Saat Keuangan Syariah Loyo di Negara Berpenduduk Muslim Terbesar di Dunia

Wawancara Khusus Direktur Bank Muamalat

Saat Keuangan Syariah Loyo di Negara Berpenduduk Muslim Terbesar di Dunia

Amanda Christabel - detikFinance
Rabu, 06 Agu 2025 07:15 WIB
Direktur Utama Bank Muamalat, Imam Teguh Saptono
Foto: Dok. Bank Muamalat
Jakarta -

Keuangan syariah ternyata masih punya banyak tantangan di Indonesia, meskipun masyarakatnya mayoritas beragama Islam. Isu besar yang masih jadi sorotan antara lain soal inklusivitas dan tingkat literasi perbankan syariah.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025, indeks literasi dan inklusi keuangan syariah masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan keuangan konvensional.

Tercatat, indeks literasi keuangan syariah sebesar 43,42% per 2025. Sementara itu, indeks inklusi keuangan syariah berada di angka 13,41%. Jika dibandingkan dengan indeks keuangan konvensional (metode keberlanjutan), tercatat masing-masing angkanya yakni 66,45% dan 79,71%. Angka ini menunjukkan disparitas yang besar, di negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Soal ini, Direktur Utama Bank Muamalat, Imam Teguh Saptono, mencoba membagikan perspektifnya soal tantangan perbankan syariah. Kepada detikcom, ia juga membagikan buah pikirnya dalam ranah perbankan syariah supaya bisa lebih diterima di masyarakat.

Bank Muamalat ini 'anak sulung' untuk konteks perbankan syariah di Indonesia. Menurut Pak Imam, dinamikanya seperti apa di lapangan, terutama di masyarakat saat ini soal literasi, keuangan syariah, dan inklusinya itu sendiri?

Secara umum memang ada yang menarik ya, kalau di dunia syariah. Karena angka literasi dan angka inklusi itu berbanding terbalik, di mana angka literasi jauh lebih tinggi daripada angka inklusi. Jadi, kondisinya banyak orang yang sudah aware terhadap syariah. Artinya, mungkin muslim sudah tahu bahwa misalkan riba itu haram, dan seterusnya. Tetapi, tingkat penggunaan produk bank syariahnya masih rendah.

ADVERTISEMENT

Nah, ini uniqueness-nya disini. Artinya, komunitas dalam hal ini industri, termasuk pelakunya, termasuk pengawasnya itu sudah berhasil meningkatkan awareness. Tapi gagal untuk mengajak masyarakat untuk menggunakan produknya. Nah, gap ini yang harusnya dicari tahu apa sebabnya. Bisa jadi karena tingkat compatibility daripada produk syariah yang belum memadai, aksesibilitas yang mungkin sulit.

Atau yang berikutnya memang awareness yang dimaksud itu tidak mampu mengubah paradigma. Ini yang harus dicari. Jadi, jangan-jangan memang saat ini awareness yang dimunculkan itu syariah hanya sebagai lingkup produk saja.

Apa sih bedanya syariah dalam konteks lingkup produk dan fitur produk? Dengan konsep syariah dalam artian yang kita deliver itu adalah value dan benefit. Contohnya, kalau kita men-deliver suatu barang ke publik, kemudian apa bedanya syariah dengan yang konvensional, misalkan. Di syariah itu kita tidak mengenal bunga, lantas apa?

Margin bagi hasil. Nah, tatarannya cuma sampai situ. Jadi, yang kita deliver itu adalah komparasi fitur. Pada saat yang kita komparasi dan yang kita deliver itu produk dan fitur produk, maka yang ada di kepala konsumen itu syariah sebagai substitute daripada (bank) konvensional.

Sejauh itu paradigmanya substitute, pada saat syariah itu tidak men-deliver margin kurang dari 5% seperti yang ada di (bank) konvensional, maka dia pindah lagi. Atau 'ngapain juga ke (bank) syariah, kok mirip-mirip aja'. Sementara harusnya kembali ke khittah-nya (landasan) bahwa syariah itu konsepnya yang harus diubah adalah paradigmanya. Jadi, start-nya itu dengan halal-haram, start-nya itu dengan keberkahan dan seterusnya. Nah, kenapa ini tidak dikerjakan atau mungkin miss (terlewat) dikerjakan karena bank syariah maupun bank konvensional masih dikenakan KPI (key performance indicator) yang sama.

Jadi, bagaimana mau bisa membedakan. Kalau dalam konteks yang kita deliver itu adalah tadi mengubah paradigma, sehingga keputusannya adalah transformasi, berubah dari konvensional ke syariah. Untuk mendapatkan satu nasabah mungkin lama, atau mungkin dalam hal tertentu bank syariah harus suffer dengan NIM (nett interest margin) yang mungkin lebih kecil, dan seterusnya. Nah, ini apakah dimungkinkan? Dimungkinkan kalau memang pemilik daripada bank syariah itu sudah memahami bedanya syariah dan konvensional. Sehingga KPI-nya beda, pada saat KPI-nya beda maka ini yang kemudian bisa membuat performance dan attitude dari bank syariah itu berbeda.

Jadi, juga jangan salahkan kalau bilang tidak ada bedanya. Kalau sudah bertransformasi, harapannya awareness dengan inklusi ini akan sejalan. Itu bisa miss karena para banker syariah bekerja sebagaimana layaknya banker konvensional.

