Lika-liku Nasib Pos Indonesia Berkelit dari Kematian

Lika-liku Nasib Pos Indonesia Berkelit dari Kematian

Hendra Kusuma - detikFinance
Kamis, 21 Feb 2019 14:04 WIB
1.

Lika-liku Nasib Pos Indonesia Berkelit dari Kematian

Lika-liku Nasib Pos Indonesia Berkelit dari Kematian
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta - Pada November 2015, Menteri BUMN Rini Soemarno mempercayai Gilarsi Wahyu Setijono menjadi Direktur Utama PT Pos Indonesia (Persero). Pihak Kementerian BUMN memberikan kepercayaan kepada Gilarsi karena diyakini bisa menyehatkan perusahaan yang berada diambang kematian.

Sejak memimpin, Gilarsi pun fokus pada transformasi yang tujuannya menyelamatkan keuangan Pos Indonesia dengan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Pasalnya, sudah lama laporan keuangannya selalu rugi.

Namun, rencana transformasi tersebut tidak berjalan mulus atau tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saat melakukan transformasi, ada oknum yang merasa tersisihkan sehingga terjadi polemik yang membuat transformasi Pos Indonesia lamban.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Puncaknya adalah penundaan pembayaran gaji pegawai Pos Indonesia yang berawal dari aksi demo pada akhir Januari 2019. Buntut dari aksi tersbut membuat jajaran direksi memutuskan untuk menunda pembayaran gaji pegawai.

Namun, tidak lama berselang pihak direksi pun memutuskan untuk membayar gaji para pegawai Pos Indonesia pada minggu pertama bulan Februari 2019.

Gilarsi mengatakan, ada pesan yang ingin disampaikan oleh jajaran direksi kepada seluruh pegawai PT Pos Indonesia dari keputusan penundaaan gaji pegawai. Bahkan dirinya mengaku tidak akan menyerah untuk menyehatkan Pos Indonesia. Apa pesan tersebut? tim detikcom pun berhasil mewawancarai Gilarsi di markasnya.

Selain buka-bukaan soal polemik penundaan gaji pegawai, Gilarsi juga mengungkapkan strategi Pos keluar dari ambang kematian, mimpi Pos Indonesia punya pesawat logistik, hingga awal cerita merintis karis di perusahaan BUMN.

Berikut hasil wawancara tim detikcom bersama Direktur Utama Pos Indonesia:
Sebelum di Pos dulu Bapak sempat di Shafira (perusahaan busana muslimah) lalu Philips, dan Merril Lynch, itu bagaimana ceritanya?
Ketika saya kembali ke Indonesia, memang ada misi untuk menyelamatkan Shafira, saya bersama teman-teman membangun tahun 1989, ketika dalam keadaan yang oleng dan kita sudah punya karyawan cukup banyak, pengrajin cukup banyak, akhirnya pengurus Shafira datang ke rumah saya waktu saya masih di Manila, di Merril Lynch, mereka menyampaikan bahwa masalah yang sudah tidak sanggup lagi, waktu itu saya sudah serahkan teman yang urus Shafira, tapi pada akhirnya ada panggilan hati, siapa lagi yang akan menyelamatkan karyawan, akhirnya saya putuskan pulang tahun 2008 ke awal, alhamdulillan Shafira baik bahkan beranak, dan menjadi bisnis yang cukup signifikan.

Di 2008 mulai menggagas salah satu yang menjadi new driver ekonomi Indonesia adalah menjadikan Indonesia sebagai kiblatnya islamic fashion, munculah inisiatif-inisiatif bahkan kita buat blueprint dan disambut sangat baik, di situ terjadi kenaikan animo masyarakat untuk menggerakan sektor industri ini.

Ketika tahun 2013-2014 sudah saatnya saya serahkan melepaskan diri, dalam arti ya saya masih mengawasi tapi tidak punya rule. Saya melakukan hal lain termasuk otomotif, kita suplai sparepart Daihatsu untuk bodypart, jadi dari situ kemudian berinteraksi kembali dengan teman Indonesia, networknya kembali, sampai muncul tawaran bantulah kita punya BUMN yang perlu disehatkan.

Artinya bapak dipanggil karena reputasi Bapak?
I belive so, setidaknya waktu saya di Philips pun dari saya me-manage sebuah pabrik kecil di Surabaya sampai saya di Asia Pasific kan.

