Pemerintah telah menyerahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 12 Februari 2020 lalu.
RUU yang menyatukan 82 UU tersebut dibuat pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan investasi serta penciptaan lapangan kerja.
Namun, beberapa aspek yang tertuang dalam RUU Cipta Kerja tersebut menimbulkan kontroversi, terutama dalam aspek ketenagakerjaan. Hal itu terbukti dengan sejumlah unjuk rasa yang digelar serikat buruh menyuarakan penolakan akan ketentuan baru soal ketenagakerjaan dalan RUU tersebut.
Namun, menurut Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, banyak pasal yang perlu pemahaman lebih dari masyarakat salah satunya soal ketenagakerjaan.
Ida menegaskan, baik aturan baru soal pesangon, jam kerja, upah minimum, mekanisme pekerja kontrak dalam RUU Cipta Kerja dibuat murni untuk meningkatkan kualitas pekerja Indonesia demi mendukung pertumbuhan investasi.
Berikut ini wawancara selengkapnya:
Menaker dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dibalik kontroversi Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja?
RUU Cipta Kerja ini dikoordinasikan Pak Menko. Itu bagian kecil dari RUU Cipta Kerja. Jadi banyak norma yang diatur dalam RUU Cipta Kerja.
Kalau kita menyimak paparan dari para aktivis buruh, kurang lebih ada 5-9 pasal yang mereka persoalkan, yang mungkin mereka menafsirkan dari sisi mereka, tapi kalau dari sisi pemerintah apa maksudnya? Misalnya dari soal pesangon yang sangat merugikan para buruh. Kalau dari latar belakang pembahasan di internal pemerintah sendiri sebetulnya apa penjelasan soal pesangon ini?
Saya mau menjelaskan dulu. Tujuan dari RUU Cipta Kerja ini adalah menumbuhkan peluang usaha untuk pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, melalui kemudahan dan simplikasi perizinan, pemberdayaan UMKM dan koperasi, serta penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan pekerja yang berkelanjutan. Jadi di situ kita ingin pertumbuhan ekonomi kita naik.
Kalau sekarang pertumbuhan ekonomi 5 tahun ini kan stuck di angka 5, jadi ini yang kita harapkan dengan peluang usaha yang masuk. Yang masuk ini maksudnya bisa dari dalam dan luar, maka bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi kita. Dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas itu akan tercipta kesempatan kerja, dan salah satu upaya menumbuhkan ekonomi kita bisa lebih berkualitas juga melalui pemberdayaan UMKM. Dan harus diingat tujuan dari UU ini juga menciptakan kesejahteraan dan perlindungan buat pekerja secara berkelanjutan.
Kalau tujuannya semulia itu tetapi ternyata kalangan aktivis buruh melihat ada sejumlah pasal dinilai merugikan mereka. Misalnya pesangon, itu sebetulnya penjelasan pemerintah seperti apa?
Yang pertama saya mengerti bahwa membaca RUU Cipta Kerja ini tidak mudah. Karena UU ini mengatur UU yang pernah diatur dengan pengaturan baru, menghapus dan mengatur dengan peraturan baru yang ada di Omnibus Law. Jadi memang tidak mudah membacanya. Saya masih mengerti kalau masih ada teman-teman serikat pekerja, serikat buruh yang keberatan dengan beberapa norma dalam UU ini.
Harapan saya, ayo kita duduk bersama. Pemerintah sekarang memfasilitasi dan membentuk tim tripartit yang membahas substansi RUU Cipta Kerja ini. Kemudian kita juga akan melakukan komunikasi publik bersama. Kita juga mengajak teman-teman untuk membahas peraturan pelaksana dalam UU ini. Nanti kan aturan ini banyak sekali memerintahkan dengan lebih detail melalui Peraturan Pemerintah (PP) atau mungkin Peraturan Presiden (Perpres). Untuk membahas PP misalnya, teman-teman kita ajak untuk duduk bersama.
Jadi ruang untuk melakukan perbaikan itu terbuka sekali. Ini kan baru draft RUU, belum menjadi UU. Saya kira ini penting saya sampaikan. Saya memahami kalau ada yang belum paham, saya memahami betul. Dan setelah mengetahui kemudian masih ada hal-hal yang belum sesuai dengan aspirasinya, maka ruangnya juga dibuka.
Dari awal sebelum draft diserahkan ke DPR, setiap yang bermunculan kok disebutnya kami (buruh) tidak diajak bicara?
UU itu kan memang kami harus mengkonsolidasikan. Kami itu Menteri Perekonomian ya, pemerintah. Kami mengkonsolidasikan 11 Kementerian, kami harus mengkonsolidasikan sekian UU. Jadi kami butuh waktu untuk mengkonsolidasikan. Kan nggak mungkin barang belum jadi sudah dilempar ke publik. Malah akan menimbulkan keributan baru. Jadi diselesaikan dulu, setelah selesai kami buka ruang publik, kami berikan ke DPR. Di situlah ruang terbuka.
