Menurut kami nggak rumit amat sebetulnya, bisnis penerbangan ini kan sudah lama. Nggak bisa juga orang bilang nih 10 tahun terakhir banyak gulung tikar karena kasih tiket termurah. Semua bisnis banyak kok 10 tahun terakhir ngga nentu juga.
Kenapa kami bilang tidak rumit? Karena kami di AirAsia sendiri bisa tuh tawarkan harga tiket terjangkau, sesuai motto kami now everyone can fly. Bahkan kami adalah pihak yang sering suarakan domestik nggak usah ada tarif batas bawah, supaya kita bisa jual semurah mungkin. Kan AirAsia kadang banyak promo murah sampai Rp 0 kadang-kadang. Kita mau stimulate orang mau terbang. The end of the day, volume juga yang nge-drive bisnis kita.
Soal harga mahal itu balik lagi ke masing-masing airlines, mereka kan mungkin berpikir beban pokok operasionalnya, mereka mau jual tiket diatas harga pokoknya itu. Pertanyaannya adalah apakah itu akan diabsorb market atau tidak, sesuatu yang tidak bisa dikontrol siapapun, market punya kebebasan untuk tentukan pilihannya. Saya melihat masyarakat cerdas lah nggak melulu harga jadi pertimbangan utama, tapi mereka liat kualitas operasionalnya, kemanan, on time performance, sampai kemudahan yang diperoleh mulai dari booking sampai dia mendarat di tujuan.
Waktu ribut soal tiket mahal dan diminta turun, AirAsia nggak nurunin tiket, apa karena sudah terlalu murah?
Kami jalankan bussines as usual, kami tidak terpengaruh gonjang-ganjing. Kami sudah punya strategi pricing, ya normal aja lah. Saat peak season masa di mana demand tinggi harga pasti mahal, dan pada musim biasa demandnya rendah, contoh seperti bulan ramadhan demand sedikit turun maka kita jual harga rendah nggak tinggi nanti konsumen nggak mau beli, jadi ya wajar-wajar aja.
Apa yang dilakukan AirAsia ketika memutuskan harga murah, sudah rahasia umum lakukan efisiensi, belum lagi faktor keamanan. Bagaimana seimbangkan keduanya?
Kami tekankan, cost available seat perkilometer kami di bawah US$ 4 sen. Itu Hitungan efisiensinnya penerbangan, itu measurement alias parameter atau indikator untuk ketahui efisiensi airline, cost dia berapa per seat perkilometer. Kami masuknya salah satu terendah bahkan se-Asia Tenggara.
Kenapa rendah? Pertama Karena kami hanya operasikan satu jenis pesawat, Airbus. Dengan itu maintenance makin simple, sparepart jauh lebih sedikit, sertifikat pilot juga khusus untuk Airbuss, meskipun punya kemampuan sama licence pilot Airbuss kan berbeda sama merek lain. Jadi bisa dipangkas, cost kita lebih efisien lah.
Kedua, kami kan AirAsia Indonesia grup besar AirAsia nih, ada 6 negara di Asia, Filipina, Malaysia, Thailand, India, Indonesia, dan Jepang, semua pake Airbus. Dengan kami operaai as a grup economic of scalenya tercapai, misal kita perlu pesawat nih, Indonesia butuh 5 misalnya, Filipina butuh 5, Thailand butuh 5. Kalau sendiri ke airbuss harga akan beda, kalau kita beli bareng sekali pesan banyak, nilai tawar kita bagus.
Lalu terkait masalah procurement karena work as a group volume jadi tercapai kalau mau beli apa-apa, misalnya kita beli software technology karena kita bareng tadi akan jauh lebih murah dibanding investasi sendiri.
Lalu sisi operasional sendiri kami memiliki tinhkat kapabilisasi pesawat yang tinggi. tingkat kapabilisasi kita 12,4 jam per pesawat perhari. Ini akan membantu, karena fix cost kami akan terbagi oleh pembagi yang lebih banyak karena sering digunakan. Karena pesawat ini dipakai nggak dipakai kan bayarnya tetap sama, katakanlah sekian ribu US dollar kami sewa pesawat mau dipakai 1 jam, 10 jam sama aja gitu harganya.