Pak Imam menyebutkan soal aksesibilitas yang juga jadi kendala soal literasi di perbankan syariah. Ini juga ada tadi disebut banker syariah bekerja seperti banker konvensional. Ini konkretnya seperti apa?

Kalau aksesibilitas memang kita lihat tingkat presensi bank syariah untuk penetrasi sampai ke daerah-daerah itu masih relatif terbatas. Jumlah kantor cabang dan seterusnya. Tapi itu masih valid untuk remote, tapi kalau untuk kota harusnya digitalisasi sudah selesai. Kalau mahal-murah, kita kembali lihat ke strukturnya, mulai dari skala ekonomi, komposisi DPK-nya (dana pihak ketiga), dan seterusnya itu menyebabkan mahal-murah, bukan haram-halalnya.

Nah, jadi kenapa mahal? Ya karena scale of economics-nya bank syariah belum sebesar bank konvensional. Sehingga cost per transaction-nya pasti lebih mahal karena infrastrukturnya sama, tapi yang satu melayani banyak transaksi, yang satu lebih sedikit.

Kedua, komposisi dana. Kita juga lihat banyak sekali bank-bank syariah yang komposisi CASA (current account saving account)-nya itu jauh di atas perbankan konvensional. Itu karena dikejar KPI yang sama, maka yang penting DPK naik, segala macam begitu.

KPI menjadi penting, kenapa? Sementara kalau di dalam konteks syariah sebenarnya kita mengenal yang namanya maksud syariah, itu adalah alasan kenapa harus diterapkannya syariah. Itu ada 5 parameter yang disepakati oleh para ulama sebagian besar. Pertama, parameter keimanan, kemudian parameter keselamatan jiwa, parameter keselamatan anak-cucu, parameter kecerdasan akal, dan yang terakhir kesejahteraan atau parameter meningkatnya harta.

Kalau kita bicara ke pihak perbankan saat ini, umumnya hanya melihat parameter peningkatan harta seperti NIM, ROA (return on asset), ROE (return on equity), dan seterusnya. Semua larinya kepada profitability. Tapi apakah nasabah yang ber-bank dengan bank syariah itu semakin sadar tentang akidahnya, bayar zakatnya lebih tertib dibanding yang di luar, sedekahnya lebih banyak, wakafnya lebih banyak. Itu tidak pernah dihitung atau dijadikan sebagai parameter keberhasilan.

Kedua, apakah dia (nasabah) menjadi lebih cerdas setelah dia ber-bank syariah, mengenal konsep high risk-high return, mengenal konsep-konsep ekonomi sederhana. Apakah dia mengenal konsep 'there is no cost without production', itu misalkan orang kalau ber-bank syariah itu makin cerdas. Dalam artian, kecerdasan yang biasa sering OJK (Otoritas Jasa Keuangan) campaign gitu, ya. Jangan tertipu investasi bodong, itu sebenarnya dari kalau bank syariah udah jelas.

Kedua, kita tidak mungkin hadir di sebuah bisnis tanpa modal, memangnya ada? Justru di bank syariah yang aktif melakukan edukasi tersebut. Pertanyaannya, ada tidak parameter-parameter yang diterapkan kepada manajemen bank syariah bahwa dia sudah melakukan edukasi yang cukup tinggi.

Ketiga, misalkan keselamatan dari anak-cucunya, anak-cucu itu bicara tentang lingkungan, tentang keberlanjutan. Nah, harusnya bank syariah itu yang paling terdepan bicara tentang green economy. Sekarang, (kenyataannya) tidak karena dipaksakan, atau green economy (dinilai) lebih mahal tapi return kita lebih rendah. So, what? Memang bukankah itu nilainya? Pertanyaannya, ini kita bicara parameter apa? Sehingga akhirnya, dengan parameter yang sama, jadi perilaku bank syariah itu sama dengan perilaku bank konvensional. Jadi letaknya di situ. Harusnya KPI syariah dan KPI konvensional berbeda.

Mungkin harus ada penyesuaian dari regulasi juga?

Betul, jadi berapa jumlah orang yang dientaskan dari kemiskinan, berapa jumlah UMKM yang berhasil kamu entaskan itu harusnya jadi parameternya bank syariah.

Bank Muamalat adalah pionir, sudah dari tahun 1991. Apakah Bank Muamalat sudah bergerak dalam koridor itu dan membawa isu sosial juga dalam konteks perbankan syariah?

Epicentrum dari pemilik memang. Manajemen 'kan lebih ke arah yang disodorkan oleh pemiliknya. Parameter ada seperti itu, maka kita bekerja. Karena nanti kita akan mendapatkan reward and punishment berdasarkan guideline daripada sang pemilik bank. Justru di sinilah letak uniqueness dari Bank Muamalat, karena menjadi bank yang lahir dari amanah umat. Dia bukan bank BUMN, dia juga bukan bank milik konglomerat. Bank Muamalat ini justru lahir dari sebuah pergerakan waktu itu tahun 1991-1992, dicetuskan oleh beberapa ulama dan didukung oleh presiden waktu itu, Pak Soeharto dan 'para jemaah haji'.

Kalau kita lihat pembentukan Bank Muamalat itu adalah pertama, dari setoran saham dari masyarakat, yang waktu itu prospektusnya ada di Harian Republika Rp10.000. Ditambah Rp 10.000 juga saham dari para jemaah haji yang berangkat. Sebenarnya ini adalah sebuah mandat besar dari umat, yang kalau ditanya 'siapa yang paling mungkin menjalankan KPI ini?', dalam konteks ini ya harusnya Bank Muamalat.

