Jurus Bikin Untung Usai 8 Tahun Berdarah-darah

Wawancara Khusus Dirut Krakatau Steel

Jurus Bikin Untung Usai 8 Tahun Berdarah-darah

Aulia Damayanti - detikFinance
Rabu, 29 Sep 2021 12:51 WIB

Bagaimana saat ditawari ke Krakatau Steel dengan kondisi utang yang begitu besar, penyakitnya juga banyak, ya?

Masalahnya, saya nggak tahu kalau utangnya begitu besar. Saya itu kan menjalankan tugas. Pimpinan kan yang paling tahu. Tugas apa yang cocok, Jose Mourinho juga punya Jose Mourinho juga. Kalau dalam hal ini saya ada Pak Menteri. Kalau dulu Bu Menteri, di atasnya ada Presiden. Ya sudah kita nurut aja, mau dikasih apa ya kita jalankan yang terbaik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sempat shock dengan pembukuannya (Krakatau Steel)?

Ya tentu kaget. Kalau saya, kalau masalah utang tidak terlalu kaget. Yang repot itu masalahnya cashflow-nya negatif. Bayar utang pakai utang, bayar gaji pakai utang. Nah makanya saya selalu bilang EBITDA penting, karena itu riil uang yang dihasilkan. Kenapa? Bahkan saya sekarang ini punya program semangat EBITDA harian. Tidak mudah. Paling tidak membawa tim saya itu menjadi fighter, apa yang dilakukan harus menghasilkan uang.

ADVERTISEMENT

Balik lagi, utang gede. Kaget. Apalagi kita hitung tiap hari bertambah utangnya. Hitungan saya bertambah Rp 7 miliar per hari bunganya. Itu anget dong. Kita sudah kompres berkali-kali dong kepala. Kemudian, sampai pada yang paling khawatir itu cashflow karena EBITDA-nya negatif. Jadi lebih susah. Kalau besar EBITDA-nya masih positif, apalagi monopoli, itu relatif lebih mudah. Jadi isunya tidak terlalu banyak. Kalau Krakatau Steel, parameternya terlalu banyak yang harus di-manage, termasuk kebijakan. Kebijakannya berubah, kena ada satu hal misalnya terjadi sesuatu di dunia, harga berubah, pasti kena. Kita harus membuat satu lapangan baru.

Kayak sekarang, klaster yang baja. Saya bikin subholding baja konstruksi. Baru terbentuk 31 Agustus. Saya gabungin perusahaan-perusahaan yang urusannya baja. Dari trading pipa, sibu, besi, beton, dan lain sebagainya. Termasuk hilirisasi, baja ringan, itu semua. Di situ kenapa jadiin satu, supaya lebih optimal. Kedua, dari sisi SDM-nya bisa saling memperkuat, tidak melemahkan. Kemudian, banyak hal bisa kita lakukan dengan nilai tambah. Kalau jualan komoditas harganya sudah komoditas per ton. Berapa sih baja? Posisi HRC 1.000 dolar misalnya, itu sudah ketaker semua harga-harganya. Akan beda kalau misalnya besi betonnya. Misal bikin tower, saya jualan tower misalnya, marginnya lebih banyak. Bikin gudang yang sudah tinggal dipasang seperti Lego. Luasnya berapa, tingginya berapa, bentangan ruangannya berapa, kita itungin pakai software.

Kemudian buat kita pembeli tidak usah beli potongan misalnya tingginya 5 meter, ukuran bajanya 12 meter, kan ada sisanya. Bagi lima-lima jadi 10, sisanya 2 mubazir. Kalau itu customer nggak usah ikut beli. Beli yang udah siap pasang, lebih mahal boleh dong. Tetapi kan dia nyenyak tidur, nggak dibohongin kontraktor. Murah-mahal jadi relatif, nah itu business model.

Soal terkait utang, tanpa background di industri baja dihadapkan dengan setumpuk utang. Bagaimana meyakinkan para kreditur supaya bisa merestrukturisasi utang itu?

Kalau kaitan background bisnis baja atau tidak, kalau posisi CEO itu, teknis itu tinggal 5 persen itu, satu bulan kekejarlah. Yang paling penting itu manajemen, kemudian bagaimana kita mengatur arah. Melihat opportunities dan threats atau challenge. Nah, jadi satu bulan, 'Oh ini masalahnya'. Saya datangi dirut satu-satu yang gede dulu, itu Himbara. Karena waktu itu 65 persen pinjaman dari bank pelat merah. Yang paling gede lagi swasta dari siapa. Basicaly saya datangi semua. Saya bilang 'restrukturisasi' dengan harapan bisa cepat. Tetapi ini ternyata yang terbesar di Indonesia saat itu.

Kemudian 10 bank, ada bank pelat merah, swasta, ada asing. Pendekatannya berbeda-beda. Sementara perjanjian titik-koma harus sama 10-10-nya. Gimana meyakinkannya? Setiap bank berbeda meyakinkannya. Saya menyesuaikan yang bank pemerintah seperti apa, bank asing seperti apa. Kita semua turun. Saya turun, direktur keuangan turun, di working level turun. Itu rapat setiap hari dan itu sangat melelahkan.