Yang menarik begitu masuk PT Pos malah ada aksi dan yang Desember 2018 bukan yang pertama, apa yang terjadi dengan pegawai Pos ini?
Kita melihat industrinya, apa yang terjadi dengan Pos. Pos itu punya 2 core bisnis, yang pertama adalah good kurir dan kedua adalah penyedia jasa keuangan layanan. Dulu pernah ngerasaian zaman wesel, bagaimana mengirimkan uang, jadi wessel yang available, kemudian muncul ada bank, muncul distruption, bank ini berlanjut melakukan distruption, dengan teknlogi, dengan regulasi. Yang paling berat buat Pos di jasa layanan keuangan itu pada tahun 2014 OJK buat aturan lakupandai, jadi bank itu boleh punya cabang tanpa harus ada bangunan, itu lah yang muncul lakupandai, layanan keuangan tanpa gerai.

Tahun itu tahun yang membuat pola kerja bank bisa mempunyai agen, bisa mempunyai siapa saja yang melakukan layanan terbatas memang tapi layanan bank tanpa invetasi, investasinya hanya deposit, kemauan mereka untuk melakukan layanan, jadilah muncul namanya agen seluruh ada di Indonesia, kalau tadinya layanan keuangan di rule area, bank nggak ada, satu-satunya Pos. Bahkan ketika pemerintah melakukan distribusi jalurnya hanya Pos, itu kemudian yang membuat akhirnya posisi Pos tidak jadi the only player, tapi menjadi one of player sampai ada yang namanya Alfamart, Indomaret, mereka kan juga bisa lakukan layanan pembayaran. Contohnya ada agen BRILink ada di mana-mana, nah itu tahun 2015 penetrasi makin dalam, ekspansi serius, nah bisnis layanan jasa keuangan Pos yang biasanya the only player itu menjadi banyak pesaingnya.

Saat itu Pos terlena?
Ada dua hal, iya kita terlena karena kita tidak menyiapkan diri menjadi semacam startup, bank itu juga terganggu dengan startup fintech. Kalau seandainya Pos sudah bertransformasi menjadi fintech-nya maka situasinya berbeda, tapi iya kita tidak mencoba, kita terdistrupsi tapi diem. Jadi di jasa keuangan itu bank, regulasi, dan teknologi namanya fintech, di fintech yang namanya wesel sudah relatif tergantikan, banyak aplikasi yang bisa mentransfer uang tanpa biaya, apakah Pos bisa? Ya bisa tapi basis kita berbayar, kalau tidak berbayar fixed cost kita siapa yang bayarin?

Saya punya 28.000 orang yang tentu menjadi beban fixed yang tidak ringan juga. Dari sisi jasa layanan keuangan distruption sangat tinggi, yang ini belum selesai, karena fintech juga baru mulai yang usianya relatif muda di Indonesia.

Dari sisi kurir, kita itu kan kurir lebih spesifik lagi infrastruktur kita dibangun untuk surat, untuk kartu pos, tetapi kita tidak membangun infrastruktur kita untuk melayani parsel, paket,. Ini dua hal yang berbeda karena dari sisi cara penanaganannya berbeda, bahkan behavior pasar pun berbeda, kalau surat yang tahu sudah sampai atau tidak yaitu yang kirim, kalau parsel yang menerima karena dia mengeluarkan uangnnya barangnya mana, nah ini dari sisi paradigma berfikir berbeda, teknologi yang dipakai harus berbeda.

Dari teknologi dan infrastruktur kita terlambat iya, bahwa ini hampir terjadi di seluruh industri Post Card di dunia iya, kecuali yang lebih awal bertransformasi adalah Pos German DHL, dibantu dengan Deutschbank mengakuisi sebuah perusahaan yang tadinya kecil DHL, dan dikembangkan menjadi perusahaan logistik nomor 1 di dunia sekarang.

DHL sudah memikirkan hal ini sejak kapan?
Saya pikir, mereka sudah memiliki radar ketika internet masuk ke ranah ini. Mereka sudah melihat surat akan hilang, tetapi kalau barang masih relevan, orang boleh kirim informasi, catatan, transkaski itu lewat internet, tapi barang ini harus dibawa oleh kurir untuk sampai dari pengirim ke penerima. Jadi origin destination masih sangat relevan, logistik itu industri yang Jerman petakan sangat baik, dan sangat fokus membangun itu. Itu salah satu Pos yang berhasil.

Yang lain adalah Jepang, Jepang itu sangat besar di atas 70% pendapatan Posnya dari bank, dari total 24.500-an lebih outlet yang dimiliki, bank itu ada di tetangganya masyarakat, dengan lisensi akhirnya kontribusi Pos Jepang itu bisa membeli utang negara 36% dari utang Jepang, ya memang mereka punya agregat. Di luar itu hampir semua industri Pos strugling, fight, AS lebih parah, di Inggris pun harus split akhirnya yang komersial dengan yang yang universal serice-nya mereka split.

Ketika distruption mulai terjadi ,sejak internet masuk, negara yang relatif memiliki alert cukup tinggi akan ada perubahan. Jauh hari mereka menyiapkan kesehatan posnya, contoh misalnya Pos Australia disuntik tidak kurang US$ 2 miliar untuk menyehatkan Pos Australinya ini, pemerintahnya langsung inervensi, disiapkan untuk bertransformasi, Pos Malaysia juga sama, begitu juga Pos China, Korea, bahkan Korea.