Tetapi dalam perjalanannya memang kita lihat dinamikanya. Tapi paling tidak, Bank Muamalat juga adalah bank yang satu-satunya yang tidak menerima rekapitalisasi pada saat Krisis 1998. Itu juga sekaligus menunjukkan komitmen dari para nasabahnya.

Jadi, bayangkan, semua bank itu rekapitalisasi karena negative spread. Jadi, pada saat suku bunga naik ke 20%-25%, bahkan puncaknya di 60% pada saat itu, terpaksa depositonya naik untuk bayar mereka. Income dari banknya turun karena banyak yang macet, bayar depositnya tinggi, sehingga Kerugian besar dan harus rekapitalisasi.

Bagaimana dengan Muamalat? Tidak. Pada saat bank income-nya turun, maka margin deposito, margin tabungan pada saat itu ikut turun, bahkan nol. Itu tidak terjadi di bank lain, di mana kemudian terjadi rush. Di Muamalat tidak terjadi rush karena spirit waktu awal pendiriannya yang luar biasa. Nah, ini harusnya menjadi modal besar dari Muamalat untuk kembali ke khittah (landasan)-nya sebagai bank milik umat.

Tapi dalam perjalanannya, namanya umat, pada saat bank ini bertumbuh butuh kesadaran pada saat 'ayo tambah modal lagi'. Kita harus berbicara dengan 300 ribu orang lebih, mungkin sekarang berapa jumlah saham publik? Yang tidak reconcile saja 300 ribu orang (pemilik saham). Yang 150 ribuan orang (pemegang saham) pun juga reconcile oleh pengadilan. Kenapa sih Bank Muamalat tidak listing? Salah satunya itu aspek reconcile. Pada saat reconcile, tingkat responsnya itu 3% pada saat kita umumkan ke media.

Memang harus kita akui, kultur bank sebagai bank, tidak dalam konteks keumatannya ini agak sedikit terlupakan. Kalau ditanya ini adalah momentum untuk kembali, ya mungkin 'dijewer' sama Allah. Ini kinerjanya kemarin cukup challenging, sehingga ini waktunya kita kembali ke khittah. Jadi, kalau ditanya pesan apa yang ingin saya jalankan: mengembalikan bank ini ke khittah. Karena pada saat masyarakat ikut urunan dalam modal Bank Muamalat pada 1991-1992, saat itu Undang-Undang Wakaf belum terbit. Undang-Undang Wakaf itu baru terbit tahun 2004. Sejatinya, Indonesia ini sudah memiliki bank wakaf sejak tahun 1992, dimana modalnya itu berasal dari sumbangan umat.

Kalau itu saja sudah didudukkan sebagai bank wakaf, harusnya pada saat itu manajemen sudah menyadari bahwa kalau namanya wakaf, keuntungannya itu kembali kepada umat. Nah, ini yang kemudian mungkin sempat lupa beberapa tahun yang terlewati. Kalau itu kita kembalikan lagi spirit-nya sebagai bank wakaf, ini kembali.

Ada cita-cita Asta Cita-nya Pak Prabowo, saat kampanye beliau menyampaikan bahwa perlunya Indonesia memiliki bank wakaf skala nasional. Asta Cita nomor 3 poin 15. Ini artinya, harusnya Bank Muamalat Itu menjawab Asta Cita-nya Pemerintahan Prabowo saat ini. Kembalikan Muamalat sebagai bank wakaf. Ini justru juga semakin menguatkan tujuan pembiayaan, parameter, dan menariknya lagi saat ini dimiliki kembali oleh BPKH (Badan Penyelenggara Keuangan Haji), yang notabene membawa atau menjalankan misi uang haji umat.

Kalau saya melihatnya ini sesuatu yang kayaknya tidak sengaja, tetapi kalau ditarik benang merahnya kayaknya alam semesta ini akan mengembalikan kembali. Tiba-tiba Pak Prabowo mengeluarkan Asta Cita perlunya Indonesia memiliki Bank Wakaf. Banyak aset-aset wakaf yang nilainya luar biasa itu tidak mendapatkan akses terhadap sumber dana formal.

Berapa total aset wakaf di Indonesia saat ini?

Kalau wakafnya sendiri 'kan saat ini untuk tanah, belum tercatat semua, itu 55 ribu hektare (Ha) tanah wakaf, dimana 10%-nya itu ada di kota/provinsi, kita sebutnya ring satu. Kenapa 55 ribu Ha, ya Karena yang didaftarkan itu baru 55 ribu Ha. Kalau ditanya kenapa tidak didaftarkan semua? Karena kalau sudah tidak didaftarkan, itu tidak bisa akses terhadap sumber dana bank. Jadi, pada saat tanah wakaf itu sudah didaftarkan, dia tidak bisa dijadikan jaminan, tidak bisa dijadikan kolateral.

Kalau diuangkan 55 ribu hektare ini berapa?

Kalau dibuat satu meternya Rp 500 ribu, maka ketemu Rp 2 ribu triliun. Itu underutilized karena tidak memiliki akses terhadap sumber dana formal. Bank tidak bisa kasih financing meskipun lokasinya bagus dan seterusnya, karena tidak bisa dijaminkan. Yang salah itu bukan tanah wakafnya, berarti yang salah itu sistem perbankannya. Jadi, dibutuhkan sistem perbankan atau sistem keuangan baru yang harusnya mampu mengutilisasi ekonomi umat tadi.

