Krisis Ekonomi Global Tekan Industri Kayu Indonesia

Lindungi Hutan Indonesia

Krisis Ekonomi Global Tekan Industri Kayu Indonesia

- detikFinance
Senin, 18 Nov 2013 11:36 WIB
Berau - Krisis ekonomi global nyatanya berdampak serius pada kelanjutan industri kayu dan pengolahan kayu di Indonesia. Salah satunya disebabkan menurunnya jumlah permintaan ekspor produk hasil kayu ke dua pasar utama yaitu Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa yang ikut terkena dampak krisis.

Sebelum krisis global terjadi di tahun 2012 lalu, krisis serupa pernah terjadi di tahun 2008-2009. Tidak hanya industri pengolahan kayu yang terkena dampak dari lesunya pasar, tetapi perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK).

Hal itu diakui oleh Head of Forestry sub division PT Sumalindo Lestari Jaya IV Uun Raudhotul Jannah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Krisis ekonomi global berdampak pada kinerja kami yang slow down terutama saat terjadi di krisis tahun 2008-2009," ungkap Uun kepada detikFinance sambil mengunjungi Kawasan Konsesi Pengelolaan Hutan PT Sumalindo Lestari Jaya IV Berau, Sagah Kalimantan Timur dalam acara Media Trip Sumalindo - WWF Indonesia pekan lalu seperti dikutip, Senin (18/11/2013).

Pukulan terberat terjadi di tahun 2009 di mana realisasi proses penebangan pohon di areal konsesi perusahaan berkurang lebih dari 50%. Realisasi produksi kayu di tahun 2008 adalah sebesar 14.310 meter kubik dari 854 hektar areal. Sedangkan di tahun 2009 produksi kayu hanya 8.877 meter kubik dari 456 hektar areal konsesi.

PT Sumalindo Lestari Jaya IV sendiri mendapatkan izin areal konsesi sesuai Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 582/Menhut-II/2009 tanggal 2 Oktober 2009 seluas 63.550 hektar.

Tetapi dari jumlah areal konsesi lahan yang dimiliki, hanya sebanyak 41.275 hektar (64,9%) lahan hutan efektif yang digunakan untuk unit produksi. Sedangkan 11.023 hektar (17,3%) digunakan untuk kawasan hutan lindung dan 11.252 hektar (17,7%) digunakan sebagai areal tidak efektif untuk unit produksi.

"Jalan satu-satunya kami mengurangi kegiatan sehingga output saat itu (2009) menurun," imbuhnya.

Tidak hanya itu, pukulan berat lainnya adalah perusahaan mau tidak mau menjalani kerjasama dengan pihak ketiga. Cara ini dilakukan untuk meminimalisir kerugian dari cost produksi yang cukup banyak.

"Selebihnya kami melihat kondisi finansial kami yang terbatas sehingga kami ajak kerjasama pihak ketiga sebagai kontraktor. Kami saat itu tidak memiliki financial yang cukup. Jadi produksi tetap kami lakukan dengan kemitraan namun perencanaan dan kegiatan ekologi lainnya tetap kami sendiri yang melakukan," katanya.

Selain itu ia mengaku cukup kesulitan untuk mencari daerah pemasaran kayu log (batangan). Penyebabnya adalah kondisi ekonomi Amerika Serikat dan Uni Eropa yang menjadi bidikan ekspor produk olahan kayu Indonesia juga sedang lesu. Sehingga banyak industri pengolahan kayu di Indonesia juga mengurangi atau memperlambat produksi.

"Efeknya terhadap harga jual kepada industri pengolahan kayu saat itu tidak ada nilai lebihnya. Target ke angka produksi kayu sebesar30.000 meter kubik/tahun cukup sulit karena sulit mencari pembeli. Lalu kita putuskan untuk menjual kayu log ini ke Surabaya, Palopo lalu kita kirim ke kota Samarinda," sebutnya.