Kalau Pos Indonesia?
Kita memandang dari sisi prioritas, barangkali pemerintah memandang bahwa Pos itu bukan prioritas besar untuk konteks pembangunan Indonesia, dengan jumlah pendapatan negara yang relatif tidak terlalu besar maka prioritas harus dipilih dong, kenapa pendidikan menjadi prioritas paling besar, infrastruktur, bayangkan kalau kita ada pada posisi administrasi negara, maka dengan uang segini mana yang harus saya prioritaskan, maka yang high impact kan, Pos mungkin dilihat tidak yang high impact, kenapa? semua BUMN yang mengerjakan PSO itu hampir memegang monopoli, coba lihat PLN, paling tidak distribusinya siapa, monopoli bukan dalam regulasi, tapi bisa juga by default, siapa yang mau investasi dengan distribusi listrik yang sedemikian masif. Railway (KAI), kemudian Pertamina contohnya.

Nah, Pos ada, tapi menjadi irelevan karena monopoli yang dipegang Pos hanya distribusi perangko, siapa yang butuh perangko sekarang kecuali vilatelis. Kembali pada kurir itu disrupsi sangat signifikan, karena surat yang tadinya andalan, inikan decline, apakah tergantikan elektronik, messenger, yang akibatnya ini menjadi kecil. Jadi letter turun tapi ada berkah, ketika tahun 2012 Indonesia mulai mengerti kebutuhan ecommerce banyak industri yang menyiapkan diri menjadi kurir untuk barang bukan surat, tahun itu yang belum nampak, cuma mulai 2013-2014 ecommerce dengan beberapa marketplace membuat kebutuhan pengiriman barang menjadi signifikan, Pos juga mengalami pertumbuhan cuma tidak sebesar yang kita inginkan karena keterbatasan infrastruktur dan teknologi.

Belum lagi perubahan pola bisnis, pola bisnis yang tadinya kantor Pos yang melayani pabrik, dengan muncul ecommerce, banyak seller online, mereka tidak praktis bawa barang ke kantor Pos kemudian dilayani untuk pengirimanan, mereka minta dijemput.

Di situ PT Pos gagap merespon fenomena?
Betul. Karena kita tidak dipungkiri kita itu lahir dari pendidikan sangat berorientasi kepada public service, dulukan Pak Pos itu PNS, bahkan sekarang juga kita fight bagaimana para pensiunan mendapatkan setara dengan pensiunan PNS, karena memang kita mewarisi itu semua. Sehingga tentu kita tidak dilahirkan sebagai entrepreneur, sementara konteks ecommerce adalah bukan konsumer yang walkin (jalan) ke kita, harus kita yang walkin (jalan) ke konsumer, kita yang jemput bola, kegagapan itu terjadi.

Nah dalam menghadapi kegagapan itu tidak bisa dipungkiri bahwa bisnis kita suffering, kita berada dalam challenge yang luar biasa, kegagapan ini tadi membuat kita agile di dalam berubah.

Kalau kita masih bertahan sampai hari ini banyak hal yang dilakukan, efisiensi cost production, bertahan tapi kita tetap transfrom, karena kalau bertahan tanpa transform akan mati pada akhirnya.

Saya sampaikan tugas berat Pos sekarang bagaimana berkelit dari kematian ini, karena kematian sudah di depan mata. But, bagaimana kita bisa escape, tentu dengan super ketat di cost manajemen itu masih mampu membuat kita bertahan, tapi dengan itu saja tidak selesai, karena kita sendiri harus bertransformasi.

Nah dalam proses transformasi ini, transformasi itu menimbulkan pain-nya, bahkan saya sendiri melakukan sebagai subject juga harus berhadapan dengan pain yang luar biasa, karena biasanya saya sudah relatif menggunakan waktu semacam balancing, antara personal life dengan profesional life ini menjadi relatif bisa balanced, tetapi ketika masuk dunia yang memang harus escape dari death ini maka nggak ada lagi yang namanya life balance, ya think is about work, itu kan pain juga buat saya, buat keluarga, buat orang yang berada di sekitar saya, yang dikit-dikit disapa, diajak ngobrol. Kesempatan meng-coach ke anak muda juga menjadi berkurang, ini baik buat saya yang melakukan transformasi ini maupun apalagi teman-teman yang sudah biasa harus melakukan extraordinary itu pain.

Pain ini tidak semua orang bisa terima, ini bukan pain yang dibuat-buat. Kadang-kadang dibutuhkan banyak model pendekatan untuk membuat kita semua bangun, hey wake up, kalau kita tidak melakukan perbaikan untuk diri kita sendiri, maka kue kita diambil orang dan kita tidak bisa berbuat apa-apa, dan faktanya memang seperti itu sekarang.