Ini 55 ribu hektare per tahun?

Per tahun ini dengan pertumbuhan 6%-7% per tahun. Jadi, tidak statis, bertambah terus tanah wakaf itu.

Saat ini digunakan buat apa?

Sebagian besar kita ,nyebutnya sebagai 3M: masjid/musola, madrasah, dan makam. Tapi pertanyaan berikutnya apakah kemudian harus seperti itu? Apakah madrasah atau masjid tidak bisa dibangun di office tower? Bisa, justru kalau kita tengok ke Singapura, itu tanah wakaf masjid tradisional itu diruntuhkan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan restacking, sehingga tanah yang tadinya masjid satu lantai, dibangun apartment atau office tower, kemudian masjid dibangun lagi dengan jumlah luasan lantai yang lebih besar. Bertingkat dan seterusnya.

Income masjid yang tadinya hanya dari jemaah kotak itu, berubah menjadi income sewa apartment dan sewa office tower. Sehingga keuntungan dari penerima manfaatnya semakin besar. Dulu masjid itu justru minta sumbangan, sekarang masjid yang memberikan sumbangan, karena dia mendapatkan income.

Pertanyaannya, berapa banyak masjid-masjid yang memiliki lokasi strategis? Nah, itu kenapa tidak bisa karena literasi dari nazir-nya. Kedua, bank tidak bisa mengakses. Karena pertanyaannya, nanti kalau (pembayarannya) macet, harus dijual. Sedangkan tanah wakaf itu tidak boleh dijual. Jadi, sebenarnya yang salah itu adalah mekanisme di banknya, bahwa kalau macet itu harus diselesaikan dengan penjualan. Oleh karenanya harus dibuat bank yang sifatnya khusus, karena tidak semua masalah macet (pembayaran) itu harus dengan penjualan. Bisa saja dengan memanjangkan durasinya, kemudian bank menjadi bagian dari pemilik kemanfaatan tanahnya.

Nah, itulah yang melahirkan Asta Cita-nya Pak Prabowo. Cuma sampai sekarang belum dijawab, sudah berapa ratus hari. Janjinya 'kan 100 hari, bahkan road map-nya belum dijawab. Yang paling mudah melihatnya saja itu tanah wakaf yang ada di sampingnya Thamrin City. Itu tanah wakaf itu jumlahnya masih ada 4 Ha, strategis lagi itu.

Waktu saya selama saya off dari industri perbankan, saya masuk dunia perwakafan, masuk di BWI (Badan Wakaf Indonesia) waktu itu jadi Wakil Ketua BWI. BWI sudah pernah melakukan appraisal Dengan menunjuk Clayton dari Singapura, tanah wakaf yang di samping Thamrin City nilainya Rp 4 triliun. Itu hanya dipakai untuk sewa pasar tasik, parkir truk, kemudian ada masjid, ada madrasahnya, ada lapangan bola, lapangan bermain anak-anak. Itu nilai income-nya per tahun tidak lebih dari Rp 3 miliar sampai 5 miliar per tahun di atas tanah yang nilainya Rp 4 triliun. Nah, itu 'kan nilai ekonomisnya tidak match.

Kalau itu dibangun misalkan multifunction, ada sekolah yang bagus, mungkin ada rumah sakit, mungkin ada office tower, dan seterusnya maka income-nya bisa berkali-kali lipat karena berada di tanah yang Rp 4 triliun. Nah, itu tidak bisa akses sumber permodalan, ini yang mungkin nanti ya kalau ditanya bank wakaf itu kemana? Ya, berarti kita menghimpun dana-dana wakaf masyarakat untuk disalurkan untuk pengembangan aset-aset wakaf. KPI-nya pastinya tidak bisa menggunakan KPI bank konvensional. Karena tadi kalau ada yang macet, kita tidak bisa menjual, tapi kita bisa mengklaim manfaatnya sama dengan lunas. Setelah lunas, kembalikan lagi kepada nazir, itu pengelola aset wakafnya.


Jadi, ada gap antara regulasi yang tidak match kemudian diterapkan dengan bank syariah. Apakah para regulator menerapkan KPI-KPI yang tadi Bapak sebutkan untuk bank syariah ini melibatkan teman-teman dari perbankan syariah untuk bisa menghasilkan regulasi yang memang relevan?

Memang harus ada misalnya dialog antara islamic scholars, kemudian pemerintah, kemudian masyarakat atau umat. Di kita pun juga memang harus diakui ada perbedaan pendekatan antara apa yang terjadi di Malaysia dengan di Indonesia. Malaysia itu market share bank syariah sudah di atas 40%. Sementara kita baru 7%, masih single digit. Padahal gap lahirnya Bank Muamalat dengan lahirnya bank islam di Malaysia itu hanya 9 tahun. Memang Malaysia lebih dulu tapi hanya 9 tahun.

Tapi dampaknya Malaysia sudah 40% market share-nya. Yang membedakan di Malaysia itu government led driven. Nah, government led driven pasti lebih cerdas, pasti lebih punya dampak, punya power. Jadi, kalau buat keputusan, ya harus dilaksanakan. Masalah masyarakat masih tidak mengerti atau enggak, karena peraturannya keluar, lama-lama ngerti gitu. Itu tidak nunggu kesepakatan. Nah, sementara di kita, ekonomi syariah itu dari sejak lahirnya itu sifatnya adalah community driven, yang lahir dari bawah.

