Berbagi Ilmu ala Lee Cooper

Wawancara Jody Dharmawan

Berbagi Ilmu ala Lee Cooper

- detikFinance
Rabu, 05 Mar 2008 09:59 WIB
Jakarta - Lee Cooper Internasional genap berumur 100 tahun pada tahun ini. Selama itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang dianggap punya potensial market dan digandrungi karena tenaga kerjanya yang murah. Itulah yang membuat Lee Cooper betah berbisnis di Indonesia selama selama 18 tahun terakhir.

Berikut wawancara khusus detikFinance dengan Presiden Direktur PT Lee Cooper Indonesia Jody Dharmawan disela acara BritChamp Business VVIP di Hotel Sangri-La, Jakarta, Selasa (4/3/3008).

Bagaimana awal mula Lee Cooper Indonesia?

Saya memulai Lee Cooper Indonesia berempat dengan rekan saya. Tadinya kita usaha manufaktur, tapi karena melihat potensi Indonesia kedepan bagus, maka kita mikir kenapa nggak join aja?

Orang kan selalu cari barang lebih murah dan kalau sebuah negara itu punya labour terlalu mahal, the investment will die. Itulah kenapa banyak investor ke Hong Kong, Taiwan, Korea, Asia Tenggara. Mereka mau cari tenaga kerja murah.

Kalau ada buyer beli barang sama kita, kita jual 10 dolar, tapi dia bisa jual 30. Kenapa kita nggak masuk bisnis yang 30 dolar aja?

Jadi income kita sekarang 30 dolar, nggak lagi 10 dolar. Lalu mereka (Lee Cooper International) bilang ok, mereka ijinkan saya mencoba.

Sekarang ini banyak manufaktur, tapi nggak tahu bagaimana merambah pasar, nggak tahu bagaimana desain, dan bagaimana mengembangkannya. Nggak tahu apa-apa. Cuma tahu bikinnya saja.

Itu alasan saya kenapa bergabung dengan Lee Cooper. Mereka punya komitmen untuk berbagi teknologi. Dari situ sampai kemarin 2006, kita bicara dengan Lee Cooper Internasional. Kita bilang, daripada cuma lisensi, kenapa kita nggak jadi satu aja?

Itu yang kemudian jadi Lee Cooper Indonesia?

Yup, itu yang jadi Lee Cooper Indonesia, dan kami sekarang 100% anak usaha Lee Cooper Internasional.

Lee Cooper Indonesia sekarang punya manufaktur sendiri atau membeli dari manufaktur kecil?

Kami beli dari beberapa pabrikan kecil. Tapi kami juga suplai mereka. Yah, sama seperti dulu (waktu kami jadi manufaktur). Kami kasih desain, dan kasih tahu bagaimana bikin celana yang kami inginkan.

Banyak yang menyinggung kalau kenyataannya merek-merek besar termasuk Lee Cooper sebenarnya membeli produk dengan harga murah tapi kemudian diberi merek lantas dijual dengan mahal?

Itu benar, tapi definisi belinya berbeda. Pertanyaannya, apakah manufaktur itu yang hanya jahit produknya saja, atau dia juga desain produk.

Mendesain dan manufaktur adalah hal yang berbeda. Setiap produk pasti ada risetnya. Saya butuh waktu lama untuk tahu bagaimana produk itu dibuat sedemikian rupa, butuh kerja keras. Pada akhirnya, di manufaktur hanya dipotong, dijahit, dicuci.

Bahkan cara cuci pun harus high skill riset. Jadi pembuatan sebuah celana memang murah, tapi desainnya....
Seperti mobil, apa yang bikin mobil mahal. Pada risetnya kan harus ditrabakin dulu, itu yang butuh riset..R&D (Research and Development) yang begitu mahal..

Beberapa orang bilang merek besar berlaku tidak adil terhadap pabrikan kecil yang mensuplainya?

Saya nggak akan pakai general terms, tapi saya akan bilang kalo ada pihak yang mengambil keuntungan. Gara-gara dia lebih besar, gara-gara dia punya bargaining power, dia peras yang kecil. Tapi, ada juga merek yang 'saya punya teknologi, kamu punya keinginan untuk belajar, mari kerjasama'.

Itu yang kami lakukan. Kami sewa beberapa manufaktur, dan kami kirim beberapa teknisi kesana. Mereka ngajarin gimana caranya, yang sama-sama belajar desain ini itu. Tapi kami asistensi.

Ada berapa manufaktur yang mensuplai sekarang?

Ada sekitar 20-an. Tapi kami juga punya manufaktur kecil sendiri. Saya keliling dan ketemu beberapa manufaktur yang memang ahli di jenis berbeda. Dan kami bekerjasama sampai sekarang. (lih/qom)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads