"Terus terang kami sedang mencoba me-review seluruh kualitas data. Apa yang terjadi? Jika dampak kekeringan ini betul nyata dan indikasi sudah makin kuat, masih akan dibuktikan dari angka ramalan (ARAM) II di November. Kalau ARAM II tidak seperti yang diperkirakan, mungkin bisa diambil langkah impor beras," kata Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Bustanul Arifin, ditemui di acara Hari Statistik Nasional, di Kantor BPS, Jakarta, Selasa (22/9/2015).
Bustanul menambahkan, wacana impor beras dalam waktu dekat yang direncanakan pemerintah, membuat banyak pertanyaan. Alasannya karena belum lama ini pemerintah mengklaim produksi beras tahun ini berlimpah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengakui, sejak awal dirinya meragukan klaim produksi beras tahun ini surplus berdasarkan hitungan BPS.
"Kalau saya pribadi meragukan klaim surplus itu dari awal, karena memang ada persoalan di metode perhitungan. Makanya kita duduk di BPS untuk memperbaiki metodologi ini," ujarnya.
Menurutnya, bila ada kesalahan perhitungan, tentu kondisi saat ini harus segera diantisipasi, salah satunya dengan impor beras. Bila lambat antisipasi tentunya bisa berdampak pada melonjaknya harga beras.
"Tapi sambil memperbaiki metodologi perhitungan, kita juga harus ambil langkah antisipasi. Bahayanya kalau memang nggak antisipasi stok yang baik, saya khawatir kita nggak siap menghapi lonjakan harga di November atau Desember pas musim paceklik," tutup Bustanul.
Menurut data BPS, produksi beras Angka Tetap (ATAP) BPS 2014 sebanyak 70,85 juta ton gabah kering giling (GKG) sementara diprediksi produksi menurut Angka Ramalan (ARAM I) BPS 2015 mencapai 75,55 juta ton GKG atau jika dikonversi ke beras menjadi 47 juta ton beras.
(rrd/hen)