Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J Supit, mengungkapkan kondisi ini pula yang membuat masalah klasik lonjakan harga pangan saat hari keagamaan tak pernah selesai.
"Ini berulang setiap Lebaran, selalu jadi soal. Persoalannya ada di data, kaya dalam militer data intelijen paling penting, tak mungkin menang kalau datanya salah. Makanya data pangan ini paling sensitif, berapa banyak pemerintah sebelumnya jatuh karena pangan," katanya di acara Sengkarut Tata Kelola Pangan, di Veteran Coffee, Jakarta, Senin (6/6/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Data BPS kebanyakan juga dari sekunder, dari Dinas Pertanian. Padahal Kepala Dinas, Bupati, dan pemerintah itu punya kepentingan dengan anggaran," jelasnya.
Anton mencontohkan, data produksi padi yang selama ini diklaim surplus, namun pada kenyataannya harus tetap impor. Yakni produksi pada tahun 2015
"Kalau mau data besar anggarkan lebih besar buat BPS agar bisa dapatkan data primer, agar tidak tergantung lagi dengan data sekunder," kata Anton. (hns/hns)