Janji tersebut merupakan salah satu dari 9 program nyata Jokowi. Selain itu, dalam janjinya apabila pertumbuhan ekonomi berhasil menyentuh 7%, Jokowi ingin memberikan uang Rp 1 juta/bulan untuk keluarga miskin.
Kenyataannya hingga kini, pertumbuhan ekonomi masih di bawah 7%. Bagaimana kisah selengkapnya? Simak rangkuman informasi detikFinance, klik halaman berikutnya.
Belum Capai 7%, Tapi Naik Tiap Tahun
Foto: Agung Pambudhy
|
Bila dirangkum, memang sejak pemerintahan dipegang oleh Jokowi target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% belum tercapai. Namun, bila dirangkum pertumbuhan ekonomi sejak 2015 sendiri mengalami kenaikan.
Berikut data pertumbuhan ekonomi era Presiden Joko Widodo:
2015: 4,88%
2016: 5,03%
2017: 5,07%
2018: 5,17%
Angka Pertumbuhan di Atas Rata-Rata
Foto: Agung Pambudhy
|
Robert mengatakan saat ini rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia berada di angka 3%. Sehingga, pertumbuhan sebesar 5,17% tergolong cukup bagus.
"Bagus kan. Nggak banyak negara yang pertumbuhannya di atas 5%. Jadi good. Ini masih di atas rata-rata, dunia kan cuma 3% (pertumbuhannya)," kata dia di BKPM, Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Lebih lanjut, walaupun pertumbuhan tercatat melambat hal itu tak membuat kecewa. Sebab, hal itu juga terjadi pada keseluruhan global.
"Ya nggak banget (kecewa). Itu kan namanya target dihitung berdasarkan symptom yang faktanya memang ada perubahan," tutup dia.
Sebagai informasi, BPS merilis angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17%. Angka ini meleset dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,4%.
Oposisi Sebut Target Terlalu Muluk
Foto: Agung Pambudhy
|
"Saya tidak tahu siapa yang memberi masukkan, jelas terlalu muluk (pertumbuhan ekonomi). Target 6% sebenarnya lebih realistis, jika bauran kebijakannya benar," kata Dradjad.
Kemudian, landainya pertumbuhan ekonomi ini terjadi saat proyek infrastruktur digenjot besar-besaran. Dia membandingkan dengan Amerika Serikat (AS) saat terjadi The Great Depression.
Menurut dia AS keluar dari GD melalui pembangunan infrastruktur besar-besaran khususnya moda kereta api. Dia menjelaskan belanja infrastruktur menjadi sebuah stimulus, efek multiplier PDB dan penyediaan lapangan kerjanya besar.
"Di Indonesia selama periode pak Jokowi, belanja infrastruktur malah gagal jadi stimulus Keynesian. Efek multiplier PDB dan lapangan kerja relatif kurang terasa. Berarti ada yang salah dengan belanja infrastruktur pemerintah," ujar Drajad.
Dia menambahkan, pemerintahan Presiden Jokowi disebut sering menyalahkan faktor eksternal ketika ekonomi tidak sesuai dari harapan dan target. Namun ketika faktor eksternalnya menolong perekonomian, dia diabaikan dan kinerja ekonomi diklaim sebagai prestasi sendiri.
Bangun Infrastruktur Percuma
Foto: Agung Pambudhy
|
"Hal ini tidak bisa dikompensasi oleh belanja pemerintah, khususnya infrastruktur. Kemudian defisit neraca perdagangan adalah yang terbesar dalam sejarah," kata Drajad.
Dia menyampaikan belanja atau pengeluaran pemerintah melalui proyek infrastruktur gagal menjadi stimulus. Selain itu pemerintah sering kali membuat faktor eksternal menjadi kambing hitam saat ekonomi tidak sesuai dengan harapan.
"Tapi ketika faktor eksternal menolong perekonomian, dia diabaikan dan kinerja ekonomi diklaim sebagai prestasi sendiri," jelas dia.
Drajad menjelaskan angka pertumbuhan ekonomi 2018 sebelumnya ditargetkan 5,4% melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Angka tersebut asli dari pemerintah dalam Nota Keuangan tanggal 16 Agustus 2017.
Menurut dia pertumbuhan 2018 itu ternyata dekat dengan angka proyeksi INDEF yakni 5,1% pada 29 November 2017.
"DPR tidak mengubahnya ketika menyetujui RAPBN menjadi APBN 2018. Artinya, proyeksi pemerintah kalah akurat," jelas dia.
Halaman 2 dari 5