Pengusaha Bukan 'Musuh Utama' Buruh

Pengusaha Bukan 'Musuh Utama' Buruh

- detikFinance
Rabu, 02 Mei 2012 10:05 WIB
Jakarta - Tuntutan perbaikan nasib disuarakan para pekerja, buruh atau karyawan pada 1 May 2012 kemarin. May Day jadi ajang curhat dadakan serikat pekerja akan ketidakadilan yang diberikan pengusaha. Upah yang tidak layak, kesejahteraan yang kurang terjamin dengan pola alih daya (outsourcing), jadi beberapa tema tuntutan pekerja.

Bagi Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Emil Salim, kurang tepat jika pekerja selalu menuntut hak namun tidak diimbangi hasil kerja yang sepadan. Padahal dengan peningkatan kerja atau produksi, hak-hak akan terpenuhi dan pada ujungnya meningkatkan kesejahteraan pekerja.

"Walau benar, penting, kita mengejar perbaikan nasib. Namun ingat, ini (tuntutan) harus disertai dengan peningkatan produksi, produktivitas. Karena yang kita hadapi adalah dunia yang bersaing," jelas Emil saat berbincang dengan detikFinance di Hotel RItz Calton, Jakarta, Selasa (1/5/2012) malam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Maka kejar cita-cita itu. Kta bersama-sama meningkatkan kemampuan output per satuan manusia. Dengan demikian hak kita untuk berubah lebih bisa masuk akal," tambahnya.

Ia menambahkan, pengusaha bukan jadi musuh utama para buruh. Keduanya dapat bersatu dalam meningkatkan kinerja dan mengalahkan musuh utama, yakni negara-negara Asia besar lainnya seperti China, India atau Korea.

"Untuk kita saya ingin ajak semua, pengusaha, pekerja yang ada di pusat atau daerah utamakan kenaikan kemampuan menghasilkan barang dan jasa per orang untuk bisa lebih tinggi dari RRT (China), India, Korea. Itu kunci untuk mendapat perbaikan nasib," ucap Emil.

Jika ada perusahaan nakal yang tidak memenuhi kewajiban seperti janji semula, lanjutnya, itu harus dihukum. Pemerintah pun harus tegas akan hal ini.

"Kalau nakal ditempeleng, namanya nakal. Jangan pengusaha nakal jadi toal ukur. Kita jangan puas memperjuangkan kepentingan kita hari ini. Dengan demikian melemahkan daya saing kita kepada negara lain. Biar kita hidup tidak terlalu mewah tapi pada ujungnya kita menang dengan persaingan," tutur Emil.

(wep/ang)

Hide Ads