Tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka.
Dalam konteks tersebut, negara yang dimaksud adalah antara Indonesia dan Singapura. Sebab, perusahaan yang dituju adalah Google Asia Pacific Pte Ltd yang berlokasi di Singapura.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yustinus menjelaskan, dalam persoalan Google agak menjadi cukup rumit karena perusahaan tersebut tergolong virtual presence, yang tidak diatur pada tax treaty yang sudah disepakati. Ini tidak hanya di Indonesia, melainkan juga dengan antar negara yang lain.
"Iya karena secara internasional significant virtual presence belum diatur dan di tax treaty juga belum diatur, mereka bisa menolak," tegasnya.
Langkah yang bisa ditempuh oleh Ditjen Pajak adalah memaksa Google untuk mendirikan BUT di Indonesia lewat negosiasi. Bila mengubah tax treaty, maka membutuhkan waktu yang lama.
"Tidak bisa buru-buru karena standar internasional BUT memang blm mencakup virtual presence. Masih digodog OECD," terang Prastowo.
Kemudian adalah dengan merancang skema pajak baru. Seperti yang berlaku di Inggris dengan diverted profit tax, India dengan equalization tax dan Australia dengan MAAL. Seluruh skema tersebut untuk mengejar Google dan perusahaan sejenisnya.
"Jika mau solusi 2, bagus tapi butuh otoritas pajak kayak HMRC UK yang solid, cerdas dan konsisten," tukasnya.
(mkl/wdl)