"Segera hapus bensin RON 88, itu biang keladi dari kekisruhan BBM di Indonesia. Karena beda harga premium dengan bensin RON 92 hanya Rp 200/liter," ucap Faisal, ditemui di Kantor Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Jalan Plaju, Jakarta Pusat, Selasa (3/3/2015).
Biang kekisruhan yang dimaksud Faisal yakni, terkait penentuan harga premium. Apalagi pemerintah baru saja menaikkan harga premium Rp 200/liter. Menjadi pertanyaannya, bagaimana cara penentuan harga bensin RON 88, karena di dunia sudah tidak ada yang menjual bensin ini. Sehingga sulit dibuat acuannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi kalau membandingkan harga BBM Indonesia dengan negara lain. Harga bensin RON 95 di Malaysia hanya Rp 7.500/liter, sementara di Indonesia Rp 9.450/liter. Menurut Faisal, tidak sepenuhnya benar bila harga BBM di Indonesia mahal karena kilang minyaknya tua.
"Kalau dibilang harga BBM kita mahal karena kilangnya nggak efisien, itu nggak benar. Karena sebenarnya yang menentukan harga BBM itu 75%-nya harga minyak mentah, sedangkan kilang cuma 13%. Sisanya biaya distribusi, dan lain-lain. Jadi kilang nggak terlalu berkontribusi besar," jelasnya.
Pada kesempatan itu, Faisal juga memberi kritik soal kebijakan Kementerian Perdagangan, yang mewajibkan transaksi ekspor-impor wajib menggunakan Letter of Credit (L/C). Karena dampaknya buruk bagi sektor minyak dan gas (migas).
"Saya heran kenapa masalah ini nggak terangkat di media massa. Padahal ini yang membuat kiamat kecil di industri minyak," ucapnya.
Menurutnya, di perusahaan migas proses jual-beli harus kontrak jangka panjang paling tidak selama 30 tahun.
"Trust-nya (kepercayaan) tinggi, tunai bayarnya. Trust itu apa sih? Saya jual ke Anda tapi saya nggak tahu reputasi anda. Jadi Anda kalau mau beli ke saya, harus ada jaminan bayar lewat bank. Nanti bank saya juga, koresponden L/C. Jadi nanti saya jual ke Anda, Anda bayar ke trusty yang ngurus," katanya.
"Apa tujuan diwajibkannya pakai L/C itu nggak jelas. Wajib dibatalkan untuk sektor migas. Tapi kalau untuk batu bara dan sawit itu motifnya nggak tahu. Kesalahan fatal Kemendag adalah memasukan migas. Wajib batal aturan ini dan harus segera nggak bisa menunggu April, karena banyak membatalkan kontrak nanti," tutup Faisal.
(rrd/dnl)