Menteri ESDM Pertimbangkan Ganti Sistem Kontrak Migas di RI

Menteri ESDM Pertimbangkan Ganti Sistem Kontrak Migas di RI

Michael Agustinus - detikFinance
Rabu, 25 Mei 2016 18:15 WIB
Foto: Hasan Al Habshy
Jakarta - Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas) saat ini sedang diupayakan untuk direvisi oleh pemerintah dan DPR. Menteri ESDM, Sudirman Said, berpendapat UU Migas perlu disesuaikan dengan zaman, sebab banyak tantangan-tantangan baru.

Tantangan baru itu misalnya harga minyak bumi yang sekarang di bawah US$ 50/barel. Rendahnya harga minyak ini, membuat proyek-proyek hulu migas di Indonesia menjadi kurang ekonomis, kurang menarik bagi investor.

Sudirman menyatakan, salah satu solusi agar bisnis hulu migas di Indonesia menjadi lebih menarik adalah dengan mengubah sistem kontrak migas. Dalam UU Migas, sistem yang digunakan Indonesia adalah kontrak bagi produksi (Production Sharing Contract/PSC), perlu dipertimbangkan sistem kontrak lain yang lebih menguntungkan investor.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"UU Nomor 22 Tahun 2001 dirancang ketika Indonesia baru selesai krisis dan dengan pertimbangan berbagai hal kontemporer. Tentu sekarang situasinya sudah berbeda sekali, ada banyak regulasi yang perlu disinkronkan. Penataan-penataan parsial tidak cukup merespons situasi sekarang. Silakan dicari bentuk (kontrak) lain selain PSC," kata Sudirman, dalam konferensi pers Konvensi IPA di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (25/5/2016).

Secara terpisah, Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, mengungkapkan sistem kontrak yang dipertimbangkan untuk menggantikan PSC adalah sistem royalti. "Salah satu opsi (mengganti PSC) itu dibahas, pakai sistem royalti," ucapnya.

Selain sistem kontrak bagi hasil dan sistem royalti, sebenarnya masih ada 1 jenis kontrak lain yang lazim digunakan di industri hulu migas, yaitu sistem kontrak jasa. Namun, kontrak jasa tidak masuk sebagai pertimbangan dalam revisi UU Migas.

Ketiganya memiliki perbedaan dalam hal kedudukan antara negara dan investor, pembagian keuntungan, sumber permodalan, dan sebagainya.

Sistem PSC yang dipakai Indonesia saat ini memposisikan negara di atas perusahaan yang menjadi kontraktor, kuasa pertambangan berada di tangan negara. Kontraktor dibayar hanya jika berhasil menemukan cadangan migas dan mengekstraksinya, risiko kegagalan ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor.

Keuntungan sistem ini adalah negara terhindar dari risiko kerugian akibat kegagalan eksplorasi, tak perlu mengeluarkan modal besar untuk menyedot minyak dan gas. Sumber daya alam migas pun secara legal masih berada di tangan negara, tidak diserahkan pada swasta.

Berbeda dengan PSC, kedudukan negara dan investor setara dalam sistem kontrak royalti, kuasa pertambangan diserahkan pada investor, negara tidak bisa mengontrol proyek hulu migas. Negara hanya menerima pajak dan royalti saja sebagai imbalan.

Adapun dalam kontrak jasa, negara memegang penuh kendali atas proyek hulu migas. Investor hanya mendapat bayaran atas jasa saja, seluruh hasil produksi migas menjadi milik negara. Tetapi sebagai konsekuensinya, negara harus menyediakan dana besar untuk eksplorasi dan produksi migas, risiko kegagalan pun sepenuhnya ditanggung negara. (wdl/wdl)

Hide Ads