Bayangkan yang membedakan kurir kita dengan yang di luar sana, kurir di luar sana kan pengantarnya sudah mitra dari perusahaan, apa yang dilakukan Grab, Go-Jek, kalau mereka nggak kerja, nggak jalan, nggak kejar kostumer mereka nggak dapat duit.

Kalau Pos karena masih pegawai tetap?
Karena masih pegawai tetap masih berbeda, ini membutuhkan ketika kita mengubah dengan tanpa persiapan menjadi yang sangat faithfull

Ketika ditawari ke Pos, langsung terima atau melakukan kajian-kajian dulu, karena ternyata ini yang masuki beda dengan perusahaan sebelumnya, ini hutan belantara betul?
Di dalam diskusi-diskusi awal dengan teman-teman Kemenerian BUMN, saya memang menyampaikan ini di luar area yang saya pahami, karena saya tidak dibesarkan di lingkungan BUMN, sehingga saya menghindar beberapa kali, dengan berbagai reason, tetapi pada akhirnya muncul semacam nurani, "hei terus apa yang anda berikan kepada bangsa ini, toh kamu lahir dari Indonesia, kamu anak yang dibesarkan oleh Indonesia, sekolah juga negeri, SMP, SMA, ITB juga negera, saya juga dibesarkan oleh negara, nah i think.

Jadi ini lebih menjadi tantangan?
Betul, ya jadi panggilan ya sudahlah bismillah saja, walaupun waktu itu istri saya di Jepang, saya dipanggil Bu Menteri menerima surat pengangkatan Dirut PT Pos. Saya telepon istri saya bilang inalillahi wainnailaihi, itu jawaban istri saya karena tahu dia akan kehilangan privilege yang biasanya private life kita menjadi hilang, masuk ke dunia public yang tentu dari sisi responsibility menjadi berbeda.

Kalau dilanjutkan pertanyaanya, apakah saya regret? no, karena Indonesia tetap butuh orang yang berpikir dan bekerja keras untuk mau memulihkan apapun yang dimiliki. Bangsa kita sudah terlalu jauh ketinggalan, dalam dunia Pos kita yang terbelakang, tetapi ini adalah satu represntasi keterbelakangan dari berbagai hal juga.

Dengan berbagai ketertinggalan ini, mengenai persoalan, apa prioritas yang harus dibenahi?
Menurut saya ada 3 hal dalam proses transformasi, pertama culture, karena skillset yang dimiliki Pos di masa lalu bebeda dengan kebutuhan industri sekarang, antara lain kalau bicara culture tidak hanya visi, value, tetapi juga skillset ini butuh perubahan signifikan. Kedua bisnis model, bisnis model kita sudah berbeda dengan masa lalu, di mana yang namanya Go-Jek, Grab bukan kurir tapi faktanya mereka memberikan layanan untuk kurir industri, mereka pemain logistik. Ketiga, tentunya bisnis prosesnya, infrastrukturnya, teknologinya, ini semua mengikuti. Jadi ada tiga poin besar yang memang harus dilakukan secara paralel. Masalahnya kita itu punya window yang sangat sempit, kalau kita punya uang untuk transformasi berapa lama mungkin persoalannya berbeda, windowsnya itu terlalu pendek jadi bagaimana transformasi dijalankan.

Makanya muculah hal-hal yang menjadi friksi, antara comfort zone dengan sesuatu atas dasar necesisitis harus berubah.

Berapa jumlah karyawan?
28.000 orang

Dari 28.000 mungkin tidak dilakukan riset tingkat kesadaran mereka bagaimana, ini sudah berubah, pesaing anda harus jungkir balik untuk mendapatkan kesejahteraan?
Gini, kalau kita memahami konteksnya psikologi masa, tidak semua orang tidak mau mengerti mungkin beberapa, oknum oknum atau apapun, tapi noise yang mereka bawa sangat vokal. Ahirnya munculah spekulasi-spekulasi, apakah kita mau istiqomah dengan stream transformasi sudah lah tidak dipusingkan gangguan, ya sudahlah bagaimana transformasi kita jalankan, sehingga cepat, atau kita pusing dengan hal yang mengganggu ini, akibatnya rencana proses transfomasi kita jalankan dalam waktu yang bisa selesai pendek jadi berkepajangan, itu juga menjadi pilihan yang sulit. Tapi menurut saya, teman-teman yang belum bisa menerima perubahan yang baru harusnya cukup lihat kepentingan teman yang lain, ada 28.000 yang ada di dalam kapal ini, yang tidak boleh kalau tenggelam bersama-sama.

