Memahami Subprime Mortgage AS
Senin, 03 Sep 2007 10:22 WIB
Jakarta - Pasar finansial dunia dalam beberapa pekan terakhir menggelegak oleh krisis subprime mortgage. Apa sebenarnya subprime mortgage? Dan bagaimana agar RI tak ikut-ikutan kena krisis itu?Berikut analisis oleh Sid H. Kusuma, yang kini bergabung dalam SMF dan khusus mendalami pasar mortgage residensial di bidang sekuritisasi, TI, jasa serta konsultan manajemen risiko. Ia juga pernah bergabung dengan Citigroup & Bear Stearns Inc di AS dan PT Ernst & Young Indonesia. Fenomena Subprime Mortgage market meltdown yang terjadi semenjak pertengahan tahun 2006 telah memberikan dampak sentimen negatif di pasar modal termasuk Indonesia. Untuk dapat mengerti apa yang terjadi, perlu dimengerti apakah subprime mortgage loan dan karakteristiknya.Pengertian Subprime Mortgage Loan Subprime mortgage loan di Amerika diberikan kepada konsumen yang memiliki kelayakan kredit kurang dari cukup. Salah satu cara mengukur kelayakan kredit konsumen dilakukan dengan cara melihat credit score. Sistem pemberian KPR di Amerika sangat bergantung terhadap credit score yang dikeluarkan oleh perusahaan credit scoring seperti yang mengunakan metode FICO. Sebagai informasi, konsumen dapar memiliki FICO score mulai dari 300 s/d 850 tergantung dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa ceridt score dengan melihat 5 katagori utama seperti dibawah ini:1. Payment history (35%)2. Amounts owed (30%)3. Length of credit history (15%04. New credit (10%)5. Types of credit used (10%).Walau berubah secara periodik, pada saat ini rata-rata credit score untuk konsumen di Amerika berkisar 620. Semakin rendah credit score (FICO<620), semakin kurang kelayakan dari konsumen tersebut mendapatkan KPR. Subprime mortgage borrower diberikan kepada konsumen yang memiliki FICO score < 620. Selain credit score, subprime mortgage loan juga bisa terlihat dari beberapa hal: 1. Tingginya rasio Loan-to Value hingga 100% 2. Agunan KPR yang tidak memenuhi fundamental perhitungan value-nya. 3. Ketidak lengkapan dokumentasi KPR (low-doc) atau tidak ada verifikasi terhadap pendapatan (stated income), sumber downpayment & sejarah bekerja. 4. Tingginya Debt-to-Income (DTI) dan Payment to Income (PTI) Karakteristik diatas secara langsung menaikan risiko terhadap penyalur KPR. Dari satu sisi, meningginya risiko dikompensasikan dengan suku bunga tinggi dan fitur khusus lainnya. Disisi lain, tingginya suku bunga menyebabkan ketidak mampuan konsumen untuk mendapatkan KPR. Dalam hal ini, penyalur KPR membuat produk KPR yang tetap mengkompensasikan tingginya risiko akan tetapi dapat dijangkau oleh konsumen, paling tidak agar dapat dioriginasi. Produk subprime mortgage loan yang terkenal adalah 2/28 ARMS. Jenis KPR ini cukup berkembang dimana mencakup hampir 75% dari adjustable subprime mortgage loan dioriginasi. Produk ini memiliki fitur dua tahun pertama fix rate yang bersifat Teaser Rate dan akan berubah pada akhir tahun kedua menjadi adjustable rate dan setiap tahun berikutnya. Yang menjadi permasalahan adalah penyalur KPR dalam mengoriginasi KPR mengukur kemampuan membayar konsumen dengan menggunakan Teaser Rate yang rendah. Pada saat suku bunga KPR berubah pada akhir tahun kedua menjadi adjustable rate, pembayaran bulanan konsumen dapat meningkat secara drastis karena marjin untuk konsumen dengan risiko profil tinggi dapat mencapai 300-500 basis poin. Hal ini menyebabkan