Beberapa waktu yang lalu pasar modal Indonesia begitu riuh. Penyebabnya karena adanya kebijakan baru dari PT Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menutup data kode broker selama jam perdagangan berlangsung.
Banyak investor ritel yang menyayangkan keputusan itu diambil oleh 'wasit' pasar modal tersebut. Sebab, ternyata banyak dari investor ritel yang cenderung memanfaatkan data kode broker saat mengambil keputusan dalam jual-beli saham.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono W. Widodo pun buka-bukaan mengenai kebijakan penutupan kode broker tersebut. Dia menjelaskan mulai dari perilaku investor ritel Indonesia yang saat ini cenderung herding behavior atau hanya ikut-ikutan saja, hingga alasan dan tujuan utama BEI menerapkan kebijakan itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut wawancara lengkap detikcom bersama Laksono tentang penutupan kode broker:
Kebijakan penutupan kode broker disambut hiruk pikuk oleh pelaku pasar, banyak juga suara miring dan penolakan dari pelaku pasar, bagaimana BEI menyikapinya?
Kita sih berusaha untuk back to basic dalam hal ini kami juga melihat kebijakan yang sudah dilakukan di beberapa bursa, mungkin hampir semua bursa yang ada di dunia dan juga melihat dari pattern dari pengambilan keputusan bagi banyak investor ritel. Ini kan investor ritel sekarang semakin banyak ya.
Kami berpendapat bahwa sebaiknya kami juga menerapkan suatu metode di mana proses pengambilan keputusan berinvestasi itu didasarkan atas pengambilan keputusan yang lebih memiliki alasan yang baik itu, yang memiliki alasan fundamental. Dibandingkan dengan hanya melihat apa yang dilakukan atau dibeli dan dijual beberapa broker-broker tentu.
Ini tujuannya sebenarnya ada beberapa hal yang pertama adalah untuk menjaga agar proteksi terhadap para investor sendiri, terutama investor-investor yang baru, yang kecenderungannya karena sudah terbiasa dengan mungkin proses yang selama ini terjadi ya membeli atau menjual hanya berdasarkan melihat kode broker.Kemudian juga alasan-alasannya yang lain adalah untuk menjaga pasar lebih efisien. Karena harapannya dengan adanya penutupan kode broker ini proses pengambilan keputusan ini dapat berjalan dengan lebih baik dan tentunya akan menghasilkan harga atau istilahnya spread harga yang lebih baik.
Baca juga: BEI Tutup Kode Broker, Investor Senang? |
Ketiga adalah walaupun kode broker ini sudah ditutup, namun data-data mengenai apa dan siapa yang dilakukan oleh semua broker di pasar modal kita ini dapat diberikan di akhir hari, yaitu dengan anggota bursa atau broker itu mengakses atau mengunduh informasi yang ada dari kami. Kemudian informasi itu lengkap dan terserah kepada broker masing-masing, atau investor masing-masing ini bagaimana mau memproses atau mau menganalisa data-data perdagangan hari tersebut.
Jadi kami juga tetap menjaga bahwa proses transparansi ini tetap terjadi. Walaupun kode broker tidak kami berikan pada saat terjadinya perdagangan saat jam perdagangan.
Memang seberapa parah kebiasaan ini terjadi di pasar modal Indonesia hingga akhirnya BEI memutuskan menutup kode broker?
Jadi sebenarnya herding behavior itu bukan hal yang baru dan bukan hal yang yang unusual juga. Kalau kita lihat waktu di awal-awal pandemi itu sektor-sektor yang berhubungan dengan kesehatan, dengan farmasitikal, rumah sakit itu mengalami peningkatan yang luar biasa. Ini kan juga sebenarnya herding behavior, karena orang berpikir secara logika bahwa 'Oh kalau misalnya terjadi pandemi tentunya banyak industri yang mengalami penurunan, tapi juga ada industri yang sangat tertolong, karena memang itu hal-hal yang dibutuhkan'.
Demikian juga dengan trend waktu itu sempat terjadi kenaikan harga dari saham-saham yang sifatnya internet of things yang berhubungan dengan e-commerce, itu juga merupakan herding behavior. Tapi ini herding behavior yang menurut kami didasari oleh suatu aspek fundamental.
Kalau kalau herding behavior yang hanya melihat broker a atau b ini menjual atau membeli apa Saya rasa itu suatu herding behavior yang perlu diperbaiki ke depannya. Apakah ini menjadi suatu hal yang parah, saya rasa nggak, tapi inilah bagian dari kami untuk bisa memperbaiki governance ke depannya, baik secara umum maupun terutama untuk para investor ritel.
Kita lihat sendiri ya selama penerapan ini dilakukan pada minggu lalu, tidak ada penurunan dari baik dari segi value transaction, frekuensi maupun jumlah lot atau jumlah lembar saham yang ditransaksikan. Bahkan ada kecenderungan sedikit naik malah dibandingkan dengan rata-rata yang sudah tercipta selama awal tahun sampai dengan awal Desember.
Jadi kalau ditanya apakah ini suatu apa yang masalah yang berat, saya rasa enggak juga, karena investor kita pun, investor ritel pun juga sebagian besar adalah investor yang rasional. Karena kita bisa lihat bahwa memang tidak terjadi penurunan yang signifikan, artinya memang ada pihak-pihak yang tidak setuju, tapi pihak yang memahami dan menyetujui hal ini juga cukup banyak.
Lihat juga video 'Soal Endorse Saham, Komisaris BEI: Kewajiban Moral Influencer':
Lanjut halaman berikutnya.