Karena waktu itu bahkan Bank Muamalat itu berdiri sebelum undang-undang perbankan syariah berdiri. Nah, kebalikan, di Malaysia itu government yang jadi driver-nya. Ya termasuk juga komisi fatwanya adanya di bank sentral. Jadi, kalau ditanya lebih komando, memang lebih komando di Malaysia. Tapi berdampak, mungkin 'lebih rapi' karena seperti itu.

Mungkin juga saya ambil contoh Singapura. Di kita yang muslimnya jauh lebih banyak, sementara Singapura itu populasi muslim yang menjadi ASN jumlahnya tidak lebih dari 25%. Tetapi Singapura memiliki undang-undang zakat dan wakaf wajib bagi ASN yang beragama muslim di Singapura. Di sana wakaf itu mandatory (wajib). Secara kaedah hukumnya sunnah, tetapi dengan peraturan pemerintah di Singapura, dibuat menjadi mandatory. Sebenarnya Pak Prabowo kemarin sudah memancing, nih. Cuma sepertinya belum dijawab. Indonesia kayaknya butuh bank wakaf skala nasional.

Tapi menurut Pak Imam, apa yang menyebabkan bank wakaf ini tidak jadi top of mind dari para pembantu presiden sampai saat ini?

Di negara ini baru akan 'manis' itu kalau ada uangnya. Jadi, kalau ditanya kenapa? Ya, karena belum ada uangnya. Kasarnya begini, kapan zakat itu mulai ribut (diperbincangkan)? Pada saat pengumpulan zakat itu sudah mulai besar. Jadi pada saat zakat sudah mulai menyentuh Rp 1 triliun, Rp 2 triliun, Rp 3 triliun baru ramai. Baru dilirik, barulah bicara ekonomi zakat dan seterusnya. Ya, tadi zakat kan sekarang sudah menuju Rp 4 triliun baru ramai, baru wakil rakyat udah mulai melihat dan seterusnya.

Tapi kembali kalau model kayak gini tuh selalu lahirnya itu lebih karena interest yang tidak sincere. Bagusnya memang ditata sebelum itu besar. Ini yang kalau ditanya kenapa, ya tadi, peraturan wakafnya saja baru muncul 2004, kemudian adem lagi dan tidak ada yang mau memulai. Karena capek, tingkat literasi masih rendah, dan seterusnya. Tapi kalau kita tidak memulai, ya sayang gitu. Sementara negara lain sudah begitu advance. Bahkan kalau kita sekarang lari ke Kuwait, semua strategi perumahan rakyat, apartemen-apartemen itu semuanya berdiri di atas tanah wakaf. Nah ini juga konsepnya kuwait itu di atas tanah wakaf semua gitu ya. Sebenarnya sederhana, itu juga simple.

Apa yang menyebabkan itu? Undang-undang negara maju manapun itu menyebutkan bahwa negara itu memiliki kewajiban memberi fasilitas perumahan. Bukan memberikan rumah, loh. Fasilitas perumahan. Jadi memang negara itu harus menyediakan tempat tinggal yang layak. Tapi bukan membelikan rumah. Karena rumah itu memang seumur-umur tidak pernah dimiliki. Tapi dia berhak tinggal sampai dia meninggal, ya kemudian diganti orang penduduk yang baru lagi dan seterusnya. Konsep ini identik dengan konsep wakaf. Itulah sebabnya di negara-negara islam yang lain yang namanya perumahan rakyat, nol DP, masyarakat masuk tinggal bayar sewa. Itu umumnya berdirinya di atas tanah wakaf.

Itu sebenarnya possible ya untuk dilakukan?

Sangat mungkin. Cuma begitu saya lontarkan ini, yang berikutnya adalah ini urusan mental. Mental Konoha. Kalau saya dikasih apartemen, berarti saya tidak pernah punya rumah. Punya rumah buat apa? Nanti saya buat anak istri. Kedua, orang kita itu karena mungkin sudah lama miskin, pengin punya. Jadi kepunyaan itu adalah sebuah sesuatu yang dia tuntut. Padahal yang namanya rumah itu tempat tidur layak, bersih, segala macam sudah selesai. Karena pada saat kamu meninggal juga tidak akan dibawa. Nah ini yang kenapa kemudian akhirnya isu mengenai perumahan di Indonesia itu menjadi mahal.

Karena selalu dimulai dengan pembebasan lahan. Kemudian rumah itu harus menjadi milik, sehingga pemerintah harus menyiapkan FLPP khusus. Supaya ujungnya adalah rakyat bisa memiliki rumah. Harusnya yang dipikir supaya rakyat bisa mendapatkan fasilitas tinggal. Itu jauh bisa lebih murah, menghemat APBN tinggi sekali. Apalagi kalau sudah itu bisa berdiri atas tanah wakaf, meskipun tidak ada pembebasan tanah wakaf dan kemanfaatannya malah tinggi. Jadi, dengan investasi yang sedikit saja urusan sosial itu muncul.

Di sinilah nanti peran bank wakaf itu. Jadi, bank wakaf itu memberikan pembiayaan apartemen-apartemen wakaf, dan selanjutnya masyarakat juga diedukasi. Diedukasi itu jangan kemudian mengatakan bahwa saya harus punya rumah. Anda tinggal di rumah, kualitas hidup meningkat, silakan menikmati kehidupan.