Tingkat kesejahteraan Pak Pos dengan BUMN lain bagaimana?
Saya rasa kita masih dalam posisi bukan lah yang terbaik, karena BUMN yang sudah sehat, banking terutama, Telkom, Pertamina jauh lebih baik, tetapi kita bukan yang terburuk, saya bisa sampaikan bahwa among the view itu yang bayar gaji di depan itu hanya Pos, jadi kita membayar pegawai tetpa kita tanggal 1 untuk bulan yang berjalan.

Itu kebijakan sejak kapan?
Sejak transformasi PNS sampai sekarang kan, terkait forward saja.

Jadi wajar dong kalau kerja seenaknya, toh sudah digaji duluan, berbeda dengan kurir yang lain?
Betul, makanya tidak boleh menyerah kalau kita perlu berubah dan perlu bergerak cepat. Ini tidak boleh mundur semangat untuk mengubah ini harus dipertahankan tidak boleh kalah, tidak boleh menyerah, kalau kita menyerah maka kapal sebesar ini.

SDM yang terganggu ini apakah karena enggan mengubah gaya kerja, atau ada hal lain, yang mereka terusik dengan kehadiran direksi baru?
Kalau semata-mata mengubah ritme kerja itu gangguan ringan, tapi gangguan yang berat bagaimana permintaan saya membuat semua proses menjadi transparan itu agak sulit dipenuhi banyak orang, nah ini mungkin bisa menimbulkan gangguan-gangguan buat mereka yang selama ini nyaman-nyaman saja. tapi saya tidak menduga itu banyak, tidak banyak tapi cukup influencial gitu lha.

Ketidaktransparan ini dalam hal apa saja?
Saya mending tidak usah mengungkapkan itu, karena biarlah itu urusan.. Tapi hal yang ingin saya pandu adalah bagaimana Pos ini menjadi organisasi yang profesional, transparan, saat ini dengan proses yang kita miliki, anda membayangkan, kalau saya deliver lebih banyak dari yang saya colect, apa yang salah?Kalau saya meng-collect 10, tapi mendeliver ke kostumer 12 berarti ada uang yang tidak masuk ke saya, saya itu Pos maksudnya, itu contoh saja, Setransparannya dari sistem yang kita miliki, belum lagi soal berat, di dalam catata saya hanya 10 kg tetapo yang saya deliver itu bisa 15 kg bisa 17 kg , itu hal-hal yang membutuhkan perubahan, karena sudah berlangsung lama sekali.

Publik masih bertanya-tanya, kenapa direksi sampai menunda pembayaran gaji para pegawai? Pelajaran apa yang mau dikasih? apakah karena demo kemarin?
Gini, sebetulnya itu sebuah reminder buat kita semua, bahwa eh jangan lah ketenangan di dalam proses tranformasi diganggu dengan yang nggak-nggak, itu kan persoalan ketidaksantunan di dalam berkomunikasi, di mana pun wujudnya itu premanisme, memaksakan kehendak, menyuarakan ke publik, supaya didengar orang lain padahal itu matternya internal.

Ketika matternya internal, protokol internal, bahkan yang namanya nggak ketemu ada mediasi dengan disnaker apakah itu sudah di exhaust (ceklagi), belum, belum di exhaust habis, bahkan kalau perdebatan kita tidak satu pemahaman dalam hubungan industri ada yang namanya PHE, merekalah yang menengahi, mereka yang memberika kata akhir, eh manajemen elu salah yok lakukan ini, oke. Kita siap dan harus nurut.

Tepat ketika muncul membuat noise akhirnya itu bagaimana transformasi ini kan mengundang orang berinvestasi di kita, baik apakah sifatnya utang bank juga tetap saja investasinya bank ke kita, security meraka kan apakah Pos bisa benar transformasi sesuai yang dijanjikan, ini kan termasuk yang Guys quite please, ketika itu tidak dilakukan kita menunjukan dengan hanya menunda sehari saja itu yang kelabakan banyak, sekian orang itu, bayangkan kalau kita benar-benar tidak bisa bayar gaji, itu kan akan jadi beban kita semua. Jadi reminder lha, yuk semuanya support, kalau memang direksi tidak diinginkan ada mekanismenya, pemegang saham juga pasti akan mengatakan sorry saya give up kalian tidak perform, karian tidak memberikan, kan ada mekanisme itu, tidak diselesaikan dengan mekanisme pengadilan jalanan seperti itu. Nah ini yang lebih kepada reminder, yuk kalau kita bisa selesaikan dengan tatakrama yang lebih baik kenapa harus turun ke jalan seperti itu.

