Balik soal defisit APBN, salah satu sumbernya dari SBN, lalu ada pinjaman bilateral dan multilateral. Soal utang pemerintah kan selalu menjadi isu sensitif, batas aman utang kita ada perubahan tidak di masa pandemi?
Ya pertama konsekuensi jabatan kalau kita bicara tentang APBN ya sebagai Menteri Keuangan konsekuensinya untuk transparan ya kita transparan saja dan tidak perlu menutup-nutupi karena menurut saya itu adalah sikap yang paling baik di dalam pengelolaan dan kalau saya sebutkan juga APBN ini kan ditentukannya seluruh prosesnya transparan, waktu pemerintah sampaikan kebijakan ekonomi dan pokok-pokok kebijakan fiskal itu kita mulai dari ngomong di kabinet, kita omong di DPR, DPR membahas, kita bahas dalam rapat kerja, diputuskan, ada kesimpulan, kemudian kita menyusun nota keuangan, bapak presiden membacakan di sidang paripurna, kemudian kami membahas seluruh komisi di DPR membahas, Badan Anggaran membahasnya, semua dilihat dari sisi belanja masing-masing K/L berapa. Kalau anda lihat semua sesi di DPR mengenai kami menggunakan belanja sekian untuk apa saja, itu dari sisi belanja. Dari sisi penerimaan kita dilihat, ditanya kenapa pajak sekian, penerimaan pajak sekian dan sampai kepada size defisitnya.
Oleh karena itu kita sebutkan dari defisit sekian ini sebagian akan dipakai untuk dibiayai melalui surat utang negara (SUN) dari dalam negeri, luar negeri, dan juga dari pinjaman itu adalah dari bilateral, multilateral dan itu sudah ada di dalam UU APBN, dan setiap kali mengeksekusi kita sampaikan ke publik, tidak ditutup-tutupin tapi kan setiap kali disampaikan ke publik kaya seolah-olah oh kita bikin utang baru, padahal itu ya tidak apa-apa karena memang masyarakat ada yang senang membuat itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Poin saya adalah, sebagai Menteri Keuangan saya akan terus melakukannya secara transparan karena ini adalah uang rakyat, uang kita semuanya. Jadi kita tidak mengatakan oh hanya gara-gara saya diledek-ledek, atau diapa-apakan ya sudah tidak usah daripada tiap bikin ya enggak juga. Itu adalah konsekuensi publik.
Hanya dalam situasi sekarang dalam kriteria kesehatan APBN dan kesehatan utang sama tidak. Nanti kita lihat ya, dari sisi kondisi COVID yang tadi saya sampaikan seluruh dunia alami defisit yang luar biasa, kalau ada negara yang kontraksi ekonominya luar biasa dalam seperti Inggris itu sampai negatif satu tahun bisa mendekati 10% dan defisitnya bisa 15%, artinya dalam 1 tahun dia APBN utangnya nambah 15% dari GDP-nya, coba negara lain seperti Kanada, kurang apa kayanya Kanada, SDA melimpah sama kaya Indonesia, berapa defisit dia bisa 20% dari GDP dalam 1 tahun dia melonjak, Indonesia 6,34% untuk penanganan COVID saja kita pakai 4,2% dari GDP artinya kalau utang kita ada di 30% dari GDP kita mungkin naik ke 36-37% dari GDP dimana 4,2% untuk penanganan COVID sendiri.
Kalau seperti Inggris, Kanada, atau di Eropa itu utangnya sudah di 90% atau 80% dan sekarang nambah 20% atau 15% jadi sudah mendekati 100%. PErtanyaannya sehat? nggak, ya kalau tinggi utangnya pasti tidak sehat. Pertanyaannya kedua, ada pilihannya nggak waktu ini? mungkin tidak ada pilihan karena seluruh negara menghadapi kondisi pilihan ekonominya perlu diselamatkan nggak, masyarakatnya perlu diselamatkan nggak semua jawabannya iya.
Lalu pertanyaannya instrumennya apa ya APBN. Jadi kalau dalam hal ini pertanyaan sekarang APBN kamu mampu berapa banyak untuk menyelamatkan ekonomi dan masyarakat. Nah negara Eropa mampu barangkali defisitnya bisa sampai 15-20%, namun Indonesia tetap hati-hati meski dengan Perppu Nomor 1 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 kita tidak ada lagi yang namanya maksimum tapi kita tetap hati-hati kita hitung, karena kalau kita melihat duitnya keluar banyak dan nanti akan ada ekses, atau sampai ada korupsi pasti rakyat juga akan sangat kecewa.
Jadi kita harus hati-hati, tapi kita tetap kalau APBN dibutuhkan bantu sektor kesehatan, membantu rakyat, harus membantu sosial, usaha kecil ya kita harus melakukan, itu tugas, konsekuensinya harus kita jaga. Tapi tetap kita hati-hati, kriterianya tetap sama walau akan naik dari 30% ke 37% terhadap PDB, walau UU mengatakan utang terhadap GDP maksimum 60% itu tidak berubah, kita masih di bawah tapi itu tidak berarti kita boleh nambah lagi, nggak juga, kita hitung terus berapa nih penerimaan negara dan setiap kali kita menghitung penerimaan negara tambah bahwa saya tahu itu saya akan pungut dari masyarakat dan dunia usaha.