Tadi dengan aset 55 ribu hektare tanah wakaf ini, apakah ada koordinasi dari regulator ke pihak perbankan syariah soal kolaborasi untuk pemanfaatan tanah wakaf?

Secara parsial, terus terang beberapa instansi itu sudah. Tetapi tidak ada sang 'penjahitnya', nih. Contohnya Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), karena di dalam undang-undang Tapera sudah dibuka bahwa sumber dana Tapera itu bisa berasal dari donasi. Jadi Tapera itu boleh menghimpun dana wakaf pada dasarnya, tinggal mencari aset wakaf. Kemudian berikutnya ke Kementerian PUPR itu juga sudah keluar yang namanya sertifikat kepemilikan gedung rumah susun. Itu bisa dikeluarkan di atas tanah wakaf. Dimana itu memang tidak pernah jadi milik. Jadi memang tadi dia memiliki sewa saja, hak konsesi sewa. Dia tidak akan pernah jadi milik.

Tapi itu tidak bisa ditanggapi secara optimal. Karena begitu ke bank, ini bukan kepemilikan, ini hanya berputar saja. Jadi makanya saya bilang yang 'jahit'-nya nggak ada. Jadi PUPR sudah mencoba membuat terobosan dengan dia bisa mengeluarkan sertifikat susun di atas tanah wakaf. Dia tidak akan pernah bisa menjadi milik. Tetapi dengan hak sewa itu, kalau dia punya anak itu bisa diwariskan. Dan umurnya pun juga cukup panjang, 60 tahun.

Pak Imam, ini masih soal inklusi, bagaimana strategi Bank Muamalat bergerak ke daerah 3T, sejauh ini sudah seperti apa?

Nah, kalau dalam konteks jumlah sebaran cabang, kita sudah ada di semua provinsi. Kedua, memang kalau dari titik penetrasi dengan kemampuan yang terbatas, mungkin kita hanya relatif ada di kota/provinsi sudah pasti. Kalau kota/kabupaten pun hanya beberapa, tidak semua. Sisanya itu kami coba raih dengan digitalisasi. Saat ini memang satu sisi kita terbatas dalam konteks iklan above the line-nya. Karena masih puasa dulu, deh. Tapi kalau dari sisi penetrasi itu sudah cukup tinggi. Pengguna Mobile Banking kita namanya MDIN itu jumlahnya sudah 570-an ribu pengguna MDIN. Dengan tingkat transaksi per tahun itu sudah Rp 17,1 triliun transaksi yang melalui Mobile Banking di Bank Muamalat.

Sebaran wilayahnya terbaca nggak sih Pak untuk yang mengakses MDIN?

Memang masih kota besar dan berikutnya juga pasti mayoritas adalah Gen Z sampai dengan milenial. Jadi, kalau ditanya trend ke depan ya memang kita cenderung tidak lagi menambah jumlah cabang terlalu agresif. Karena ke depan sudah bisa kita lakukan melalui mobile banking.

Ada pun kehadiran fisik, kita lakukan dengan mitra. Baru saja di bulan lalu kita jalin kerja sama dengan PT Pos Indonesia. Karena PT Pos Indonesia itu sudah memiliki 4 ribu lebih outlet di seluruh Indonesia. Sehingga buka rekening, tarik setor, bahkan daftar haji itu sudah bisa dilakukan di PT Pos Indonesia untuk kepentingan nasabah Bank Muamalat.

Nah, ini kalau di daerah 3T ini bahkan ada yang masih unbanked, belum tersentuh fasilitas perbankan. Tadi Pak Imam bilang tidak akan terlalu masif untuk penyebaran kantor cabang, dan lebih ke arah digitalisasi. Tapi kira-kira memungkinkan tidak sih, Pak? Sedangkan di kawasan 3T ini mereka bahkan hampir belum bersentuhan dengan perbankan.

Itu tadi, kita coba melalui kerjasama dengan mitra, dengan PT Pos Indonesia. Sehingga kalau teman-teman datang ke PT Pos Indonesia, itu ibaratnya sudah ketemu dengan customer service dari Bank Muamalat. Dia bisa buka rekening, bisa tarik setor, bisa buka tabungan, bisa macam-macam. Ke depan kita akan sinerginya dengan lembaga-lembaga seperti PT Pos Indonesia. Kemudian mungkin pegadaian kita juga coba jajaki. Nah, sehingga strateginya tadi kita tidak hadir dalam artian fisik. Tetapi layanan, kemudian produk itu bisa dirasakan oleh customer di pelosok tadi. Dengan kualitas yang kurang lebih sama. Sementara itu, dari yang sudah ada di kota-kota besar, ini perlahan kita shifting seluruhnya menjadi digital.

Daerah sebarannya mungkin ada target yang memang lagi disasar? Atau memang sekalian mau penetrasi soal perbankan syariah di daerah tersebut?

Secara spesifik belum. Tetapi memang kontribusi terbesar saat ini memang masih kawasan Jawa, Sumatera. Kita sekarang mulai menyasar ke wilayah Timur.

Kalau di daerah Timur Indonesia bisa kita bilang banyak, makin beragam. Tidak umat muslim saja yang mungkin mendominasi di sana. Memungkinkankah Bank Muamalat ini juga bisa diserap, digunakan, dan bahkan familiar buat nasabah non-muslim?