Pesawatnya AirAsia sewa atau beli?
Kebanyakan kita sewa ada beberapa yang kami miliki sesuai dengan UU no 1 2009 maskapai berjadwal nasional harus memiliki juga, sisanya kita sewa. Perbandingannya kalau kondisi sekarang itu 80-20, 80 sewa 20 milik sendiri. Kenapa kita sewa? Karena jauh efisien juga, karna kalau misal ada teknologi baru kita nggak perlu pusing, tinggal balikin dan minta aja jenis baru ke leasernya.
Soal kebijakan tiket murah Selasa, Kamis, Sabtu apakah AirAsia ikut lakukan itu atau malah sudah?
Sebelum dibilang pun kami sudah di rentang yang diminta pemerintah, kan diminta beberapa persen dibawah tarif batas atas tuh. Tapi sebelum diminta pun kami jualnya sudah di situ gitu lho.
Kami mengapresiasi pemerintah untuk kebijakan itu karena memudahkan masyarakat dapat tiket murah. Poin yang mau saya sampaikan justru, tidak perlu sih sebenernya airline itu diatur jual murah, karena kami sudah punya strategi lah. Untuk jam-jam favorit yang demand rendah juga nggak akan mahal.
Misal Jakarta-Denpasar, ramainya kan Jumat Sabtu, Minggu, Senin gitu weekend. Cuma di hari yang demand rendah harganya pasti beda gitu kan, pasti sudah ada hitungannya gitu.
Ada persaingan harga di LCC, apakah itu yang jadi cara AirAsia tentukan harga?
Persaingan memang tidak bisa dihindari, asal sehatlah. Kompetisi itu harus ada, karena kompetisi itu buat kita jauh lebih efisien. Hasilnya konsumen yang diuntungkan, karena akhirnya kami berlomba kasih yang terbaik untuk konsumen. Sehingga customer bisa memilih kami, persaingan harga tidak bisa dihindari ya dan kompetisi adalah hal yang mutlak diperlukan.
Dengan efisiensi dan tiket murah kinerja keuangan AirAsia bagaimana?
Semua bisnis pasti mau untung ya, tadi ada persaingan, konsumen juga makin cerdas hasilnya margin keuntungan makin tipis kan.
Kinerja kami memang 2018 alami kerugian, hal tersebut karena harga minyak dunia tinggi pengaruh ke harga avtur, lalu nilai mata uang juga kan melemah waktu itu sampe Rp 15 ribu. Selain itu demand agak slow banyak kejadian alam yan kurang menguntungkan lah, kayak bencana bencana, yang membuat wisatawan juga takut kesini batalkan berkunjung.
Tapi 2019 kami membaik, kalau Q1 di tahun lalu rugi kita Rp 200 miliar lebih, Q1 ini di bawah Rp 100 miliar. Satu dua minggu dari sekarang akan kita rilis laporan kita, alhamdullilah hasilnya positif. Saya sih optimis tutup tahun dengan laba ya.
Dalam menentukan harga apakah melihat kemampuan finansial masyarakat?
Pasti, misal kami buka rute, siapa saja yg terbang kesana mereka jual berapa, potensi pariwisata, apakah rute ini mix input atau output penumpangnya.
Misal kita buka Lombok ke Perth kemarin, itu marketnya kebanyakan orang dari Perth datang ke Lombok. Lebih banyak input ke Lombok dari pada output ke Perth, berati kita lihat rute ini andalkan input ke Lombok, kita lihat lah daya beli masyarakat Perth sendiri.
Lombok ke Perth kosong dong pesawatnya?
Nggak kosong, tapi loadnya nggak banyak. Orang beli tiket kan ngak cuma one way, tapi roundtrip gitu kan. Lombok ke Perth nggak rame nih 50%, tapi dari Perth ke Lombok 85%, tiga hari kemudian misalnya pada pulang nih jadi ketutup.
Rute mana yang load factor stabil di mana?
Untuk statistik load factor kami rata rata 87%, kuartal pertama tahun lalu cuma 80% naiknya lumayan 7%. Kuartal dua akan sehat, tapi tetap lebih sedikit dari kuartal pertama.