Saat ini, ada sejumlah sekolah pelayaran milik pemerintah yang siap mencetak calon-calon nakhoda, mualim atau perwira pelayaran. Di Jakarta, pemerintah membuka sekolah Pelayaran di Marunda, Balai jenjang kompetensi di Sunter dan Mauk di Tangerang.
"Di Semarang kita punya. Di Surabaya ada Politeknik ilmu Pelayaran, di Makassar ada dua, politeknik dan balai. Lalu di Malahayati Aceh satu, di Sorong satu. Yang sedang kita bangun di Padang Pariaman sama di Mina Selatan. Dari keseluruhan ada 3.000 (per tahun)," kata Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan, Wahyu Satryo Utomo kala berbincang dengan detikFinance pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena lulusannya juga nggak bisa berlayar ke mana-mana. Nggak bisa karena nggak diakui, siapa yang mau terima. Seharusnya setiap mereka (Kemendikbud) memberikan izin, mereka minta rekomendasi ke kita, memenuhi syarat nggak. Aspek fasilitasnya, prakteknya, dosennya, kurikulumnya," tuturnya.
Untuk masuk ke sekolah pelayaran, cukup menyiapkan uang Rp 100.000 untuk pendaftaran. Mendaftar bukan berarti langsung diterima menjadi mahasiswa di sekolah pelayaran tersebut. Calon pendaftar atau yang disebut calon taruna ini bakal mengikuti serangkaian tes yang meliputi tes kesehatan, tes psikologi dan wawancara lainnya.
"Setelah lulus mereka akan jadi taruna perhbubungan, darat laut maupun udaram. Tes-nya sama semua. Tes ini diselenggarakan di seluruh sekolah yang ada. Dan juga di 10 provinsi yang nggak ada sekolah kita. Kita juga bekerja sama dengan dinas perhubungan setempat. Itu baru tes, belum sekolah. Karena ada pelatihan fisik yang berat, yang harus dilatih saat sekolah," paparnya.
Setelah lulus, mereka akan bersekolah di sekolah pelayaran selama 8 semester atau 4 tahun lamanya. Di semester 1-4 mereka akan diberikan bekal teori praktek simulasi di sekolah. Sedangkan semester 5 dan 6 mereka akan melakukan praktek kerja lapangan di kapal. Kemudian di semester 7 dan 8 mereka akan kembali ke sekolah untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan sertifikat.
"Kita juga buka untuk jurusan elektro pelayaran. Karena sekarang di kapal sudah pakai teknologi canggih," tuturnya.
Biaya per semester yang harus dikeluarkan sekitar Rp 6 juta. Cukup sepadan jika dibandingkan dengan gaji yang didapat jika taruna tersebut sudah bekerja di kapal yang bisa mencapai puluhan juta per bulan.
Bila sudah lulus, bukan berarti dia bisa langsung menjadi nakhoda mengemudikan kapal. Lulusan sekolah pelayaran dibagi menjadi beberapa kelas. Untuk lulusan SMA, begitu lulus akan masuk klasifikasi grade 3. Jika ingin menjadi nahkoda, dia harus kembali mengambil kelas di sekolah untuk mendapatkan Nahkoda adalah klasifikasi grade 1. Bila ingin naik kelas (grade), maka mereka harus bersekolah lagi.
"Kalau Balai itu boleh lulusan SMP. Dia di grade 4. Kalau mau naik ke tiga sekolah lagi tapi berlayar dulu," katanya.
Sebelum sekolah pun mereka akan dibekali pembekalan layaknya militer. Karena menurut Tomi, pekerjaan ini membutuhkan fisik dan mental yang kuat. Karena menghadapi tantangan yang berat di lapangan. Apalagi di laut yang riskan terhadap pembajakan.
"Dia dididik keras, karena yang dihadapi kemungkinanya pembajak, ombak, mentalnya harus siap lah," katanya.
Untuk bisa menjadi pelaut yang belayar tidak sembarangan. Tak seperti pekerjaan lain yang bisa menerima semua lulusan sekolah tinggi atau universitas, pelaut hanya bisa dicetak oleh sekolah pelayaran, balai, atau politeknik yang bisa mengeluarkan sertifikat.
"Sekarang sejak ada pendaftaran untuk calon taruna transportasi, kita buka sejak bulan Maret kemarin, dan ditutup pada bulan Juni nanti," imbuhnya.
Gaji seorang pelaut bermacam-macam. Nahkoda adalah tingkat teratas dalam skala pelaut. Gajinya bisa puluhan juta per bulan. Bahkan jika bekerja di perusahaan besar, upahnya bisa ratusan juta.
(zul/rrd)