibangun dengan dana APBN, biaya operasi dan pemeliharaannya dari APBN juga atau ditanggung PGN?
Kita dapat dana dari penjualan gas ke masyarakat, tapi belum bisa kita manfaatkan sampai sekarang, kita belum berani untuk menggunakannya karena belum ada regulasinya. Seharusnya ini yang nantinya bisa dipakai untuk biaya operasi dan pemeliharaan, buat bayar pasokan gasnya, kira-kira begitu.

Sementara belum ada payung hukumnya bagaimana?
Ya pakai dana PGN sendiri.

Selain dengan pembangunan jaringan pipa, apa ada upaya lain dari PGN untuk memperluas pemanfaatan gas ke rumah tangga?
Selain jargas, ada juga yang non jargas yang enggak harus menggunakan sambungan. Kita kan punya SPBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas), kita ingin utilisasinya ditingkatkan. Kita berikan proposal kepada Ditjen Migas, kita ingin SPBG tidak hanya melayani transportasi, tapi juga mendistribusikan CNG ke industri, komersial, bisa juga untuk rumah tangga.

Kalau pembangunan SPBG, bagaimana rencana ke depannya?
Kita untuk SPBG prioritasnya adalah ingin mengoptimalkan dulu pemanfaatan SPBG ini sehingga utilisasinya meningkat sehingga punya nilai keekonomian. Kalau utilisasinya bisa paling tidak sampai break event saja kita akan terus mengembangkan. Kita akan bawa portofolionya SPBG ini, kita akan coba teman-teman lain bermitra membangun SPBG.

Sementara ini kita limitasi dulu sambil kita merencanakan pusat-pusat SPBG ini nantinya akan ada di mana saja sehingga pemanfaatannya lebih optimal.

Apa saja yang membuat sekarang pemanfaatannya belum optimal?
Kita sekarang lebih terkonsentrasi bahwa pemanfaatan SPBG itu hanya untuk transportasi. Ke depan kita akan coba buat SPBG ini seperti SPBE (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Elpiji), jadi point of sales untuk jaringan distribusi ke end user. Kita sudah punya perangkat-perangkatnya untuk bisa lebih memanfaatkan SPBG. Sekarang ada program LPG untuk nelayan, mungkin nanti bisa dibuat program CNG untuk nelayan. Kan sama saja.

Bagaimana membawa gas CNG dari SPBG ke industri?
Pakai truk juga bisa, pakai moda transportasi yang lebih kecil juga bisa, nggak terlalu sulit. Tapi memang ada spesifikasi khusus untuk pengangkut CNG.

Kalau di Batam ini, CNG bukan hanya untuk transportasi. Misalnya kita melayani untuk shipyard, mereka memotong plat-plat besi pakai CNG, tekanannya sudah bagus. Jadi SPBG itu bisa dipakai selain untuk transportasi, kita lihat market-market baru. (mca/ang)

Hide Ads