Saya ingin katakan lagi, ini kan draft RUU. Jadi meskipun begitu, sebelum menjadi draft dalam konteks isu ketenagakerjaan kami mengundang teman-teman serikat pekerja, serikat buruh, kami mengundang teman-teman Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), kami mengundang akademisi, praktisi ketenagakerjaan. Itu sudah kami mulai sejak November, Desember, kita belanja masalah. Kita mendiskusikan. Memang belum menjadi UU, kami masih menginventarisir, belanja masalah lah begitu.
Kita mendiskusikan tentang Upah Minimum (UM), kita mendiskusikan tentang pesangon, waktu kerja, dan seterusnya. Itu sudah kita mulai. Saya tidak tahu apakah ini tidak dianggap sebagai keterbukaan? Memang belum UU, karena kami masih belanja masalah. Sambil mengkonsolidasi antar-Kementerian/Lembaga.
Pemerintah dianggap mengambil belanja masalah dari sisi pengusaha. Dari kalangan buruhnya agak kurang?
Kami punya notulensi setiap rapat. Setiap proses itu pelibatannya tripartit. Ada Apindo yang merepresentasikan para pengusaha, dan teman-teman yang merepresentasikan serikat pekerja. Ada kok notulensinya, semua ada. Bahkan, notulensi pandangan dari para akademisi juga ada.
Kalau serikat pekerja atau buruh sudah diajak bicara kenapa masih ada keributan?
Ya ini demokrasi. Jadi beda pendapat itu kami maknai sebagai dinamika. Yang penting adalah pendapat itu tidak ditutup, itu kami buka.
Salah satu pasal yang dipersoalkan itu pesangon. Kalau di UU nomor 13 tahun 2003 pemberian pesangon bisa sampai lebih dari 30 kali upah bulanan. Sementara yang sekarang jauh lebih sedikit. Apakah dalam pembicaraan waktu belanja masalah ini sempat dibahas?
Ya, pesangon memang jumlahnya tidak sebesar UU 13 tahun 2003. Tetapi yang harus dilihat secara utuh bahwa ada perlindungan baru yang diberikan di UU 13 ini. Kita ingin memberikan kepastian perlindungan.
Kalau selama ini angka pesangon itu tinggi, tapi kan ternyata implementasinya kan tidak setinggi yang di atas kertas. Nah untuk mengurangi kesenjangan itu, kami ingin memberikan kepastian perlindungan dengan manfaat baru, Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Teman-teman yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pekerja yang ter-PHK, mendapatkan cash benefit, mendapatkan pelatihan vokasi, dan mendapatkan akses penempatan. Ini yang tidak diatur.
Saya kira dengan ada ini, kan yang paling penting kenapa dia ter-PHK? Kalau karena persoalan kompetensi, kan vokasi menjadi solusinya. Kemudian yang paling penting justru misalnya akses penempatan itu. Memang kalau dilihat bentuknya tidak fresh money ya. Tapi justru dalam pandangan kami vokasi itu diperlukan juga, termasuk akses penempatan agar dia tidak menganggur.
Apakah pelatihan itu akan lebih banyak untuk pekerja kasar atau pelatihan-pelatihan teknis di vokasi itu?
RUU ini tidak mengaddress kepada pekerja dalam jenis apa. Mereka yang masuk menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan maka berhak mendapatkan manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Tinggal teknisnya seperti apa akan dibahas dalam PP?
Ya, teknisnya akan diatur dalam PP, ada yang diatur dalam Permen.
Salah satu poin yang dipersoalkan, RUU ini dinilai bertujuan untuk mengeksploitasi pekerja dalam aturan jam kerja. Sebetulnya kalau dari visi pemerintah dengan peraturan baru itu seperti apa? Atau aturan baru itu diperuntukkan bagi pekerja jenis apa? Mengenai orang bekerja 4 jam punya hak beristirahat 30 menit? Selama ini kan jam kerja full 8 jam?
Jam kerja itu tidak berbeda dengan UU yang lama. Di sini yang berbeda adalah paling lama 8 jam sehari, 40 jam per minggu. Kenapa menggunakan terminologi paling lama? Ini untuk mengakomodasi jenis pekerjaan yang tidak membutuhkan waktu 8 jam per hari itu. Kan banyak sekarang jenis-jenis pekerjaan baru yang tidak sampai 8 jam.
Banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang ingin bekerja tetapi hanya memiliki waktu 3 jam. Banyak sekali anak-anak millenial kita ini yang tidak mau bekerja dalam satu tempat dan durasinya 8 jam. Ini banyak. Ini kita akomodasi dengan menghitung bagaimana upahnya itu ada perlindungan di dalamnya.
Apakah aturan itu sebenarnya lebih maju dan lebih menguntungkan?
Iya, fleksibilitas. Jadi justru karena harapannya banyak sekali anak-anak millenial, mereka bisa diakomodasi, dan mendapatkan perlindungan.
Lanjut ke halaman berikutnya
Simak Video "Video Menaker Dorong Pengemudi Ojol Punya BPJS Ketenagakerjaan"
[Gambas:Video 20detik]