Artinya keuangan Pos sejauh ini baik-baik saja?
Gini, bukannya kita tidak punya masalah, kita punya masalah dengan bisnis yang decline terus, kita mencoba mengejar dengan cost reduction, bahwa bisnis kita iya, tetapi kalau faktor tidak tumbuh signifikan itu menjadi beban buat kita. Harusnya bisnis ini bisa tumbuh signifikan, costnya kita manage sehingga ada profit yang didapat di mana profit itu yang kita gunakan untuk membiayai proses transformasi ini. Jadi bukan kita tidak punya masalah, iya kita puya masalah dengan case yang semakin berat.

Kenapa case itu menjadi berat? di tahun 2014-2015 kita masih menyalurkann dana-dana PKH, bansos yang jumlahnya gede, sehingga setahun ada uang Rp 20-30 triliun untuk disalurkan, yang memang menyalurkan ke pelosok, karena uang ini bercampur dengan uang opersional kita maka tidak merasa case itu masalah buat kita, ada uang yang selalu tertutup. Nah pada saat kita tidak lagi menyalurkan cash, karena pemerintah punya kepentingan mengejar SDGs inklusif keuangan 70% maka mendorong orang yang menerima dana bantuan ini melalui banking sistem konsekuenai logisnya harus ke situ.

Oleh karena itu Pos ditinggalkan, terkalahkan, dengan konteks itu uang cash yang relatif bisa menutupi kebutuhan sehari-hari, walaupun kita sadar bahwa itu, kan dalam waktu relatif 2016-2017 kita itu membalikan uang pemerintah tidak kurang dari Rp 700 miliar, artinya apa yang belum tersalurkan yasudah dikembalikan, itu yang membuat kita tidak mudah. Makanya dalam posisi yang tidak mudah, mbok semuanya sabar, semuanya ini yuk bagaimana saling tolong menolong, jangan dalam keadaan sulit ini jangan diganguin, direcokin dengan segalam macam, jadi saya membuat ini menjadi momen. Kalau hardisk anda sudah terlalu ruwet yasudah di-defrag dulu lha.

Kan Pak Gilarsi punya latar belakang keuangan, tidak melakukan negosiasi ke pemerintah? seperti hampir semuaya diambil bank sehingga Pos tersisihkan?
Gini, Pos ini kan dalam konteks penyaluran dana pada akhirnya bank menyadari tidak dalam kapsitas kan akhirnya ajak kita, kalian kan tidak bisa handle sendiri lho, paling nggak yuk kolaborasi. Ini akhir tahun lalu kita lakukan, tapi bank penasaran mau coba sendiri dulu, ketika mecoba sendiri gagal akhirnya nyolek ke kita juga. Kemudian mulai ada proses, seperti BNI, ya tidak semuanya, yang di kota di handle sendiri tetapi yang di jauh mereka menggunakan pos.

Apalah kita tidak berusaha? Kita melakukan pekerjaan PSO, di mana kita mengoperasikan 2407 kantor Pos PSO, karena costnya jauh lebih besar dari pendapatan yang kita dapat, nah itu sudah beban buat kita. Kedua, kita melakukan di rumah sakit ada kelas 3 yang disubsidi pemerintah atau di kereta api yang kelas ekonomi mendapat subsidi dari pemerintah, di Pos juga ada, paket Pos PSO biaya mengoperasinalkan juga jauh lebih mahal dari tarif yang dibebankan pemerintah kepada mereka, jadi tarif itu yang set pemerintah bukan kita dalam konteks ini kita mengalami defisit yang sangat serius, ini dilemanya gini etika memperbaiki performa kita maka orang semakin suka pakai kita, kalau semakin suka semakin besar (defsitinya) ini dilemanya yang tidak mudah dilakukan.

Yang sedang dilakukan adalah menata ulang, meminta pemerintah dalam hal ini Kominfo yuk lets play fair, dalam artian kalau beban Pos lebih besar dalam artian pemerintah memang berkewajiban dan kita takeover ya ysabarlah sesuai cost yang kita keluarkan. Minimal itu yang kita perjuangkan, kalau dikompensasi sesuai hak nya Pos, kita tidak rugi, kita masih positif bahkan ekstremnya gini kalau 2407 saya pisahkan dari yang komersial maka yang sisanya ini cukup membuat kita profitable.

Saya tinggal di Depok, tetangga saya selain ada JNE, Tiki, ada juga Pos itu seperti apa?
Kalau Pos itu mengutamakan kesabaran, kita mendekati poin-poin yang dibutuhkan masyarkat, bisnis mendekati di mana uang ekonomi konsentrasi tinggi, maka dia membuat posisinya rapat, dalam upaya belakangan mencoba melirik, tetapi kita tidak dalam kapasitas berinvestasi sendiri, ya kemitraan saja, membuka kesempatan dan kita membagi revenue di situ.

Pertumbuhanya bisnis seperti itu bagaiamana?
Cukup baik, bahkan kita rada tertolong dengan yang seperti itu, walaupun tadi sampaikan beban kita PSO semakin berat, kalau tidak disupport seperti ini, sudah lebih parah lagi.