Sangat mungkin. Bahkan product preposition yang ada di Bank Muamalat khususnya dan perbankan syariah secara umum, itu kan sifatnya adalah fitrah. Misalkan, terkait tentang fairness atau keadilan. Saya paling mudah itu dari produk yang sederhana dulu deh, KPR (kredit perumahan rakyat). KPR kalau di bank syariah, kita menyebutnya dengan akad jual beli. Nah KPR itu, yang kita maksud dengan akad jual beli, itu nasabah setelah ketemu dengan rumahnya, kita paling gampang lah, supaya ngitungnya nggak susah, anggaplah marginnya 10%, meskipun tinggi banget, 10% flat.

Si nasabah itu pinjam selama 10 tahun. Pada saat kita rumahnya itu Rp 500 juta, kemudian baru akan lunas 10 tahun, maka kita lepas harga jualnya Rp 1 miliar. Karena tadi asumsinya 10% marginnya flat, jadi kita jual Rp 1 miliar. Maka orang tersebut jual beli dengan bank senilai Rp 1 miliar. Kemudian dicicil selama 10 tahun, ya 120 bulan. Sejak dari awal si nasabah itu kalau ditanya, kamu beli rumah berapa? Rp 1 miliar, tinggal dicicil fix gitu ya.

Nah, kemudian bank konvensional, sama nih rumah Rp 500 juta, tapi dalam konteks pembiayaan dan menggunakan bunga. Anggaplah, bunganya 3 tahun fix, karena tidak ada bank konvensional yang bunyanya fix. Tapi fix-nya biasanya 3 tahun atau 2 tahun, itu dipakai buat gimmick saja. Berikutnya floating. Sehingga pada saat ditanya, habis selesai tanda tangan, beli rumah berapa harganya? Tidak ada yang tahu. Bisa di atas Rp 1 miliar, bisa kurang Rp 1 miliar. Jadi dia bertransaksi atas sesuatu yang tidak jelas. Itu contoh keadilan. Itu berlaku, mau itu dia katolik atau agama lain. Jadi ini lebih fair ya, lebih adil ya. Bank syariah itu mengandung nilai-nilai yang harusnya berlaku buat semuanya.

Bank Muamalat ada target bisnis apa dalam waktu dekat?

Memang saat ini kita lagi kalau target bisnis Bank Muamalat ini shifting. Shifting yang tadinya semula didominasi oleh segmen korporasi, kita kali ini shifting ke retail dan consumer. Dimana untuk produk SME (UMKM)-nya kita menyasar empat sektor; pendidikan, kesehatan, Islamic communities, dan yang terakhir itu UMKM halal. Di sektor konsumernya ada tiga yang besar, yaitu satu tadi KPR, haji, dan investasi. Termasuk di dalamnya cicil emas dan bancanssurance.

Apa yang lagi didorong dari Bank Muamalat untuk UMKM halal?

Yang sekarang kita coba lakukan itu kita tengah menjalin komunikasi dengan BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal). Harapannya, harusnya setiap lahirnya sertifikasi halal, itu diikuti dengan terbukanya rekening halal dari si yang penerima itu. Sekarang itu tidak. Padahal yang namanya halal kan seluruhnya. Yang namanya halal itu tadi barangnya dan proses mendapatkannya. Pada saat kita bicara proses mendapatkannya, maka rekening dari sang pemilik sertifikat halal harusnya juga bank syariah.

Bagaimana Bank Muamalat beriringan berjalannya supaya bisa menjadi salah satu akses bagi UMKM halal? Karena saat ini ada fintech yang dari segi kemudahan, dan juga mungkin tingkat literasi untuk pelaku UMKM ini lebih familiar dengan fintech.

Memang ini juga menurut saya harus dibangun sebuah ekosistem. Artinya para 'fintech syariah', itu mungkin sudah waktunya juga onboarding di bank. Banknya juga demikian, banknya juga satu sisi harus mulai terbuka dengan mitra fintech. Kalau sudah onboarding, itu mereka satu sisi menjadi lebih mudah mendapatkan sumber dananya, bisa menjadi lebih murah.

Kemudian juga banknya tidak perlu membuat investasi sistem lagi, dan juga marketing itu kan sebenarnya sudah dilakukan oleh mereka. Tetapi balik lagi, dengan kejadian e-Fishery, Investree, dan seterusnya, itu juga membuat para bankers ini sudah waktunya kerja sama dengan para fintech. Mungkin dari pihak OJK juga sama-sama lakukan self-correction. Kalau saya sih melihat sooner or later pasti mereka akan menyatu (fintech dengan bank). Saya ambil contoh, ada dua model nih, bank akuisisi fintech atau fintech akuisisi bank. Itu menunjukkan sebuah keniscayaan.

Tapi tadi betul, harusnya kembali ke ekosistem halal. Pada saat terbitnya sertifikasi halal, itu harus diikuti dengan terbukanya rekening perbankan syariah. Jadi, yang tadi yang selama ini modal yang bisa cepat cair, compatible, familiar itu umumnya ke fintech tadi. Karena kalau bank ya memang kita membutuhkan dokumentasi yang lebih heavy. Sehingga kalau cuma membiayai Rp 100-200 juta jadi cost-nya tidak masuk sih memang.

Soal permodalan dan kesehatan finansial, bagaimana cara Bank Muamalat ini tetap menjaga kepercayaan publik, dan soal dominasi panggung yang dikuasai oleh BSI. Bagaimana supaya Bank Muamalat punya pamor di kancah perbankan syariah?

