Fundamental Stabil, Pasar Saham Asia Tetap Atraktif

Fundamental Stabil, Pasar Saham Asia Tetap Atraktif

Advertorial - detikFinance
Senin, 06 Nov 2017 00:00 WIB
Fundamental Stabil, Pasar Saham Asia Tetap Atraktif
Jakarta - Membaiknya kondisi makroekonomi global telah mendorong kinerja pasar saham Asia. Bahkan dibandingkan dengan performa pasar saham yang kapasitasnya setara di negara maju, Asia masih lebih atraktif.

Saat ini, daya tarik pasar saham Asia didukung dengan tingginya imbal hasil investasi di tengah era suku bunga rendah. Struktur fundamental Asia pun dinilai kuat seperti tercemin dari pertumbuhan dividen yang mencapai 231% sejak 2002. Bahkan pada 2017, tingkat dividen diperkirakan tumbuh sebesar 17%. Pertumbuhan ini didukung oleh alokasi modal yang efisien dan tata kelola perusahaan yang semakin baik.

"Kecuali kalau ada guncangan eksternal, seperti meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea dan ancaman perang dagang," kata analis dari Chief Investment Office DBS Joanne Goh dan Jason Low, dalam laporan berjudul '4Q17 CIO Insight: Stay in the Game' yang dirilis 19 September 2017.

Apalagi ada kemungkinan the Fed akan menaikkan suku bunganya secara bertahap. Alhasil, era suku bunga rendah masih akan berlanjut. Hal ini membuat imbal hasil investasi di Asia masih menarik dibandingkan negara-negara di kawasan lain. Pasar saham di Asia menawarkan imbal hasil dividen hingga 2,7% atau 20 basis poin (bps) lebih tinggi dari rata-rata global.

"Imbal hasil terus merangkak naik, ditambah pertumbuhan dividen di Asia yang kuat sejak 2002 memberi kesempatan investor untuk membeli saham di Asia dengan harga murah," kata Jason Low.

Selain itu, Asia diuntungkan oleh struktur demografinya. Jason Low menjelaskan ada relasi positif yang kuat antara penduduk tua dengan permintaan dividen yang meningkat. Di China misalnya, jumlah penduduk usia di atas 65 tahun mencapai 10% dari total populasi pada 2016, jauh lebih tinggi dibandingkan 3,7% pada 1960.

Negara-negara ASEAN bahkan memiliki pondasi ekonomi yang cukup kokoh untuk menahan rencana kenaikan suku bunga the Fed. Namun dalam menghadapi kenaikan suku bunga the Fed, ASEAN justru melakukan pelonggaran moneter dengan memangkas suku bunga. Tujuannya untuk mendorong investasi dan konsumsi masyarakat. Hal itu seperti yang dilakukan Bank Indonesia dengan memangkas BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps dari 4,50% menjadi 4,25% pada September lalu.

Nilai tukar rupiah yang stabil, seiring peningkatan cadangan devisa serta kebijakan moneter dan fiskal yang solid membuat pasar obligasi Indonesia semakin atraktif. Indonesia pun mendapat peringkat layak investasi dari S&P.

"Ini mengurangi kemungkinan larinya arus modal ke luar negeri dalam jangka panjang manakala terjadi kenaikan suku bunga AS," kata Jason Low dan Joanne Goh.

Di lain sisi, neraca transaksi berjalan negara-negara ASEAN juga terbilang masih positif. Ekspor Thailand dan Malaysia tercatat mengalami surplus. Di Filipina, meski kurs peso melemah, tetapi tingginya remitansi dari luar negeri tetap membuat neraca transaksi berjalan positif.

Dengan kata lain, saat ini lebih banyak uang masuk daripada keluar di ASEAN. Pasar saham ASEAN relatif terlindung dari aksi ambil untung (profit-taking). Kondisi likuiditasnya pun jauh lebih baik dibandingkan saat terjadinya krisis finansial Asia tahun 1997 dan krisis finansial global pada 2008. (adv/adv)
Berita Terkait