Tahun pertama memimpin telah memaparkan sekian banyak yang akan dilakukan, mana yang berjalan mana tertatih-tatih, mana yang bahkan stagnan?
Dalam dua tahun pertama saya masih sangat fokus untuk bagaimana mensranformasi induk, karena hope-nya induk transform sudahlah kita tidak melihat yang lain, tapi ternyata menstranformasi induk juga keruwetannya sangat tinggi, bukan soal orang, budaya, tapi juga kapasitas kita berinvestasi, mengubah infrastruktur surat ke barang saja itu butuh duit, duitnya dari mana kita bisa peroleh, saya berpikir pemerintah cukup terbuka atas perubahan di PSO, tapi rupanya itu tidak mudah. Dari sisi Kementerian Kominfo punya protokol, kalau UU ngomngnya begini ya harus begini, itu harus diubah sehingga mengalir tidak semua bisa dilakukan. Dua tahun pertama all out sampai akhirnya saya penasaran, rasanya saya nggak goblok goblok memahami situasi, tapi kok bisa buntum sudahlah yuk kita cari konsultan yang bagus untuk membantu kita, untuk mematakan, dan mengkonfimasi yang harus kita lakukan adalah ya begini.

Nah akhirnya dalam penggalan tahun terakhir, setahun setengah saya banyak memberikan fokus untuk transfromasi anak usaha, kebetulan anak juga tidak sehat semua, ada Pos Logistik, BWN ini internet service provider pertama di Indonesia, ketiga Pos Property.

Pos Property somehow ketika saya masuk ada masalah hukum, masalah macam-macam dan sudahlah biar selesai dulu. Tetapi dua ini, kita berhasil sehatkan dengan cakep lha, artinya dari posisi yang negatif, akhirnya menjadi perusahaan yang sangat sehat bahkan sudah mebukukan profit dua-duanya. BWN itu sejak didirikan sampai 2017 tidak pernah profit, 2018 paing tidak membukukan profit Rp 13 miliar, dengan posisi buku yang sehat, ini kita lagi transfor menjadi semacam fintech-nya Pos.

Nah Pos Logistik sama dari perusahaan yang berdarah-darah, banyak kasus, kasus utang tak tertagih sehingga menjadi perusahaan sangat sehat, dan tidak menjadikan Pos sebagai basic revenue, karena Pos Logistik tadinya dibangun untuk mengurus losgistik side dari Pos, Pos Log betul-betul di bawah 30% itu ngurusin Pos, selebihnya komersial, dan kita profitable. Kita melihat cahaya dengan mentransform anak, dengan model bisnis yang dilakukan memisahkan komersil dengan yang PSO, sehingga anaknya tumbuh besar, startup kan berbicaranya gross transaction value (GTV), ketika kita bisa melakukan agregat pertumbuha yang besar, maka dengan mudah mengudah private investor sejauh 51% masih milik Pos kan kendali ada di BUMN.

Jadi upayanya sekarang bagaimana membesarkan anak untuk supaya capable paling tidak mensubsidi induk. Kelihatannya ini sangat promising, dalam satu setengah tahun kecepatannya tinggi, kontrak yang dibangun jauh lebih market like, kebersesuaian, ini yang membuat saya yakin i think we can do this.

Saya lihat di ruangan bapak ada pesawat dengan tulisan Pos Indonesia, saya bayangin seperti DHL, ini kapan kira-kira bisa terwujud impian ini?
Kalau kita melihat betapa sufferingnya Indonesia terhadap biaya logistik yang mahal, kita masih di atas 20-23% dari GDP kita itu terbakar di logistik, logistik itu tidak memberikan nilai tambah apa-apa, memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain. Bagaimana kita bisa menekan biaya itu serendah-rendahnya, kalai 1% GDP bisa kita kurangi berapa ekuivalen Phd yang bisa kita ciptakan, berapa library yang kita bangun untuk anak-anak di tempat di 3T, itu kan valuable sekali, apa yang menginspirasi beberapa bahwa do something good for the country adalah bagaimana Pos bisa menjadi fasilitator menekan biaya logistik itu, bukan hanya persaoalan infrastruktur, tapi lebih jauh ada brain where logistik.

Yang agak terlupakan tidak terbangun dengan baik, di orang. Contohya berapa banyak petani yang menanam akhirnya tidak dibutuhkan oleh pasar. Itu persoalan bukan logistik yang tidak mampu menampung tapi brain where yang tidak berjalan, kenapa petani disuruh menanam yang tidak dibutuhkan pasar, artinya kita selalu terbiasa suplai, wrong, kita harus membalik sekarang demand, kita membuat sesuatu yang memang dibutuhkan, jangan sampai petani kita kerja keras tapi ternyata dibuang-buang, cabai, tomat dibuang, kan menjadi konyol.

