Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menilai saat ini perpindahan masyarakat ke Jakarta masih tidak terkendalikan. Meskipun hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari terpusatnya industri di sekitar Jakarta.
"Nggak boleh hanya menyerahkan mekanisme pasar. Nggak boleh orang ke Jakata dibiarin saja nggak bisa juga," ungkap Bambang di Nusa Dua, Bali, Jumat (13/12/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau Jakartanya makin besar, kan ini kelihatan, GDP Distribution, Jakarta tahun 1971 cuma 8,7%. Tahun 1990 12,1%. 2010 jadi 16,3%. 16,3% ekonomi Indonesia ada di Jakarta. Jawa-Bali malah turun, Sumatera turun. Ini yang tidak sehat," paparnya.
Selama ini kebijakan otonomi daerah tidak berdampak terlalu bagus untuk daerah tersebut. Seperti pembangunan yang tidak berjalan. Sehingga banyak yang lebih memilih lari ke Jakarta.
"Bukannya kita dan otonomi daerah membuat pertumbuhan di daerah tinggi, tapi yang terjadi adalah orang daerah pindah ke Jakarta," sebut Bambang.
Ia mengatakan perlunya kebijakan untuk mengatur persoalan urbanisasi aglomerasi. Yaitu kebijakan menahan terkonsentrasinya industri dan kelompok masyarakat pada suatu wilayah.
"Makanya kebijakan urbanisasi anglomerasi itu nggak boleh dilupakan. Kondisi sekarang itu malah memberatkan Jakarta dan nggak bagus buat Ekonomi Indonesia," terangnya.
Dalam konsep middle income trap, sebuah negara sulit menjadi negara maju karena ada disparitas perekonomian atar wilayah. Ini sama dengan yang terjadi pada Indonesia. Akan tetapi masih banyak waktu untuk perbaikan.
"Salah satu yang penting dalam mencegah MIT adalah kebijakan aglomerasi terkati urban itu harus tepat. Kenapa? karena pertama jumlah yang penduduk yang akan tinggal di perkotaan itu akan makin meningkat dibanding pedesaan. Konsekuensinya wilayah kota itu main luas dan kota lainnya tidak," jelas Bambang.
(mkl/dru)