Pertanyaannya, rakyat sama dunia usaha sudah punya kekuatan untuk bayar pajak nggak, wong saya kalau ketemu sama Detik, sama Tempo terimakasih diberikan relaksasi untuk cicilan pajaknya turun, PPN media massa diturunkan, semuanya senang berterima kasih waktu pajak diberikan relaksasi tapi penerimaan negara kurang kan. Jadi kita semuanya harus hati-hati betul melihat semuanya, kita memungutnya dari mana, memungut itu bisa memberikan manfaat dalam bentuk penerimaan negara, tapi saya tahu kondisi masyarakat dan dunia usaha harus tetap dijaga jangan kemudian gara-gara pajak terus kemudian mati, sama seperti kita punya angsa kita langsung sembelih dan tidak bisa bertelur lagi.
Selama WFH kan digital, sementara ada beberapa badan usaha yang sudah dipajaki. Langkah yang diambil Kemenkeu terhadap perusahaan digital?
Kita lihat di sektor produksi yang alami Boom, informasi dan komunikasi masih tumbuh 10% itu pada saat semuanya terkontraksi di kuartal II dan kuartal III, bahkan makanan dan minuman serta akomodasi hotel negatif 22%, manufaktur negatifnya 6%, perdagangan negatif 7%, tapi kalau infokom boom karena semua pindah ke zoom dan yang lain-lain dan kita lihat potensi pajaknya pertama di dalam Perppu Nomor 1 kita bisa memungut pajak dari sisi PPN transaksi, yang dulunya mau lakukan tahun lalu tapi dapat protes, sekarang sudah masuk ya kita pungut semua PPN DJP menginventarisasi semua perusahaan digital dunia yang beroperasi di Indonesia, atau yang punya operasi di Indonesia meski kantornya tidak di Indonesia.
Kita langsung mengatakan anda aktivitasnya seperti ini maka pertama untuk PPN harus mengoleksi pajak, kita memberi kewenangan mereka dan mereka setor ke kita. Itu melakukan dari Spotify, Netflix, Facebook, Google, Apple, Unemait dan itu yang harus kita lakukan. Tapi jangan lupa, kita lihat statistik yang pindah ke digital 9% naik, namun yang tetap non digital masih banyak.
Kemudian jasa kesehatan dan pendidikan itu dianggap dengan SDM makanya jangan dipajaki, mereka minta fasilitas pembebasan pajak, kalau sekarang kesehatan lagi boom kita perlu memikirkan bagaimana yang disebut gotong royong itu berjalan. Jadi kita akan melihat terus, tapi saya tahu setiap mengubah reaksi pasti akan reaksi, nggak ada orang yang senang membayar pajak, tapi ya kita harus melakukan tugas konstitusi, kita tetap melakukan.
Ada juga yang mengatakan Indonesia kaya akan SDA, jadi harusnya itu cukup untuk bayar semuanya. Tapi kita minta semuanya pajak, Bea Cukai, sama PNBP kerjanya bersama-sama, jadi satu perusahaan kita lihat dia harus bayar pajak berapa, untungnya berapa untuk bayar PPh, bayar dividen, atau dia bayar royalti, itu kita lihat bersama, jangan sampai beda. Banyak yang mengatakan hal seperti itu tidak kelihatan tapi ya kita lakukan saja.
Kalau kita koordinasi dengan KPK, banyak terjadi illegal aktivitas di bidang SDA, kita kerjasama dengan KPK dan aparat penegak hukum untuk bisa mengurangi hal tersebut. Itu lah tantangan kita urai dan kita tangani satu demi satu, supaya masyarakat boleh mengatakan coba dilakukan supaya penerimaan naik ya kita lakukan, dan terus kita jelaskan langkahnya apa saja.
Jadi untuk Facebook, Google, Twitter mereka sudah oke?
oh iya sudah untuk PPN ya, kalau untuk PPh ini adalah salah satu yang sedang dinegosiasikan di G20. Ini yang disebut global taxation untuk digital economy di G20 di propose oleh OECD ada 2 pilar cara memajaki perusahaan digital dari sisi pajak digital bukan PPN, ini terus dilakukan tapi bukan berarti kewajiban mereka hilang. Kita lakukan sesuai prinsip perpajakan yang sesuai dengan aturan kita. Namun kita tahu kalau perusahaan itu bergerak secara global mereka akan banding-bandingin saja antar negara, di sini dipajaki berapa, di sana bayar pajak berapa, di mana mereka klaim bayar pajak di sini bukan di situ. Karena bicara seperti Google, Spotify kita tahun head quarternya di mana, ongkosnya berapa, pendapatannya dari mana dan itu harus dihitung secara detil, kamu pendapatannya dari Indonesia berapa, dan seterusnya.