Makanya saya masih punya mimpi bahwa Pos akan menjadi brainwhere logistik nasional, Makanya kita memperkuat Pos Log anak, kebetulan memiliki politeknik Pos, Poltek Pos selama ini begitu saja, sekarang kita memberikan fokus tinggi, bahkan kita bekerja sama dengan Poltek luar negeri, dengan Singapura, NUS, ada Melbourne Poltek, yok apa yang bisa kita lakukan membangun kompetensi logistik, itu dari sekolahnya, dari awal kita jejali, bahkan Jerman tertarik membangun capacity building-nya, harus bisa menjadi brainwhere logistik. Yang mahal itu kan kadang kita hanya one way saja, truk dari Jawa ke Jakarta penuh muatan, baliknya kosong. Kapal dari Priok ke Timur baliknya kosong, ini juga persoalan yang fundamental, apa yang memuat NTT berhenti memproduksi jagung. Bahkan kalau ada teknologi yang membantu mereka bisa menjadi kebutuhan pakan ternak di sini, kebutuhan yang lain bisa untuk NTT butuhkan, jadi kapal itu penuh, demikian hal lain.

Salah satu kritik kita, tidak dilibatkannya antropolog dalam pembangunan nasional, coba apa yang yang menjadi alasan orang Papua di sana diajarkan makan nasi, kenapa tidak dipertahankan makan sagu, ubi, dibantu dengan teknologi bagaimana lebih lezat, teste full. Lebih tahan, jangan terus diganti dengan beras, karena harga beras begitu sampai Puncak Wijaya sangat mahal jadinya, karena mereka tidak memproduksi di sana.

Jadi pesawat itu adalah spirit kita, bahwa one day kita menjadi jembatan logistik Indonesia, yang bisa menekan biaya logistik dari yang 20%-23% menjadi mudah-mudahan. Kalau Jepang kan sudah di 11-an% sama-sama negara kepulauan, ya katakan lah bisa di bawah 20% katakan 18%, 5% dari total GDP kita yang Rp 14 ribu triliunan itu erapa coba, berapa banyak Phd yang kita lahirkan dari Rp 700 triliun per tahun, itu kesempatan kita.

Salah satu yang sempat benar nih ketika Pak Gilarsi mengambil porsi kue logistik, kapan bisa diwujudkan?
Kan kita sudah update, Pos Log yang tadinya logistik menjadi trading, dengan menjadi trading logistik maka kita punya kesempatan untuk mengembangkan skenario itu, bukan hanya dari logistiknya saja tapi juga dari penyediaan barangnya juga. Coba bayangkan berapa besar impor Indonesia, dan bukan hanya persoalan siapa yang mengangkiut, jangan-jangan middle man di dalam proses impor itu sangat tinggi, kita masih impor produk untuk bikin pupuk seperti pospat masih.

Pindad juga peluru masih harus impor, karena kapsitas kita tidak cukup, bayangkan kalau hal itu bisa difasilitasi oleh Pos Log, industri 10% dari DHL itu posible tercapai, melalui kendaraan ini. Satu lagi di dalam trending logistik ini bisa mengembang, jika anda konstumer saya tidak hanya bernegoisasi soal harga tapi juga tentang term of payment, bukannya saya bisa dapatkan bisnis itu, dengan itu semua sangat posibble dikejar, know how nya ada, kita harus investasi yang skill set, teknologi, human capital yang jauh lebih progresif, tu yang harus dilakukan, logistik Indonesia 20% masa Rp 8 triliun tidak dapat.

Kapan target mengudaranya?
Mungkin sebelum 2025, paling cepat yah

Jumlah 28.000 karyawan itu tegolong efisien atau kebanyakan? apalagi Pak Gilarsi pernah rekrut 5000-an pegawai?

Itu sebetulnya kasusnya kita kesalahan, kita mempekerjakan orang yang sudah melewati izinya sebagai tenaga kontrak, jadi itu pemutihan sebetulnya, karena kalau tidak kita kesalahan, karena orang sudah bekerja 11 tahun di kontrak terus. Makaya ini yang menjadi rignt mereka kita berikan, apa yang kita perjuangkan yuk kita perjuangkan, makanya ada pengangkatan, jadi bukan kurang atau lebih, kita sekarang ini bahasanya sederhana, kita kurang good people kelebihan bad people, tapi saya telaku sarkas kalau bad people tetapi unfeed dalam kebutuhan skill set yang dibutuhak industrinya.

Kalau di swasta ada penyesuaian kembali, apakah lay off atau seperti apa?
Kalau di private sektor saya lakukan, anda tahu lah, saya banyak lakukan itu, kalau di BUMN sosial cost nya terlalu besar.

Hide Ads