konsumen yang memang kurang layak kredit mengalami kesusahan membayar cicilan KPR, dan kemudian gagal bayar. Selain itu, terjadi Predatory Lending practice yang dilakukan oleh penyalur KPR nakal. Segmen konsumen diatas dikibuli dengan bermacam taktik seperti secara sengaja memberikan jumlah pinjaman tinggi dengan suku bunga tinggi kepada kepada konsumen yang jelas tidak mampu membayar. Diharap jika terjadi gagal bayar maka agunan akan eksekusi dan penyalur KPR mendapat keuntungan dari penjualan rumahnya. Apa yang terjadi dengan Subprime mortgage loan di Amerika?Pertumbuhan subprime mortgage market di Amerika meningkat dengan cepat yang mencapai 22% dari total originasi KPR dalam jumlah total sisa pinjaman lebih $650 juta pada akhir tahun 2006 (lihat grafik). Beberapa faktor utama meningkatnya pasar. Dari sisi demand, sektor perumahan yang baik selama tahun 2002- 2005, rendahnya suku bunga KPR & apresiasi harga rumah. Dari sisi suplai, dengan yang tinggi demand dan masih terbukanya peluang usaha, penyalur KPR berbodong-bondong masuk ke pasar ini untuk menawarkan jasanya.. Dengan meningkatnya kompetisi, penyalur KPR bersaing untuk mendapat konsumen dengan menawarkan produk KPR yang cukup bervariasi tanpa mengenal secara mendalam karakterisktik risikonya serta me-relaxkan ketentuan originasi KPR. Hal ini mengakibatkan banyak KPR dengan fitur berisiko tinggi yang disetujui untuk konsumen yang tidak layak. Dengan menurunnya pertumbuhan sektor perumahan semenjak awal 2006 yang ditandai dengan menurunya peningkatan harga rumah dan meningkatnya suku bunga KPR, banyak konsumen KPR di pasar ini yang mengalami kesulitan membayar angsuran dan kemudian dinyatakan gagal bayar. Hasil survei yang dikeluarkan oleh Mortgage Banker Association (MBA) mengatakan bahwa delinquency rate untuk subprime mortgage loans untuk Q4-2006 berada di 13,33%. Sebagai perbandingan, deliequency rate untuk prime mortgage loan berkisar 2,57 %. Sementara itu, foreclosure rate adalah 2% dibanding 0,24% untuk subprime & prime mortgage loan per Q4-2006. Dan foreclosure inventory ratea adalah 0,5% dan 5,1% untuk subprime & prime mortgage loan per Q4-2006Pelajaran untuk Pasar KPR di IndonesiaKredit perumahaan memiliki karakteristik resiko yang beragam dan dapat dimitigasi dengan pola originasi sampai dengan servicing yang baik. Dibeberapa negara termasuk di Amerika, standarisasi dokumen KPR merupakan salah satu upaya agar terciptanya standarisasi & menurunkan resiko. Manfaat dari standarisasi ini terbukti dengan perbedaan dari delinquency & foreclosure rate antara conforming (prime) mortgage loan dan subprime. Di Indonesia, standarisasi dokumen KPR telah dibuat untuk dapat digunakan oleh penyalur KPR. Standarisasi dokumen KPR yang mencakup 5 topik yaitu Originasi, Underwriting, Quality Control, Servicing & MIS. Beberapa contoh hal utama didalam standarisasi seperti cara menghitung LTV yang benar dan batas terbesarnya, jenis dokumentasi yang wajib ada dan verikasi proses yang harus dilakukan sebelum KPR dapat disetujui, PTI & DTI. Proses underwriting dimana wawancara dengan konsumen untuk mendapatkan feeling mengenai dikonsumen adalah penting. Selain itu, memberikan edukasi kepada calon konsumen agar dapat mengetahui proses KPR serta hak & kewajibannya sangat diperlukan. Konsumen yang teredukasi dapat membantu agar tidak terkibuli oleh skema penyaluran KPR yang tidak sehat dan merugikan konsumen.
(qom/qom)