Kondisi ini terjadi sampai sekarang. Ia juga mengaku berat dengan kondisi ekonomi Indonesia. Dengan naiknya harga bahan bakar solar dan upah minimum pekerja serta tidak naiknya harga kayu log di tingkat pasar lokal selama 10 tahun terakhir, membuat perusahaan sulit untuk mencapai target dari Rencana Kerja Tahunan (RKT).

"Harga kayu tidak signifikan bahkan harganya tidak naik sejak 10 tahun terakhir. Sedangkan harga bahan bakar solar naik dari Rp 3.000/liter 10 tahun lalu saat ini menjadi Rp 12.000/liter. Harga kayu ada dikisaran Rp 900.000 - Rp 1.200.000/ meter kubik. Dengan harga jual yang tetap bahkan korelasinya cendrung turun tetapi harga operasional naik terutama upah minimum pekerja yang terus naik. Sekarang cost produksi bisa mencapai Rp 5 miliar/bulan padahal dahulu hanya Rp 1 miliar pengeluaran/bulan," jelasnya.

Industri Olahan Kayu Ikut Kena Imbas

Tidak hanya jumlah tebangan kayu yang kena imbas dari adanya krisis ekonomi global, industri pengolahan kayupun sama. Anak usaha dari PT Sumalindo Lestari Jaya (SLJ) yang berkecimpung di dalam proses pengolahan kayu yaitu PT Sumalindo Lestari Jaya Global Tbk juga ikut menurunkan produksi karena sepinya pasar ekspor kayu.

Hal ini terjadi karena nilai ekspor produk kayu ekspor terus turun. Padahal perusahaan harus mengeluarkan kocek tinggi untuk membayar biaya produksi. Bahkan salah satu pasar ekspor produk kayu terbesar yaitu Uni Eropa dilepas karena kondisinya sepi.

"Kondisi global membuat harga plywood (kayu olahan dasar) dari tahun 2008 hingga pertengahan semester II tahun 2012 masih US$ 500/meter kubik. Padahal cost produksi yang dikeluarkan sudah di atas US$ 500/ meter kubik dimana US$ 320 dolar adalah untuk biaya beli kayu log (batangan)," ungkap
Plan Manager Plymill PT SLJ Global Tbk Eko Arief Suratmono saat mengunjungi Pabrik SLJ Global Tbk di Kota Samarinda Sebrang, Kalimantan Timur dalam kunjungan WWF Indonesia barru-baru ini.

Selain itu, ia menggambarkan jumlah produksi kayu olahan menurun drastis sejak tahun 2010. Sebelum adanyaa krisis global, perusahaannya mampu memproduksi kayu olahan sebanyak 15.000 meter kubik/bulan. Tetapi kini perusahaan hanya mampu memproduksi 2.500 meter kubik kayu olahan.

"Kapasitas produksi awalnya 15.000 meter kubik ply wood /bulan dengan input kayu log sebanyak 25.000-30.000 meter kubik. Kita punya 3 unit mesin operasional tetapi kini yang dioperasikan hanya 1 unit dengan kapasitas produksi 2.500 meter kubik plywood dengan kebutuhan kayu log 4.500-5.000 meter kubik. Kita turunkan produksi di tahun 2010 dengan level 5.000 meter kubik," imbuhnya.

Selain mendapatkan kayu dari anak perusahaan lain PT SLJ, pabrik SLJ Global juga mendapatkan tambahan kayu log dari Narkata Rimba (Kutai Timur) dan Belayan Rieur (Kutai Barat) Timber (BRT), Barito Nusantara (Mahakam Hulu) yang besarnya 30% dari jumlah produksi.

Mitra dagang terbesar produk kayu olahan PT SLJ Global awalnya ada negara Belanda, tetapi dengan krisis ekonomi global saat ini. Perhatian perusahaan hanya fokus untuk mengekspor produk kayu ke negara Amerika Serikat.

"Eropa sampai saat ini belum mau menaikan harga jual produk kayu olahan atau masih US$ 500/meter kubik. Harga yang paling bagus sekarang adalah di Amerika Serikat dengan harga jual US$ 620/meter kubik," jelasnya.


(wij/ang)

Hide Ads