Mungkin yang terbesar dari tercepat satu tahun itu selesai. Bahwasanya membutuhkan sekian tahun kita nego bunga, jangka waktu, dan lain sebagainya, itu bagian proses negosiasi, dan bargaining position. Kita itu kan tidak bagus. Saya juga berseloroh juga sih walaupun tidak bagus. Yang lebih takut default itu banknya. Kalau misalnya besar utangnya relatif kecil. Misal bicara mengenai utang kartu kredit yang disebut KTA. Yang datang itu debt collector. Kalau utangnya di atas Rp 10 triliun, yang datang itu direksi bank. Jadi sangat santun datangnya. Nggak gebrak-gebrak meja.

Cuma kadang-kadang itu dimanfaatkan, karena supaya sustain dikasih pinjaman lagi supaya sustain, yang penting muter. Saya nggak mau begitu. Kita udah nih, kita pembayar, kita nggak pernah sesen pun nunggak. Kita minta stainsteel, baru pada cepet. Tadinya kita ngomong negosiasi ini-ini, 'Oh iya iya', tetapi nggak pernah close. Akhirnya kita minta stainsteel. 'Sori nih, kita nggak mau bayar lagi sebelum ini beres". Nah, itu mulai percepatan.

Dan tidak semua bank pengalaman dengan yang namanya kredit korporasi, misalnya mereka ahlinya retail. Kalau bermasalah itu kena rugi-laba harus dicadangkan pendekatan akuntansi. Ya akhirnya cari solusi bagaimana supaya dua-dua bisa jalan. Kita nggak bisa menang-menangan. Bank juga mesti juga agak mundur sedikit. Supaya dicapai suatu kesepakatan. Baru tanda tangan 12 Januari 2020. Saya mulai restrukturisasi surat pertama saya kisaran November-Desember 2018.

Selesai Januari restrukturisasi, Maret pandemi, April PSBB. Nah, itu bagaimana? Itu ibaratnya bertubi-tubi baru napas sedikit, sudah dihajar lagi itu.

Tetapi saya sudah kurangi cost-nya sudah dari 2019. Jadi 2020 cost sudah turun lumayan. Kalau OPEX saja saya turun itu Rp 160 sekian juta dolar, operation cost. Jadi turunnya itu dua koma triliunanlah. Terus kemudian juga market juga kita sudah tempel engagement. Kita kan kalau jualan tidak memperlakukan optimal. Padahal kita perlu memuliakan customer. Saya tidak heran di KS kurang optimal. Karena dulu yang datang pembelinya, mohon-mohon. Kenapa? Sampai reformasi KS itu satu-satunya yang pegang tata niaga, monopoli. Karena kultur monopolinya masih tinggi. Makanya, pas lagi menghadapi market nggak siap. Masih pakai kultur yang lama. Istilahnya masih 'belagu' sama customer.

Kita ubah, saya turun langsung namanya program customer engagement. Datengin teman-teman, kita juga edukasi, 'Bapak kalau impor, modal kerja tinggi, beli lokal, tetapi Bapak bisa ngecer. Kaya beli rokok eceran dua-tiga batang. Tapi kalau beli satu slop, modal kerja banyak. Belum lagi Bapak harus cari gudang. Kalau misalnya rusak bagaimana?'

Jadi mereka hanya melihat unit cost-nya, diadu. Tidak melihat cost secara komprehensif. Mereka mulai berpikir. 'Oh bener juga ya'. Yang tadinya KS 50 persen impor jadi 75 persen. Sudah bagus dong? Nambah. Lalu PPKM atau zaman dulu PSBB. Tutup segala macam. Kita jangan langsung kaget. Kurs bergejolak, orang impor ngeri. Cost-nya jadi tinggi, dia impor jadi buntung. Ini saya masukin pasar. Kita yakini.

Terus kemudian ke luar negeri, banyak pabrik tutup. Nah kita kirim karena ada mix match karena di luar negeri kan lebih cuek. Mereka nggak takut pandemi, nggak pakai masker, gaya hidup normal, kumpul, kongko, otomatis rate-nya tinggi. Banyak pabrik di luar negeri tutup, sementara kita WFH dari sebelum diperintahkan WFH di KS. Orang belum bilang WFH, kita latihan duluan. Kita nggak pernah ngerti video conference. Saya bikin sistem, dijalani sudah pakai aplikasi. Akhirnya kebiasaan itu kita ukur produktivitas. Nggak ada perjalanan dinas, nggak ada biaya-biaya lucu yang nggak perlu.

Saya selalu kumpulin ada town hall meeting. Kalau dalam militer, jam komandan. Itu saya hampir setiap hari ngomong, sebentar saja 15 menit sampai setengah jam, confidence. 'Level harus kita jaga, kita harus lebih kompak, kita harus bisa mengalahkan ini, kita kasih optimisme'. Masuk 2021 lebih bagus lagi alhamdulillah.


Hide Ads