Lihat saja tiang-tiang monorel yang mangkrak di ibukota, kompleks olahraga Hambalang, jalan tol Bocimi (Bogor-Ciawi-Sukabumi), bahkan jalan tol Becak kayu (Bekasi-Cawang-Kampung Melayu) yang mangkrak 17 tahun sejak 1998. Kalau diurut dari Sabang sampai Marauke maka akan ditemukan banyak landscape mangkrak.
Hal tersebut dirangkum Prof.Rhenald Kasali,Ph.D dalam buku terbarunya, "Change Leadership: Non-Finito" yang dirilis 12 April di The Dharmawangsa, Jakarta. Hadir sejumlah kepala daerah, akademisi, eksekutif, dan pengusaha.
Non Finito
Peluncuran buku "Change Leadership: Non-Finito" dimeriahkan sesi talkshow para pelaku perubahan. Di antaranya adalah Dr. H. Awang Faroek Ishak (Gubernur Kalimantan Timur), Dr Emil Dardak (Bupati Trenggalek), dan Komisioner KPPU, Dr Syarkawi Rauf.
Pada sesi talkshow, Rhenald Kasali menjelas kan makna Non Finito yang diambil setelah ia mengunjungi karya-karya besar para seniman renaissance di Italia-Spanyol dan Prancis yang tak lepas dari pergulatan kekuasaan.
Di museum Academia, Florence ia di pertemukan dengan karya-karya seniman dunia yang tidak berhasil di selesaikan. Sambil memegang salah satu replika patung, Rhenald Kasali bercerita karya Michel angelo yang dikenal sebagai The Naked Slave.
"Para ahli berteori. Ada hipotesa teknis, Michael Angelo kesulitan memahat karena batu terlalu keras. Hipotesa lain ia pihak sponsor mengurungkan komitmen dan peristiwa politik menghalangi penyelesaian. Hal inilah yang dikenal sebagai filosofi Non-Finito. Karya yang tidak selesai, karena zaman berubah dan para seniman kesulitan" ujarnya.
Karya yang tidak terselesaikan tersebut kini menjadi kunjungan sejarah dan wisata. Orang mencari tahu mengapa di negeri arsitektur yang menjadi ikon dunia itu selalu ditemui artefak yang tidak tuntas. Ini terjadi karena pemimpin selalu berhadapan dengan ketidakpastian.
Di Indonesia, era reformasi dewasa ini juga ditandai dengan kepemimpinan dalam tekanan ketidakpastian yang rumit. Padahal Indonesia butuh lompatan visi panjang dengan pemimpin-pemimpin yang berani berkarya besar. Kerumitan politik, hukum,dan politisasi audit, membuat rakyat banyak dirugikan dengan karya-karya mangkrak, atau sebaliknya melahirkan pemimpin populis yang berorientasi pada karya-karya kecil.
![]() |
Dalam sesi talkshow, Awang Faroek berbagi kisahnya saat menjadi Gubernur Kalimantan Timur. Ia sering dijuluki bupati gendeng bahkan dikatakan berada di awang-awang karena melakukan lompatan jauh. "Nama saya Awang, bukan Awang-awang," tegasnya
"Jangan takut berubah dan membangun sesuatu yang baru bisadinikmati hadirnya dalam jangka panjang. Melakukan perubahan memang susah dan butuh waktu. Yang ganggu pasti ada, tapi kalau kita teguh, nanti akan tampak hasilnya dan rakyat juga menghargai."
Agar perekonomian di Kaltim terus tumbuh, Awang Faroek membangun banyak infrastruktur seperti proyek jalan tol Balikpapan-Samarinda yang sempat tertunda 13 tahun, akses dari jalan tol diperluas hingga Bontang, Sangatta,dan Maloy. Jalan kereta api dengan investor dari Rusia sejauh 300 kilometer, kawasan industri di Maloy, bandara Temindung, dan pelabuhan laut dalam. Industri pun ia reform dari komoditas sumber daya alam ke industri manufaktur.
Tak selesai sebagai bupati, ia lanjutkan saat menjabat gubernur. Di era Susilo Bambang Yudhoyono pemerintah pusat belum menyelesaikan, tapi ia terus mengucurkan APBD agar proyeknya menarik bagi investor. Termasuk menyekolahkan ratusan Pemuda Kaltim ke luar negeri. Kini di era Joko Widodo, pembangunan yang belum selesai di masa lalu itu malah dijadikan acuan, dilengkapi APBN sehingga diharapkan tak terjadi peristiwa non finito dikhawatirkan Rhenald Kasali.
Buku ini sarat dengan contoh dan kiat para eksekutif melakukan terobosan dan diyakini akan membuka wawasan para aparatur sipil negara di daerah dalam mendukung perubahan. Apalagi Indonesia menghadapi era disruption yang berat dan persaingan yang sengit.
(adv/adv)