Pertama, modal memang kalau sampai saat ini sih CAR (capital adequacy ratio/rasio kecukupan modal) kita masih cukup bagus. Di atas sekitar 27%, artinya untuk menopang pertumbuhan dalam periode jangka pendek masih oke. Tetapi, kita melihatnya ke depan di mana memang untuk Bank Muamalat ini dituntut pertumbuhan pembiayaan yang jauh lebih besar.

Maka pertanyaannya adalah, siapa yang harus menambah modal? Pemilik kita (Bank Muamalat) adalah BPKH. Tetapi kita sama-sama tahu BPKH, uang yang dikelola itu adalah uang milik umat. Saat ini, BPKH itu memperoleh mandat dari umat untuk mengelola dana haji, khususnya dana antrean orang yang berhaji. Itu butuh kebijakan yang firm, karena untuk mengelola suatu bank itu tidak cukup dalam koridor investasi. Sementara BPKH ini hanya terbatas pada koridor investasi.

Maka butuh cantolan undang-undang atau regulasi yang memungkinkan BPKH bisa menambah modal. Nah, ini masih ada kendala, tetapi di sisi lain oleh karenanya itulah menjadi sebab BPKH dalam waktu dekat ini akan mencari yang namanya strategic operating partner. Nah, kenapa partner? Karena dia tadi belum memiliki regulasi ataupun undang-undang cukup untuk dia bisa top up. Maka, dia butuh partner.

Harapannya tahun ini bisa muncul, ini lagi proyeknya lagi berjalan. Di sisi lain secara paralel, ini juga tengah digodok Undang-Undang Haji untuk tahun depan. Di mana dalam konteks, meskipun bukan domain kami, di situ ada peran BPH (Badan Pengelola Haji), BPKH, dan kita juga belum tau konstelasi keduanya seperti apa. Tapi ada peluang di dalamnya itu lahirnya bank haji nasional, dari terbit undang-undang itu. Peluang lahirnya bank haji nasional dalam ekosistem perhajian Indonesia.

Apakah sejauh ini ada bentuk kolaborasi yang juga ditawarkan dari BSI, sebagai bank syariah terbesar di Indonesia, dalam mendorong inklusivitas perbankan syariah?

Kita mencoba men-tap blue ocean tadi, men-tap social islamic market. Itu yang kita coba ke depan Yang saat ini belum men-tap produk wakaf, terkait dengan aspek sosial, masyarakat. Kemudian yang kedua, kita menyebutnya sebagai lifestyle banking.

Kemudian inklusi contohnya. Jadi, contoh kita menerapkan literasi kepada masyarakat, pada bulan Ramadan kemarin kita menyelenggarakan yang namanya muamalah mastering class. Muamalah mastering class itu kita sasar nasabah-nasabah prime kita, untuk bisa mendapatkan pencerahan terkait dengan kehidupan ekonomi seorang muslim mulai dari lahir sampai meninggal.

Makanya, temanya adalah investasi sekolah, haji, zakat, wakaf, dan waris. Tujuannya, kita mencoba menyampaikan bahwa syariah itu bukan produk dan fitur produk. Syariah itu adalah values and benefit, berarti memang menjadi unlimited, karena values dan benefit tidak ada berapa jumlah rupiahnya. Nah, ini mulai kita jalankan sejak tahun ini literasi itu ke masyarakat.

Kaitannya kalau dengan konstelasi kompetisi, kita tidak expect head-to-head dengan BSI. 'Kan memang tadi benar itu besar banget, segala macem. Tapi kembali lagi, kita juga harus wise bahwa concentration risk ini menjadi risiko yang besar buat industri. Kita tidak tahu, tidak selamanya juga BSI sehat. Tapi kalau BSI 'batuk' saja, industri itu sudah (terdampak), karena dia sudah 40% lebih. Paling tidak harusnya masyarakat, regulator itu juga sudah aware bahwa Aceh itu bagian dari mini lab yang harusnya pernah terjadi. Pada saat sistem down, mereka bagaimana hebohnya, karena belum ada yang menghitung berapa kerugian ekonomi yang terjadi di Aceh pada saat itu.

Itu harusnya bisa dihitung berapa kerugian ekonomi yang terjadi dalam waktu, mungkin hampir seminggu waktu itu tidak stabil di satu provinsi yang hanya tergantung, rely on single bank. Segmen syariah kan makin lama makin besar, jadi menurut saya ke depannya perlu membuat kompetisi menjadi lebih sehat. Sehingga, spin off dan seterusnya itu juga mungkin dipertimbangkan dalam konteks merger akuisisi. Kasarnya, ini yang tertinggi dengan yang nomor 2 itu bedanya 5 kali. Itu yang juga mungkin ditutup dengan kontemplasi, perlu kita lakukan perubahan.

Target bisnis dalam 5 tahun ke depan?

Dalam 5 tahun ke depan, pertama, menyeimbangkan pertumbuhan neraca, balancing. Saat ini kita memang FDR (financing to deposit ratio)-nya kecil banget. Karena setelah kita lakukan restructuring aset, sejumlah aset itu dipindahkan, aset sales dijual. Itu kita butuh percepatan pembiayaan. Kemudian kedua, bertransformasi untuk masuk ke segmen consumer retail, yang ketiga itu mempercepat digitalisasi, yang keempat menjaga efisiensi operasional.

Halaman 2 dari 2
(eds/eds)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads