IPW mencatat, capaian ini cukup buruk dibandingkan penjualan rumah di Jabodetabek-Banten pada triwulan II-2014 yang sempat mengalami kenaikan 6,9%. Penyebab penurunan karena harga properti yang sudah terlalu naik tinggi, kondisi politik, dan kebijakan bunga kredit perumahan yang masih tinggi.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda dalam situs resminya, Kamis (16/10/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pasar perumahan semakin bergeser ke segmen menengah dengan komposisi 45,3% dibandingkan dengan segmen kecil sebesar 43,5% dan segmen atas 11,2%," kata Ali.
Ia menambahkan sampai akhir tahun 2014 diperkirakan pasar akan mengalami perlambatan meskipun proses transisi ke pemerintahan baru relatif berjalan lancar.
"Hal ini lebih dikarenakan pasar perumahan saat ini masih mencari bentuk keseimbangan baru setelah terjadi percepatan yang signifikan dua tahun belakangan," katanya.
Ali juga mengatakan memang sempat ada aksi wait and see para konsumen yang diperkirakan akan melunak setelah Pemilu 2014, namun ternyata masih berlanjut menyusul kondisi politik yang masih belum terlalu kondusif.
"Manuver-manuver politik di parlemen membuat khawatir beberapa pihak akan kondisi perekonomian mendatang. Hal ini membuat banyak pengembang yang memilih aksi tidak menaikkan harga tanahnya sambil menunggu perkembangan," katanya.
Menurut Ali, kondisi triwulan III-2014 yang cukup tak menguntungkan untuk bisnis properti di Jabodetabek-Banten, tak terlepas dari kenaikan harga tanah yang terjadi dalam dua-tiga tahun belakangan membuat para pengembang properti relatif ‘terjebak’ dengan patokan harga yang sudah tinggi.
"Banyak pengembang yang kesulitan untuk membangun rumah menengah sampai atas karena harga tanah yang sudah tinggi tidak terjangkau oleh daya beli yang ada," katanya.
Ia menuturkan saat ini persepsi di kalangan investor properti, sudah menganggap harga rumah yang tinggi di Jabodetabek-Banten dinilai sudah tidak rasional lagi. Pasar berangsur-angsur bergeser ke segmen menengah dengan menyasar kaum end user.
"Harga tanah yang tinggi membuat para pengembang kesulitan mematok harga jual. Lokasi perumahan menengah pun relatif semakin menjauh dari pusat kota. Beberapa pengembang mulai memilih untuk membangun secara vertikal dan mengambil pasar apartemen segmen menengah," jelas Ali.
Selain itu, dari sisi konsumen yang lebih menggunakan KPR relatif masih terhambat suku bunga yang tinggi. Sehingga banyak pengembang yang membuat strategi cicilan uang muka yang dapat diangsur bahkan selama 3 tahun.
"Hal ini juga sebagai antisipasi pihak pengembang dalam hal pengetatan penjualan rumah secara inden yang diberlakukan Bank Indonesia," katanya.
(hen/hds)