Demikian disampaikan Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus Suprijanto saat ditemui di kantornya, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Jumat (7/12/2012).
"Yang utama untuk menyederhanakan. Karena kalau dengan denominasi yang besar menimbulkan inefisiensi dalam jual beli. Oleh karena itu, perlu disederhanakan," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Padahal kita negara ke-16 dari size GDP. Masuk G-20. Tidak pantas kalau US$ 1 jadi Rp 9 ribu sekian, sementara negara lain masih satuan juga hitungannya. Ini memberikan rasa proud (bangga) atas mata uang kita yg merupakan simbol stabilitas ekonomi suatu negara," jelasnya.
Selain itu, lanjut Agus, secara teknologi informasi, redenominasi mata uang ini sangat dibutuhkan mengingat keterbatasan digit pada perangkat teknologi.
"Kalau denominasi terlalu besar dalam IT membutuhkan memori yang besar dan banyak alat yang tidak cukup digitnya. Di modul penerimaan negara yang ada di tempat saya saja, kita kekurangan digit. Jadi kita harus menyicil memasukkannya dan itu jelas tidak efisien, itulah kenapa perlu redenominasi," tegasnya.
Redenominasi merupakan proses penyederhanaan rupiah dengan mengurangi angka nol. Dalam kajian BI beberapa waktu lalu, angka nol yang 'dihilangkan' paling tepat 3 digit. Jadi Rp 1.000 nanti akan menjadi Rp 1. Namun semua masih dalam kajian yang akan dibawa ke DPR dalam bentuk RUU Redenominasi.
(nia/dru)