Kemunculan produk-produk baru yang memberikan alternatif pada masyarakat ini terkait erat dengan kebijakan subsidi BBM, subsidi elpiji, dan keuangan Pertamina.
Ditemui di Hyatt Regency Hotel Yogyakarta, Wakil Direktur Utama Pertamina, Ahmad Bambang, menjelaskan kepada detikFinance sembari bersantai dan menikmati kopi, Kamis (19/1/2017). Berikut petikannya:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhir Desember saya pelajari laporan keuangan 2014, dari 10 kelompok bisnis marketing, itu 5 merugi. Retail rugi, itu gabungan Premium, Solar, minyak tanah, elpiji, yang masih subsidi semua. Yang non subsidi seperti Pertamax, Pertamax Plus untung tapi secara volume cuma 3%, hanya 900.000 kiloliter (KL), enggak bisa menutup ruginya yang 97%. Kemudian BBM industri rugi yang untuk PLN. Elpiji kerugiannya bablas sampai Rp 4 triliun. Petrokimia juga rugi waktu itu.
Di pemasaran itu yang sudah dikelola Perseroan Terbatas bisnisnya baru pelumas, baru satu anak usaha. Gross profit-nya di pemasaran itu kami rugi US$ 100 juta, banyak rugi.
Saya targetkan di 2015 pemasaran untung (gross profit) US$ 1,410 miliar. Enggak ada yang percaya. Makanya saya naikkan harga elpiji 12 kg. Sempat dimarahi oleh menteri, padahal elpiji yang 12 kg. Masalahnya waktu itu 2 bulan menjelang puasa. Tapi saya jamin waktu puasa enggak naik, saya jelaskan efek inflasinya, yang penting yang elpiji 3 kg yang dampak inflasinya cukup besar enggak naik.
Baru kemudian saya mikir, orang marketing itu karena banyak mengurusnya subsidi akhirnya pikirannya kena kuota, enggak boleh lebih. Kuota Premium sekian, kuota solar sekian, enggak boleh lebih. Saya minta lupakan kuota, enggak ada lagi kitir, enggak ada lagi pembatasan. Bagaimana kalau lebih? Kami keluarkan produk baru, konsumennya dipindah.
Jadi bukan mengendalikan angka konsumsinya tapi memberi alternatif untuk konsumen?
Iya, konsumennya yang dipindah. Makanya kita develop Pertalite, kami luncurkan akhir Juli 2015. Waktu itu sampai akhir 2015, Premium sudah turun dari 97 persen menjadi 86 persen. Pertalite dan Pertamax sudah 14 persen. Pertamax naik hampir 3 kali lipat.
Makin ngebut saya di 2016. Akhir 2016 kemarin, Premium itu (konsumi) sudah tinggal 47 persen. Sisanya Pertalite 33 persen, Pertamax 18 persen, sisanya Pertamax Plus dan Pertamax Turbo.
![]() |
Kalau untuk mengurangi subsidi elpiji bagaimana?
Keluarin lah Bright Gas 5,5 kg. Saya sudah katakan dari awal, sebetulnya banyak orang mampu yang enggak mau pakai gas 3 kg, tapi di rumah enggak ada laki-laki atau laki-lakinya kerja terus jarang di rumah, ibu-ibu gendong gas 12 kg enggak kuat, iya kan?
Target pasar Bright Gas yang kedua adalah orang-orang di apartemen. Makanya kita bikin 5,5 kg kan ringan. Warnanya pink. Tapi kita terhambat oleh penyediaan tabung. Pengusaha tabung gas enggak yakin bahwa Bright Gas 5,5 kg bakal laku. Kalau Kami pakai strategi promosi yang bagus, tabung gasnya dibuat cantik warna pink, ibu-ibu nanti yang bujuk bapak-bapak di rumah.
Kenapa penjualan solar ke PLN masih terus rugi?
Akhir 2015, dari 10 bisnis di pemasaran sudah untung semua kecuali solar untuk PLN. Kalau PLN pakai formula harga seperti tahun sebelumnya, yaitu 111% x MOPS, kami untung.
Pada waktu harga minyak tinggi, PLN tahu bahwa selama ini dizalimi Pertamina dengan harga tinggi. Saya mengerem supaya PLN tidak menuntut yang dulu-dulu. Jadi harganya sekarang 105-107% MOPS. Tapi ruginya enggak banyak karena kita efisien.
Disparitas harga Pertalite dan Premium makin lebar di awal 2017. Bagaimana upaya Pertamina agar penjualan Pertalite dan Pertamax bisa tetap didorong menggantikan Premium?
Keyakinan tetap ada, cuma situasi harus dikendalikan. Situasi saat ini demam media sosial menyerang pemerintah lagi tinggi, apa-apa dipelesetkan. Kami naikkan BBM non subsidi yang sudah biasa, normal saja, dibilang menaikkan BBM. Mahasiswa dipanas-panasi kenapa enggak demo menolak kenaikan BBM, padahal yang naik bukan BBM subsidi. Kami enggak menyangka seperti itu.
Tapi sekarang kami sudah sosialisasi, di SPBU kami pasangi spanduk, di medsos sudah kami mulai tahu. Saya agak mengerem harga Pertalite dan Pertamax, jadi untungnya enggak sesuai target. Keuntungan kotor sesuai Permen (Peraturan Menteri ESDM) kan harusnya 5-10 persen, kemarin Januari harusnya naik Rp 500/liter hanya kita naikkan Rp 300/liter. Tanggal 16 Januari kemarin harusnya naik lagi tapi kami tahan dulu. Jadi untung sekarang sudah di bawah 5 persen.
Kenaikan itu ditahan pada 16 Januari lalu agar perbedaan harga dengan Premium tak makin lebar?
Enggak, pertimbangan situasi saja. Lebih karena kondisi. Begitu situasi sudah reda akan kami sesuaikan. Bagaimana pun Pertamina 100 persen milik negara, artinya representasi pemerintah, kita harus pahami itu, enggak bisa bertindak sebagai bisnis murni.
Apa yang membuat Bapak yakin penjualan Pertalite tetap bisa naik sekarang?
Ini sama dengan 2015, ketika awal kami keluarkan Pertalite selisih harganya dengan Premium Rp 800/liter. Jadi enggak masalah. Secara harga kita juga masih di bawah saat 2015, sekarang Pertalite masih Rp 7.350/liter, dulu Rp 8.400/liter saat launching pertama kali.
Jadi penjualan Pertalite enggak akan turun?
Enggak akan turun. Saya masih yakin harga Rp 8.400/liter itu enggak akan tercapai tahun ini. Kalau naik enggak sampai Rp 8.000/liter. (mca/wdl)